Opini — Nusalontar.com
Oleh: Umbu Wulang*
Polemik penjualan Pulau Sumba seperti yang diberitakan detik.com Senin, 8 Februari 2021, juga beberapa pulau lain di Indonesia yang termuat di situs www.privateislandsonline.com pada Minggu, 7 Februari 2021, mengejutkan sebagian besar masyarakat Sumba, sekaligus mengundang tanya: Ada apa sebenarnya hingga terjadi obral pulau?
Undang – Undang kita tidak memperbolehkan privatisasi pulau. Maka tidak heran jika berita tersebut sangat mengejutkan publik Sumba, juga masyarakat Nusa Tenggara Timur pada umumnya.
Siapa oknum yang mengobral pulau tersebut juga belum diketahui hingga saat ini. Yang pasti, oknum yang melakukan hal itu tentu memahami betul di mana letak Pulau Sumba, juga mengenal dengan baik segala potensi yang dimilikinya.
Kita harus akui bahwa Pulau Sumba saat ini bagaikan primadona baru yang membutuhkan polesan tangan – tangan terampil sehingga menampilkan Sumba yang lebih eksotis dan menarik lagi. Sumba menjadi primadona baru tidak terlepas dari pemberitaan salah satu media Jerman pada tahun 2017 yang menjadikan Pulau Sumba sebagai salah satu pulau terindah di dunia.
Apa yang diberitakan media internasional tersebut telah menjadikan Pulau Sumba sebagai salah satu pulau yang banyak dikunjungi para pelancong manca negara maupun lokal. Imbasnya adalah, semakin banyak potensi pulau Sumba yang terkespos ke dunia luar. Bagi para pemilik modal, ini adalah kesempatan besar memperlebar sayap investasinya terutama di bidang pariwisata.
Dengan keunikan yang dimiliki, seperti sabana yang luas, pantai yang masih alami, dan budayanya yang khas, membuat Sumba memiliki daya tarik luar yang biasa bagi para pemodal untuk memiliki aset di pulau itu.
Pada bulan juli 2020, WALHI NTT melakukan diskusi lintas kabupaten dengan topik “Privatisasi Pesisir Pulau Sumba”, melibatkan beberapa narasumber dari empat kabupaten di Sumba. Hal tersebut dilakukan melihat fakta bahwa sudah hampir 80% pesisir Pulau Sumba telah terjual kepada para pemilik modal, baik mancanegara maupun lokal.
Diskusi tersebut bermaksud mengajak publik Sumba untuk melihat persoalan yang ada, bahwa kekayaan alam yang dimiliki Sumba saat ini sesungguhnya bukan milik masyarakat Sumba lagi. Oleh karena itu, pemerintah selaku pemegang mandat rakyat harusnya mengambil tindakan preventif dan solutif terhadap upaya – upaya perampasan ruang hidup rakyat dan ekositem Sumba seluruhnya dengan modus investasi pariwisata.
Apa yang terjadi hari ini, bagi WALHI NTT, merupakan akumulasi dari yang terjadi sebelum-sebelumnya. Jika tidak terjadi pembiaran, tidak mungkin muncul keberanian pihak tertentu untuk mengobral Pulau Sumba di situs online. Aktifitas penjualan pesisir Pulau Sumba sebenarnya sudah berlangsung sejak dari tahun awal 1990-an dan puncaknya yaitu obral Pulau Sumba seluruhnya.
Kejadian ini harus menjadi refeleksi penting bagi masyarakat Sumba.
Apa yang terjadi hari ini mengajarkan kita bahwa pengelolaan sumber daya alam yang dimiliki telah salah kaprah dan kebablasan. Terbuka lebarnya ruang privatisasi yang berlangsung lama dan lemahnya pengawasan dari pihak pemerintah menjadikan pulau ini dikuasai oleh para pemilik modal.
Menanggapi polemik ini, WALHI NTT sebagai organisasi publik lingkungan hidup dan perlindungan wilayah kelola rakyat, menyampaikan beberapa tuntutan dan rekomendasi:
Pertama, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Propinsi NTT, dan seluruh Pemerintah Daerah Kabupaten se-Sumba serta aparat penegak hukum, harus melakukan tindakan hukum terhadap oknum yang telah menayangkan penjualan Pulau Sumba pada situs online karena hal tersebut merupakan pelecehan eksistensi seluruh masyarakat Sumba bersama eksosistem di dalamnya.
Kedua, Pemerintah Daerah Propinsi NTT bersama Pemerintah Kabupaten se-Sumba melakukan tindakan prenventif dengan mengidentfikasi dan menginventarisir semua potensi pulau sumba dan mengatur bentuk pemanfaatannya.
Ketiga, Pemerintah Kabupaten se-Sumba membentuk satu kebijakan terpadu dalam melindungi Pulau Sumba bersama eksositemnya. **
*Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi adalah Direktur Eksekutif WALHI NTT