Opini – Nusalontar.com
Oleh: Sesarius Mola*
Pengantar
Pada tanggal 11 Maret 2020, Badan Kesehatan Dunia bentukan PBB, World Health Organization (WHO) mengeluarkan pernyataan bahwa infeksi virus corona masuk dalam kategori pandemi (tempo.go.id). Penjelasan tentang Covid-19 tidak saya uraikan secara detail di sini, karena ini merupakan hal aktual yang sedang terjadi dan dialami oleh masyarakat Indonesia, khususnya umat beriman Kristiani. Yang pasti, masyarakat gereja pada konteks ini telah memiliki pemahaman yang sederhana dan representatif tentang Covid-19 sebagai wabah penyakit yang memiliki daya tular yang cepat dan dapat mengakibatkan kematian.
Berbagai pembatasan pun dilakukan oleh pemerintah demi memutus rantai penyebaran virus ini. Bukan saja pada sektor sosial, pendidikan, ekonomi, namun pembatasan juga dilakukan pada sektor keagamaan, yakni dilarangnya melakukan kegiatan keagamaan di rumah-rumah ibadah. Pemerintah meminta agar semua bentuk peribadatan dilakukan di rumah atau menerapkan teknologi yang dapat mendukung.
Berbagai reaksi pun muncul menanggapi kebijakan dan strategi pemerintah tersebut; ada yang dapat menerima dan mendukung, namun tidak sedikit yang menolak dan memprotesnya.
Covid 19 dan Dampaknya Terhadap Kehidupan Menggereja.
Keberadaan virus corona bukan hanya merenggut ribuan nyawa tetapi juga mengubah tata cara kehidupan manusia di seluruh dunia mulai dari interaksi sesama maupun proses berhubungan dengan Tuhan. Wabah virus corona juga berdampak dalam kehidupan keagamaan umat manusia. Salah satunya adalah dibatasinya ibadah di gereja. Sebagian besar gereja, baik di Indonesia maupun luar negeri sudah tidak lagi mengadakan pertemuan bersama di gedung gereja, mereka melakukan ibadah di rumah secara online.
Selain itu, gereja-gereja Katolik di berbagai belahan dunia telah mengubah tata cara melaksanakan Misa guna menghentikan penularan wabah ini. Kondisi seperti ini ternyata membuat umat semakin teguh dalam imannya karena ada kerinduan bertemu dengan Kristus walaupun tidak secara fisik dalam komuni di Gereja melainkan dari pengolahan iman melalui jejak digital baik secara pribadi maupun di dalam keluarga.
Masa pandemi membuat adanya variasi pelayanan yang membawa perubahan bahwa umat semakin peduli dengan pelayanan yang bersifat sosial walaupun hal itu dilakukan oleh umat dari rumah mereka masing-masing atau lebih dikenal dengan gereja rumah.
Komunikasi Massa: Peranan Di Tengah Pandemi
Komunikasi massa memiliki peranan yang krusial di tengah pandemi Covid-19 sehingga dalam menanggapi pandemi ini diperlukan adanya pola komunikasi yang efektif dan efisien untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait dengan pandemi ini.
Pengertian komunikasi dalam definisi sederhana, diterangkan oleh Harold D. Lasswell yaitu dalam suatu tindakan seseorang yang dilakukan untuk menerangkan pesan, dapat dilakukan atau diterjemahkan guna menjawab pertanyaan, Siapa yang menyampaikan, apa yang disampaikan, melalui saluran apa, kepada siapa dan apa pengaruhnya (Cangara Hafied, 2005:18).
Lebih jauh lagi, komunikasi menjadi kepentingan lain dalam menghadapi Covid-19 ini. Dengan kebijakan pembatasan sosial, maka komunikasi massa menjadi sebuah pilihan untuk penyampaian informasi kepada publik.
Menanggapi berbagai persoalan yang timbul akibat pandemi Covid-19 ini, komunikasi massa menjadi pilihan terbaik dalam proses interaksi sosial yang harus tetap berjalan di tengah pandemi. Kepekaan masyarakat dalam menanggapi informasi yang diperoleh melalui komunikasi massa juga menjadi poin penting yang tetap menjadi perhatian bagi pengirim informasi atau pesan. Sehingga diperlukan bahasa yang sederhana namun lugas, harus menjadi pertimbangan ketika pesan tersebut dikirim kepada massa.
Dengan demikian media massa menjadi sebuah saluran yang sederhana dalam kaitannya dengan komunikasi massa, karena dengan media massa suatu wadah yang membawa informasi untuk masyarakat luas akan lebih cepat tersampaikan dengan tingkat sasaran dalam cakupan yang luas.
Gereja Memanfaatkan Komunikasi Massa
Pembatasan sosial yang lebih dikenal dengan istilah social distancing atau physical distancing ini mengakibatkan ibadah di gereja pun harus dialihkan dalam bentuk yang ramah terhadap social distancing. Gereja harus dapat melihat sebuah situasi yang terjadi menjadi sebuah peluang untuk menerapkan trik atau strategi dalam melayani Tuhan.
Pada dasarnya, gereja menyikapi wabah Covid-19 ini dalam dua hal yang umum; pencobaan dan ujian, fakta tentang semakin dekatnya akhir zaman atau kesempatan untuk melihat pertolongan Tuhan. Namun demikian, ada satu hal yang menjadi titik temu gereja dalam situasi ini, yakni mereka berpengharapan agar keadaan ini cepat berlalu.
Persoalannya, jika memang gereja melihat bahwa setiap keadaan yang diijinkan terjadi dan gereja mengalami, senantiasa memiliki kebaikan, maka sisi misteri kebaikan inilah yang harus ditelisik lebih dalam. Apakah gereja sedang dilatih, untuk menghadapi situasi misteri yang masih terbungkus dan tersimpan dalam ruang waktu ilahi. Karena, jika masa Covid-19 berlalu, apakah bencana, penderitaan, atau situasi buruk lainnya pun sudah berhenti, atau lebih berat? Semua masih dalam sebuah ruang misteri ilahi.
Penggunaan teknologi digital dalam melakukan ibadah bukanlah hal yang menghilangkan esensi ibadah, karena sejatinya gereja merupakan persekutuan, dan persekutuan dibangun atas dasar iman kepada Yesus Kristus. Gereja rumah pada masa rasul-rasul dapat diimplikasikan dalam bentuk gereja digital pada masa kini, masa digitalisasi.
Dalam konteks era digital saat ini, di mana gereja saat ini tercipta secara virtual melalui ibadah-ibadah digital, setidaknya telah menjadi sebuah perluasan Kerajaan Allah yang tidak lagi dibatasi oleh batas territorial dan geografis, karena teknologi internet telah menghadirkan kebebasan untuk mengekspresikan bentuk pelayanan yang ingin dibangun dan disajikan bagi masyarakat digital saat ini. Di lain pihak, esensi gereja rumah adalah gereja atau ibadah yang fokus pada persekutuan keluarga sebagai pilar gereja. **
*Mahasiswa Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang