Opini – NUSALONTAR.COM
Oleh: Yulius Gohang Maran
Headmaster Gita Bangsa School, Tangerang
Di sela-sela kesibukan mengembangkan model pembelajaran kolaboratif, di SMP Gita Bangsa Tangerang, saya tiba-tiba teringat pada satu istilah orang Lamaholot yaitu Gemohing. Meski kurang mengikuti, perkembangan sistem pendidikan yang diterapkan di Kabupaten Flores Timur, namun insting primordial mengingatkan saya, bahwa secara sosiokultural, Flores Timur sebetulnya, punya banyak kekayaan dan tradisi yang harus terus-menerus digali dan dilestarikan. Sayangnya, kekayaan warisan leluhur Lamoholot itu, terkikis dari generasi ke generasi. Kekayaan-kekayaan itu hendaknya dilestarikan secara sistematis, dalam sebuah sistem pendidikan yang kontekstual.
Gemohing bukan sekedar istilah. Gemohing merupakan sebuah falsafah hidup orang Lamaholot. Jika hanya sekedar sebagai sebuah istilah, Gemohing sesewaktu bisa saja hilang pada masa generasi tertentu. Bahkan tidak akan dipertahankan karena dianggap bukan merupakan kekayaan budaya atau kearifan lokal yang perlu dipertahankan. Padahal Gemohing sejatinya sebuah falsafah hidup masyarakat Lamaholot.
Gemohing menjadi sebuah falsafah hidup Lamaholot, karena ia telah membentuk sosiokultural orang Lamaholot. Gemohing adalah kolaborasi yang menghendaki kerjasama secara bergilir demi mencapai tujuan yang sama. Kita tahu, pada awalnya Gemohing hanya bergerak di bidang pertanian. Orang-orang secara bergilir mengerjakan ladang/sawah secara bersama-sama. Di sana, karakter masyarakat terbentuk, mereka saling melayani, membantu dengan tidak membeda-bedakan, bahkan bekerja bersama untuk saling mensejahterakan.
Gemohing sebagai sebuah bentuk kolaborasi, mestinya diintegrasikan ke dalam ranah pendidikan. Sebab, sebuah pendidikan yang baik akan mengubah pola pikir yang baik dan cara hidup yang baik pula menuju kesejahteraan. Begitu pun, sistem pendidikan yang baik menghendaki, kebijakan-kebijakan yang kontekstual. Sayangnya, perubahan teknologi secara cepat telah mengubah banyak tatanan hidup pada perubahan yang radikal.
Richard Sennet dalam bukunya The Culture of the New Capitalism (2006) mengatakan, banyak orang dilindas oleh perubahan pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat yang kita kenal sebagai era disrupsi, sehingga keterampilan-keterampilan dan kecakapan hidup menjadi pudar. Dan sangat boleh jadi, dalam konteks Lamaholot, keterampilan, kecakapan hidup, tradisi, bahkan Gemohing sendiri, perlahan dilindas oleh perubahan teknologi yang begitu cepat.
Sadar atau tidak, perubahan teknologi telah merasuk masuk pada perubahan sikap yang mengarah pada individualisme. Sikap ini, perlahan membentuk jalan perubahan baru orang Lamaholot. Salah satu penanda adalah gaya hidup individualistis. Gaya hidup ini, terlihat dari cara kerja dan sistem kerja yang mau berjuang sendiri untuk mencapai tujuan pribadi. Sebagai contoh, di bidang politik, orang yang sudah punya kekuasaan akan terus mempertahankan kekuasaan dan menutup pintu rapat-rapat terhadap orang luar, karena akan dianggap sebagai pesaing.
Ketika menemukan adanya kritikan terhadap gaya kepemimpinan yang sedang diemban, orang akan merespon secara emosional bukan rasional. Cara sederhana untuk mengecek adalah menganalisis narasi-narasi terhadap fakta-fakta yang disampaikan. Jika tidak, mereka akan mengabaikan data-data yang telah dikaji para peneliti. Di bidang Pendidikan, boleh jadi muncul organisasi baru yang akan terlihat berjalan sendiri-sendiri. Survival of the fittest, orang yang kuat akan bertahan melanggengkan kekuasaan sementara yang lain hanya bisa mengkiritik.
Sudah saatnya masyarakat Lamaholot memilih pemimpin yang menguasai Coding Literacy (Literasi Koding). Dengan kata lain, pemimpin yang mampu membuat program atau aplikasi kegiatan komunikasi dengan sistem perangkat komputer (Haryatmoko, 2020:9). Kemampuan literasi koding ini, akan berdampak pada implementasi manajemen birokrasi yang transparan, akuntabel dan kolaboratif. Dengan kata lain, diperlukan adanya digitalisasi kelembagaan.
Setiap pemimpin mesti berperan sebagai pengontrol sehingga tidak serta merta membuat kesimpulan hanya berdasarkan narasi fakta-fakta. Namun, lebih dari itu, pada data-data yang dibangun dalam sebuah ekosistem digital birokrasi. Ketergesahan cenderung menyederhanakan pemecahan persoalan. Sudah saatnya merevitalisasi falsafah Gemohing dalam hidup orang Lamaholot.
Upaya tersebut tentu tidaklah mudah, seperti membalikkan telapak tangan. Sebab seorang pemimpin harus mengubah pola pikir dengan mengedepankan kolaborasi semua sektor atau bidang. Pemimpin harus berani membuka ruang jejaring atau keterhubungan. Tanpa upaya kolaborasi (baca: Gemohing) inovasi dan kreativitas, Gemohing hanyalah sebuah slogan belaka.
Maka, sektor pertama dan utama yang menjadi sasaran adalah sektor pendidikan. Flores Timur harus berani mengubah wajah pendidikan yang birokraktif menjadi wajah kolaboratif. Sistem pendidikan yang administratif manual, mesti menjadi ekosistem digital, yang membuat ragam porto folio peserta didik. Gemohing mempunyai filosofi yang sangat tinggi untuk mengubah Lamaholot menuju daerah yang kompetitif dan berdaya saing global. Para pemangku pendidikan, sebaiknya berkolaborasi menyiapkan dan membedah kurikulum yang kontekstual selaras roh Gemohing.
Masyarakat Lamaholot kaya akan generasi-generasi hebat. Masyarakat Lamaholot juga memiliki tradisi-tradisi atau kekayaan daerah yang bernilai tinggi. Dengan demikian, sektor pendidikan mesti menjadi lokus dan fokus perubahan. Bukan zamannya lagi kita menghabiskan waktu dengan sistem administrasi manual yang kaku. Konsep membangun inovasi dan kreativitas, mesti benar-benar bermain peran. Teknologi akan sangat membantu, kerja yang efektif dan efisien lintas sektor secara kolaboratif. Melalui kolaborasi, kreativitas dan inovasi akan muncul dengan sendirinya. (*)