TTU – “Kabar duka mampir lagi. Unu Ruben Paineon, salah satu novelis NTT asal Timor Tengah Utara telah berpulang.
Penulis novel “Unu” (Juxtapose, 2009), “Benang Merah” (Indie Book Corner, 2015), dan “Foek Susu” (Pelangi Sastra Malang, 2019) ini menghembuskan napas terakhir pada Sabtu, 7 Agustus 2021 akibat sakit yang diderita.
Terima kasih untuk obrolan lepas dan sentilan-sentilan selama ini terhadap tanah Biinmaffo. Beristirahatlah dalam damai, berbahagialah di surga.
Selamat jalan Unu, tubuhmu akan hilang
tapi karya-karyamu akan selalu dibaca dan dikenang.”
Ucapan dukacita di atas dikutip dari akun Facebook Herman Efriyanto Tanouf. Rupanya Herman adalah salah satu sahabat sastrawan muda NTT, Unu Ruben Paineon. Pada profilnya, tertulis Herman Efriyanto Tanouf adalah Koordinator Komunitas (Literasi) Leko Kupang, NTT.
Pada akun Facebook yang lain, akun atas nama Dicky Senda juga turut mengungkapkan rasa dukanya atas meninggalnya Unu Ruben.
“Sekitar tahun 2009 beta (saya, red) kenal Unu Ruben Paineon lewat Magdalena Hokor. Waktu itu ketong (kami) beli novel karya Unu (yang) berjudul ‘Unu’ dan ‘Benang Merah’. Beta salut dan bangga ada anak muda Timor yang punya semangat luar biasa dalam menulis novel. Dari Unu akhirnya beta kenal penerbit Indie Book Corner (Irwan Bajang dan Anindra Saraswati). Beta juga akhirnya menerbitkan buku puisi Cerah Hati di tempat yang sama.
Seingat Beta pas di Jogja ketong pernah ketemu sekali di Ambarukmo Plaza. Lalu sonde (tidak, red) pernah ketemu lagi. Beta tahu Unu masih menulis novel selanjutnya, ‘Foek Susu’. Beta beli dan taruh di perpustakaan Lakoat, Kujawas. Beliau juga cukup kritis untuk beberapa dinamika sosial di tanah kelahirannya Timor Tengah Utara.
Baru saja dapat kabar duka dan ikut sedih. Terima kasih sudah pernah memberi semangat untuk konsisten dalam menulis.
Selamat jalan, Unu.”
Sementara itu, sahabat Unu Ruben Paineon, Magdalena Hokor, ketika dikonfirmasi oleh NUSALONTAR.COM membenarkan peristiwa duka itu. Menurut Lan, sapaan akrab Magdalena, Unu Ruben adalah pria yang sederhana dan rendah hati.
Berikut kisah pengalaman yang pernah dialami Magdalena bersama Unu Ruben Paineon, sebagaimana disampaikan Magdalena melalui pesan WhatsAppnya.
“Orangnya sederhana. Saya kenal Unu di Yogya. Waktu itu dia masih jadi bruder (biarawan, red). Kebetulan dia tinggal di Soverdi, dan kami tiap hari misa di sana. Orangnya sangat friendly. Beberapa teman kos saya juga akhirnya dekat dengan dia karena kami sering bertemu. Orangnya rileks. Sederhana. Enak diajak diskusi hal-hal yg serius dan santai sampai curhat-curhatan. Hal sederhana yang selalu saya ingat, dia selalu minta dibelikan 1 batang rokok setiap kali bertemu,” kisah Lan.
“Setelah saya selesai kuliah, novel perdananya terbit. Unu judul novelnya. Saya tidak punya kompetensi untuk tulis menulis, tapi dia selalu ajak ngobrol dan diskusi dengan saya soal novelnya itu,” imbuh gadis asal Lewotala, Flotim itu.
“Setelah putuskan keluar dari Biara, Unu lanjut studi komunikasi di APMD Yogya. Dia tetap tekun menulis. Lalu kembali ke Timor. Launching bukunya di Kefamenanu. Dia akhirnya memilih untuk tinggal di kampung, tanam sayur, dan tanaman lain. Tetap aktif sebagai penulis dan kegiatan sastra lainnya. Dari cerita-cerita yang beredar, katanya dia juga salah satu penggerak berdirinya komunitas sastra Lopo Biinmafo. Saya tidak tahu persis dia sakit sejak kapan. November 2020 kami sempat janji ketemu, tapi tidak jadi karena saya harus ke Flores,” sambung Lan dengan emoji sedih.
“Dia baik sekali kaka, ramah dengan smua orang. Saya kenal baik dengan keluarganya. Pernah ke kampungnya, sekali, saat dalam perjalanan ke perbatasan. Mereka tinggal di Desa Tublopo. Tapi sebelum sakit dia sempat habiskan waktunya di kampung lama, Mansena. Kampung kelahirannya. Di Insana, TTU. Kita doakan semoga Unu Ruben tenang di alamnya yang baru, Kaka” tutup Magdalena dengan emoji menangis.
Sastrawan muda itu akhirnya kembali ke pelukan semesta. Selamat jalan Unu. Di surga engkau akan menulis tentang keabadian. (JR)