Simon Sabon Ola, Kisah Anak Kampung Penyandang Gelar Profesor yang Ingin Menjadi Rektor

Prof. Dr. Simon Sabon Ola, M.Hum saat berbincang dengan wartawan di rumahnya
Prof. Dr. Simon Sabon Ola, M.Hum saat berbincang dengan wartawan di rumahnya

INSPIRASI – NUSALONTAR.COM

“Jangankan bermimpi jadi profesor, berpikir untuk kuliah saja tidak. Semuanya mengalir begitu saja. Tapi saya percaya bahwa apa yang saya alami hingga sejauh ini, semuanya sudah diatur sedemikian rupa oleh alam semesta, oleh Dia yang saya imani,” tutur Prof. Dr. Simon Sabon Ola, M.Hum,  Minggu (22/08/20221), di pendopo rumahnya.

Bacaan Lainnya

Tuturan Prof. Simon di atas adalah  jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh teman wartawan saat kami bertandang ke rumahnya pada Minggu siang. Sembari menikmati keladi rebus ditemani kopi Flores, kami berbagi cerita tentang banyak hal. Mulai dari persoalan ekonomi yang sulit di masa pandemi, tentang politik, hingga tentang pengalamannya selama menempuh pendidikan hingga kini menyandang gelar Profesor.

Prof. Simon Sabon Ola mengisahkan bahwa meski kini menyandang gelar Profesor, tapi dirinya hanyalah anak kampung yang lahir di pedalaman Pulau AdonaraFlores Timur. Lahir di kampung pada tahun 60-an adalah masa-masa yang sulit. Bahkan makanan pertama yang dikecap ketika sudah bisa makan adalah ubi karet.

“Ubi karet, bukan ubi kayu. Masih mending jika bisa makan ubi kayu, karena rasanya lebih enak dan gizinya tidak jauh beda dengan beras. Tapi ini ubi karet,” kenangnya.

Meski berasal dari kampung, namun Simon memiliki tekad sekeras batu karang, mempunyai semangat belajar bagai ganasnya hempasan ombak pantai selatan Flores, dan menjalani hidup dengan prinsip-prinsip yang tak tergoyahkan laksana perkasanya gunung Ile Boleng. Tak heran jika kini dirinya berbangga menikmati segala pencapaiannya yang diraih dengan susah payah. Gelar Profesor pun kini boleh disandangnya dengan penuh kebanggan dan penuh rasa tanggung jawab.

Sedikit cerita. Beberapa hari yang lalu seorang sahabat datang ke rumah. Kami ngobrol banyak hal. Dalam obrolan ‘ngalor-ngidul’ itu, entah kenapa, kami menjadi begitu larut membahas soal mutu pendidikan di provinsi NTT tercinta ini. Nah, dalam obrolan tentang pendidikan itulah obrolan kami tiba-tiba menyerempet kampus kebanggaan orang NTT: Universitas Nusa Cendana (Undana), yang saat ini sedang dalam proses suksesi untuk memilih rektor baru.

Saya sangat tertarik ketika teman saya mengatakan bahwa salah satu calon rektor Undana adalah Prof. Simon Suban Ola. Kami kemudian bersepakat untuk menyambangi Prof. Simon untuk bertanya dan berbincang langsung dengannya. Maka disepakati waktu, Minggu 22 Agustus 2021 kami akan bertemu dan berbincang-bincang dengan Prof . Simon di kediamannya.

Tiba di rumah Prof. Simon, kami disambut dengan ramah. Selang beberapa saat setelah kami duduk, beberapa gelas kopi, sepiring keladi rebus, dan sepiring kacang dihidangkan untuk menemani obrolan kami.

Sembari menikmati kopi panas dan makan keladi, kamipun berbincang santai. Prof. Simon memulai kisahnya dengan menceritakan pengalaman pendidikannya yang unik. Sebagai anak kampung Prof. Simon bahkan tidak pernah punya cita-cita bisa menjadi dosen. ”Jangankan jadi dosen, bisa kuliah saja tidak terbayangkan”, tuturnya.

Tamat sekolah dasar di kampung, Simon kecil melanjutkan studi di SMP. Masuk SMP setahun, kemudian keluar lagi. Setelah itu Simon masuk SMP lagi, tapi di tempat yang jauh dari rumahnya. “Saya sekolah di kandang kambing. Ruangan tempat kami belajar itu disekat, sebelahnya untuk kami belajar, sebelahnya lagi untuk kami belajar,” tuturmya.

Prof. Simon juga mengisahkan bahwa di SMP yang kedua itu dirinya juga hampir berhenti sekolah karena buku-bukunya sempat terbawa banjir. Namun salah satu gurunya meminta teman-teman sekelasnya untuk membantu membuat catatan baru buat Simon sehingga dirinya tak jadi berhenti sekolah.

Tamat SMP, Simon kemudian masuk SPG. Menurut Simon, saat itu SPG adalah sekolah favorit, karena tamat SPG bisa langsung dapat SK untuk mengajar. Lulus dari SPG, Simon mulai berencana untuk kuliah, namun tidak disetujui oleh ayahnya.

“Bapak tidak mengijinkan saya sekolah bukan karena tidak ada biaya. Saya tahu bapak punya uang. Namun Bapak ingin saya tinggal di kampung, karena kakak lelaki saya sudah tinggal jauh dari rumah. Saya diharapkan oleh Bapak saya untuk tinggal di kampung agar bisa jaga kebun kelapa, merawat rumah, dan jaga harta warisan yang lainnya. Saya tahu bahwa apa yang bapak pikirkan itu mulia, namun menurut saya, kuliah juga mulia. Dan saya memilih untuk kuliah,” tuturnya.

Meski tidak direstui ayahnya, namun keinginan untuk kuliah disetujui ibunya. Dengan restu ibunya, Simon nekad untuk berangkat kuliah ke Kupang. Simon akhirnya diterima di Undana, bahkan mendapat beasiswa ikatan dinas karena kecerdasannya. Lulus kuliah, Simon langsung mengajar di Undana. Beberapa tahun mengajar, Simon mengajukan permohonan untuk kuliah S2. Karena proses untuk S2 dirasanya lambat, Simon pun sempat mengajukan melamar ke Konsulat Jenderal RI di Tawau, guna mengajar para pekerja migran di sana. Lamarannya sudah diterima, namun Simon tidak jadi berangkat karena pengajuan S2-nya disetujui oleh Dikti sehingga Simon akhirnya lebih memilih untuk melanjurkan S2 di Universitas Udayana Bali.

Simon berhasil menyelesaikan studi S2-nya tanpa hambatan. Setelah menyelesaikan S2 Universitas Udayana, Simon sempat ditawari untuk kerja sama penelitian di Universitas Gajah Mada. Namun Simon memilih kembali mengajar di Undana.

“Ketika kembali ke Undana, saat itu ada banyak proyek besar-besar. Ada program penyetaraan dari D1 ke D2, D2 ke D3, dan D3 ke S1. Satu minggu mengajar kita bisa dapat uang Rp10 juta. Angka itu sangat besar pada saat itu. Tetapi saya tidak tergiur dengan itu semua. Ketika Udayana buka program S3, saya lamar lagi untuk kuliah S3,” ucapnya.

Meski sudah memiliki tekad yang kuat untuk melanjutkan S3, namun rencana itu terbentur pada masalah biaya. Pihak kampus (Undana) meminta agar para dosen yang ingin melanjutkan pendidikan S3 harus menandatangani pernyataan untuk membiayai sendiri kuliah S3 mereka. Dan Simon pun telah menyepakati hal itu.

Simon akhirnya memutuskan untuk menjual tanah bersama rumahnya yang terletak di daerah Naikoten untuk biaya kuliah. Sebelum keputusan itu dieksekusi, pihak Udayana menghubunginya untuk menyampaikan bahwa dirinya mendapatkan beasiswa dari Udayana. Akhirnya rencana untuk menjual rumah pun dibatalkan.

Berkaitan dengan pendidikannya, ada kisah menarik yang diungkapkan oleh Prof. Simon Ola. “Waktu itu kakak saya datang. Ketika hendak kembali ke kampung, kakak saya bilang begini; orang-orang yang pulang dari Malaysia di kampung rumahnya bagus-bagus, masa engkau yang dosen ini rumahnya hanya begini-begini saja? Saya tidak mau tahu, pokoknya nanti saya sampai di kampung kau harus mulai bikin rumah, nanti semua bahan kayunya akan saya kirim dari kampung,” kata kakaknya kepada Simon.

Simon pun mengiyakan permintaan kakaknya itu. Namun, setelah kakaknya tiba di kampung, Simon tiba-tiba saja berubah pikiran dan mengabarkan kepada kakaknya bahwa dirinya ingin melanjutkan kuliah sehingga pembangunan rumahnya ditunda dulu.

Singkat cerita, Simon pun bisa menyelesaikan kuliah S3-nya dengan baik dan kembali ke Undana untuk mengajar, melakukan penelitian, menulis jurnal dan artikel ilmiah lainnya. Keseriusannya dalam menjalani tugas dan tanggung jawab sebagai akademisi membuat Simon melakukan semua pekerjaannya dengan tulus dan sepenuh hati. Tanpa sadar, ketika hendak mengajukan kenaikan pangkat, ternyata syarat-syarat untuk mengajukan gelar Profesor sudah terpenuhi semuanya sehingga Simon langsung mengajukan permohonan untuk mendapat gelar Profesor. Berkat ketekunannya, Simon Sabon Ola akhirnya meraih gelar Profesor tanpa hambatan.

Menyimak perjalanan hidup, perjalanan pendidikan, dan rekam jejaknya, harus diakui bahwa Prof. Dr. Simon Sabon Ola, M.Hum, sangat layak untuk memimpin Universitas Nusa Cendana selama 5 tahun ke depan.

Data diri dan Riwayat Pendidikan

Simon Sabon Ola, lahir di Desa Lamawolo, Kecamatan Ile Boleng, Pulau Adonara, Flores Timur, 22 Maret 1965, anak ke-6 dari Lukas Payong Dore (Alm) dan Maria Letek Sabon (Almh).

Menikah dengan Filomena Wilhelmina Abuk Berek, S.Pd. (Alm).

Anak-anak:   dr. Romario Vianney Wewang Geroda Langowuyo, S.Ked., Thomas  Ardian Payong Dore Langowuyo, dan Aurelia Agustina Uba Beren Langowuyo.

Menikah lagi dengan dengan Dr. Lanny Isabela Dwisyahri Koroh, S.Pd., M.Hum.

Tamat SDK Lamawolo tahun 1976, SMP PGRI Gelekat Lewo tahun 1981, SPG Suryamandala-Waiwerang tahun 1984. Kuliah Program Sarjana pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesiai FKIP Undana, tamat tahun 1990; S2 Linguistik pada PPs Universitas Udayana, tamat tahun 1997. Program Doktor Linguistik Universitas Udayana, tamat tahun 2005 dengan disertasi berjudul: “Tuturan Ritual dalam Konteks Perubahan Budaya pada Kelompok Etnik Lamaholot di Pulau Adonara, Flores Timur”.

Sejak tahun 1989 mengajar pada berbagai SMP, SMA, dan SMK di Kota Kupang. Tahun 1992 diangkat sebagai Dosen pada FKIP Undana. Sejak tahun 1997 mengajar pada sejumlah perguruan tinggi, antara lain: Unwira Kupang, Universitas Muhammadiyah Kupang, dan Universitas PGRI NTT.

Pernah menjadi Dosen tamu di Universitas Flores, Ende (2010—2011), Universitas Warmadewa (2016—2017), Institut Keguruan dan Teknologi (IKTL) Larantuka.

Tahun 2011 dikukuhkan dalam jabatan fungsional  Guru Besar Bidang Sosiolinguistik dengan pangkat/golongan terakhir Pembina Utama Madya, IV/d. Pernah menjabat sebagai Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Undana (2014—2018).

Tidak kurang dari 40 artikel ilmiah telah dihasilkan dan dipublikasikan di berbagai jurnal, baik lokal nasional (terakreditasi), maupun internasional, di samping puluhan makalah yang telah dipresentasikan dalam berbagai pertemuan ilmiah nasional dan internasional Bidang Linguistik dan Bidang Budaya. Profesor Simon, kini aktif melakukan penelitian budaya dan linguistik lintas-bidang.

Buku yang dihasilkan: Sosiolinguistik, dan Linguistik Historis Komparatif (bersama Fredy Maunareng).

(JR)

Pos terkait