JAKARTA – Masih seringnya kecelakaan kapal-kapal penyeberangan dengan korban jiwa dan harta, serta tumpang tindih aturan yang ada menjadi keprihatinan semua pihak.
Perhatian terhadap hal itu juga ditunjukan oleh Perkumpulan Ahli Keselamatan dan Keamanan Maritim Indonesia (AKKMI). Menyikap realitas yang kerap terjadi sebagaimana disampaikan di atas, AKMMI menyampaikan beberapa usul dan rekomendasi kepada pemerintah dan pihak terkait.
Menurut Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa M. Mar, Wakil Ketua AKKMI, saran dan usulan AKKMI ini disampaikan sebagai wujud kepedulian dan upaya bersama untuk meningkatkan keselamatan pelayaran, termasuk kapal-kapal penyeberangan.
“Usaha penyeberangan baik kapal atau pelabuhan ke depan harus dikelola dengan baik dan profesional dan menempatkan keselamatan dan keamanan maritim sebagai prioritas utama,” ujarnya.
Sebelumnya, Capt. Marcel, Wakil Ketua AKKMI, ikut hadir dalam rapat koordinasi (rakor) yang diinisiasi Kemenko Maritim dan Investasi (Marives). Rakor ini dilakukan untuk menindaklanjuti maraknya kejadian kecelakaan yang melibatkan kapal-kapal penyeberangan (Kapal Ferry) – ASDP baik BUMN maupun swasta.
Rakor di Kemenko Marves itu dihadiri para pemangku kepentingan dan pihak terkait. Rakor dimaksudkan untuk perbaikan tata usaha pelabuhan penyeberangan di Indonesia dilakukan secara daring pada bulan Agustus yang lalu.
Langkah itu sebagai tindak lanjut dalam merumuskan rekomendasi perbaikan dan penyelesaian secara komprehensif terhadap Tata Kelola Pelabuhan Penyeberangan di Indonesia terutama Merak – Bakauheni, Ketapang – Gilimanuk, Padang Bai – Lembar, Potatono – Kayangan.
Hadir dalam rakor tersebut; Kemenko Marves, Kemenhub, Pusat Hidro-Oseanografi TNI AL (Pushidrosal), KNKT, BMKG, Basarnas, PT. Biro Klasifikasi Indonesia (BKI), PT. ASDP.
Hadir pula dari assosiasi, yaitu Gabungan Pengusaha Angkutan Penyeberangan Sungai, Danau dan Ferry (Gapasdap), AKKMI, Indonesian Nasional Shipowner’s Association (INSA).
Dalam rakor ini, Capt Macel sebagai wakil dari AKKMI menyampaikan beberapa rekomendasi kepada para pihak.
“Mengingat pelabuhan penyeberangan dioperasikan oleh BUMN (PT ASDP Indonesia Ferry), maka jajaran Dewan Komisaris jangan lagi berasal dari pejabat publik yang masih aktif apalagi berasal dari kementrian teknis karena akan terjadi benturan kepentingan,” kata dia.
Kedua, kata Capt Marcel, regulator terkait teknis apalagi peraturan-peraturan terkait yang masih memiliki banyak benturan terutama UU No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran dan aturan dibawahnya.
Saat ini, ASDP masih mengacu/diatur oleh Ditjen Perhubungan Darat (Hubdat), Kemenhub sebagai regulatornya. Sementara, kejadian selama ini yang kita amati ada di laut yang merupakan area Perhubungan Laut (Hubla).
“Kejadian-kejadian tersebut harusnya mampu menggugah kita semua untuk bisa menggali apakah ada yang salah dengan regulasi dan regulatornya,” jelas Capt Marcel.
Pengertian kapal sebagai jembatan sebagai mana tertuang dalam Bab I Pasal 1 butir 7 PP No. 20 tahun 2010 tentang Angkutan Perairan, menurut Capt Marcel, perlu dikaji kembali karena definisi tersebut telah menyebabkan misinterpretasi yang dalam di tataran pelaksana di lapangan.
“Seperti diketahui, kapal-kapal ASDP hanya dianggap sebagai benda (jembatan) dan bukan alat transportasi apalagi kapal,” terang salah satu nakhda kapal Pertamina itu.
Tidak adanya perwakilan Hubla pada saat kegiatan yang diundang, menurut Capt. Marcel, menandakan bahwa kita patut diduga tidak memahami akar masalah sebenarnya yang terjadi.
“Tumpang tindih regulasi serta tidak tepatnya siapa yang mengatur sebenarnya Kapal-Kapal tersebut ketika sudah berada di lautan menyebabkan para pihak yang mewakili regulator di pelabuhan-pelabuhan terkait juga kebingungan terkait dasar mereka dalam bekerja. Lautan yang diatur oleh peraturan Dirjen Hubdat,” kilah Capt Marce.
Selanjutnya, terkait pembiaran truk-truk over dimension dan over loading (ODOL) yang masuk kedalam kapal-kapal ASDP, papar Capt Maceal, patut dicermati sebagai salah satu aspek utama, yang berkontribusi pada kecelakaan kapal ASDP (penyeberangan) ini.
Pasalnya, menurut alumni AIP Jakarta ini, perhitungan stabilitas kapal yang tidak dapat dilakukan dengan baik dan akurat. Karena, beban kapal berlebihan yang diakibatkan truck-truck ODOL apalagi jika tak ditata dan diatur baik dan benar.
Tidak adanya crew manifest dengan jumlah yang presis sering kali juga menghambat proses penyelematan dan penyelidikan sebab kecelakaan Kapal.
“Waktu di pelabuhan yang ketat dan pendek seringkali dijadikan alasan oleh operator sehingga saat kapal berangkat kendaraan tidak diikat (lashing). Potensi bergeraknya muatan diatas kapal sehingga mengubah stabilitas kapal secara drastis patut dijadikan dasar berfikir bersama,” terang Capt Marcel.
Karenanya, tambah dia, AKKMI mengusulkan agar ke depan dibuat waktu sandar kapal yang ideal di tiap-tiap pelabuhan sehingga tidak ada lagi alasan para pihak tidak mengikuti peraturan yang telah ada. (JR)