KUPANG, nusalontar.com | Pendiri dan Direktur Cakrawala NTT, Gusty Rikarno, mengemukakan bahwa setelah berkiprah selama sepuluh tahun atau satu dekade, Cakrawala NTT telah berhasil memberi pelatihan menulis kepada kurang lebih 17 ribu guru dan 15 ribu siswa di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Hal ini diungkapkan pria yang akrab disapa Gusty itu pada saat menggelar kegiatan Diskusi Pendidikan untuk merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) Cakrawala NTT ke-10 sekaligus merayakan Hari Guru Nasional (HGN) Tahun 2023, Jumat (24/11/2023).
Kegiatan yang mengusung tema “Menjadi Penggerak Pendidikan untuk Generasi Emas NTT” tersebut berlangsung di Yayasan Rumah Literasi Cakrawala, Desa Noelbaki, Kabupaten Kupang dan menghadirkan dua pembicara utama, yakni Pendiri dan Direktur Cakrawala NTT, Gusty Rikarno, dan Dosen Filsafat Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang, Peter Than, S.Fil., M.Fil., serta dihadiri oleh berbagai kalangan, seperti wartawan, pengamat dan praktisi pendidikan, dosen, guru, mahasiswa, dan masyarakat umum.
Mengawali diskusi, Gusty memberikan apresiasi bagi semua pihak yang telah mendukung perjalanan Cakrawala NTT selama 10 tahun.
“Terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung perjalanan Cakrawala NTT hingga bisa mencapai angka 10 tahun. Selama 10 tahun kami telah menerbitkan 123 edisi, dan memberi pendampingan menulis kepada kurang lebih 17.000 guru dan 13.000 siswa,” sebutnya.
Selanjutnya, Gusty memaparkan bawah hingga saat ini kondisi pendidikan, khususnya dalam hal literasi, NTT masih tergolong buruk. Masih banyak anak-anak usia SD, bahkan SMP, yang belum bisa membaca dan menulis dengan baik.
Oleh karena itu, menurut Gusty, misi memajukan dunia pendidikan melalui peningkatan budaya literasi adalah tugas dan tanggung jawab bersama, sehingga Cakrawala NTT hanya berperan Sahabat Penggerak Literasi.
“Usaha dan misi untuk memajukan dunia pendidikan melalui literasi adalah tugas bersama dan Cakrawala NTT hanyalah sahabat yang menggerakkan, sedangkan penggerak utamanya adalah sumber daya yang berada dalam bidang pendidikan itu sendiri,” ujarnya.
Ia menuturkan, literasi merupakan aspek yang paling dibutuhkan untuk menunjang mutu pendidikan. Dengan kemampuan literasi yang baik, terang Gusty, para guru mampu berpikir kreatif dan bertindak inovatif dalam menciptakan pembelajaran yang berkualitas serta berorientasi pada peserta didik. Selain itu, sambungnya, para peserta didik juga dapat mengembangkan potensi diri sesuai kondisi dan kebutuhannya.
“Kami selalu fokus dan berkomitmen untuk memajukan dunia pendidikan dengan literasi. Dengan budaya literasi, guru selaku penggerak pendidikan dan peserta didik sebagai subyek pendidikan dapat mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan, apalagi kita sudah masuk dalam nuansa Merdeka Belajar,” ungkap Gusty.
Kritisi Program Guru Penggerak
Pada saat itu, Gusty juga mengkritisi program guru penggerak yang menurut catatannya belum berhasil mengubah wajah pendidikan di NTT. Padahal anggarannya sangat besar. Ironisnya lagi, anggaran itu terpaksa harus dikembalikan karena tidak terserap.
“Tahun kemarin Balai Guru Penggerak harus mengembalikan anggaran sekitar 20 miliar. Entahlah tahun ini. Butuh energi besar untuk mengubah ekossitem pendidikan dengan biaya yang tidak sedikit,” ujarnya.
Menurut Gusty, program guru penggerak ini secara konseptuak bagus. Namun yang disoroti adalah efektifitasnya. Di lapangan masih amburadul. Bahkan, menurutnya, program guru penggerak malah menimbulkan persoalan baru karena banyak guru yang sering meninggalkan kelas untuk mengikuti program tersebut, sedangkan hasil yang ingin dicapai tidak tampak hingga saat ini.
Oleh karena itu Gusty memberikan beberapa catatan agar program guru penggerak ini bisa membawa perbaikan bagi wajah pendidikan di NTT.
“Mungkin saatnya perkuat di kualitas. Satu guru harus bisa mempengaruhi seratus guru lainnya, kalau memang dia benar-benar bergerak. Ketimbang, ada banyak guru pengggerak tapi tidak bergerak,”ujarnya.
Selain itu, Gusty juga meminta agar Balai Guru Penggerak (BGP) harus membuka diri. BGP harus mendatangkan ahli-ahli pendidikan ketika memberi pelatihan untuk para guru.
“Harus ada basis rasional ketika mengundang narasumber dalam meberi pelatihan terhadap para guru,” imbuhnya.
Gusty juga meminta agar ada keterlibatan masyarakat dalam mendukung proggram-program yang diturunkan oleh pemerintah. Oleh karena itu BGP juga harus membuka diri untuk dibantu.
“BGP sebaga lembaga publik juga harus siap dikritik tentu saja kritik yang membangun dan disertai tawaran solusi. Sebab sasaran kita adalah bagaimana menjawab situasi riil yang kita hadapi saat ini,”tandasnya.
Merawat Kegelisahan
Di tempat yang sama, Peter Than, membuka pemaparannya dengan mengapresiasai Cakrawala NTT yang terus merawat kegeglisahannya akan kondisi pendidikan di NTT selama sepuluh tahun ini.
“Saya mengucapkan selamat, karena selama 1o tahun hidup bersama kegelisahan. Sejarah peradaban kita itu dimulai dengan kegelisahan,” ucapnya.
Peter juga mengapresiasi Cakrawala NTT yang memiliki mimpi untuk menghasil generasi emas NTT di tahun 2050 nanti. Menurutnya, mimpi Cakrawala NTT itu adalah sesuatu yang realistis.
Namun, di balik itu ada pertanyaan yang diajukan Peter, apakah di 2050 nanti akan menciptakan generasi emas atau silent majority.
“Kalau senyap, berarti ada yang salah dengan literasi. Saya membayangkan generasi yang bersuara, lisan maupun tulisan. Cakrawala NTT harus ciptakan generasi yang bersuara,” ungkapnya.
Peter berharap, Cakrawala NTT terus melangkah di jalan literasi, khususnya dengan metode pelatihan terhadap guru maupun siswa. Sebab, kata dia, literasi akan membantu orang keluar dari ketertindasan.
“NTT hidup dalam bermacam-macam ketertindasan. Oleh karena itu Cakrawala NTT tidak hanya sekedar membantu orang untuk tahu baca dan tulis, tetapi lebih dari itu,” tegasnya.
Pada kesempatan itu Peter Than juga menyampaikan kegelisahannya akan kondisi pendidikan saat ini. Menurutnya, situasi dan kondisi pendidikan kita tengah mengalami peralihan dari asas paradigmatik ke pragmatik. Menurutnya, konsep pendidikan sekarang lebih menekankan pencapaian praktis ketimbang pengembangan ide atau paradigma berpikir.
“Kondisi pendidikan saat ini benar-benar pragmatis. Para pelajar dan mahasiswa bahkan diarahkan untuk mempersiapkan diri menjelang dunia kerja. Mereka dibentuk menjadi pekerja dalam industri kerja, bahkan disisipi paradigma ekonomi. Akibatnya, mereka tidak menghiraukan hal-hal idealis dan tidak mementingkan paradigma berpikir yang kritis,” ungkapnya.
Peter berharap, semoga dengan berbagai kebijakan yang ada, bisa menghasilkan kualitas pendidikan yang baik di provinsi yang kita cintai ini.
“Penting sekali sumber daya pendidikan yang berkualitas, termasuk guru. Semua guru adalah penggerak, sehingga tidak ada semacam perbedaan diantara para guru, seolah ada yang tidak bergerak dan ada yang bergerak. Yang sebenarnya adalah guru yang terlibat,” tegasnya.
Di akhir penyampaian, Peter memberikan apresiasi bagi Cakrawala NTT yang berani mengambil haluan untuk mengarahkan kembali para penggerak dan subyek pendidikan ke dalam konsep pendidikan yang lebih berkualitas melalui budaya literasi.
“Selama satu dekade perjalanan, Cakrawala NTT telah memberikan banyak kontribusi melalui budaya literasi. Sekali lagi, apresiasi yang setingginya patut diberikan atas komitmen yang telah dibangun oleh Cakrawala NTT,” pungkasnya.
Pantauan media, selepas penyampaian materi dari kedua pembicara, dilanjutkan sesi diskusi bersama para peserta diskusi. Banyak topik dan isu yang dibahas dalam sesi diskusi, mulai dari persoalan pembelajaran, sumber daya pendidikan yang belum memenuhi tuntutan masyarakat, iklim pendidikan yang belum kondusif, rendahnya kemampuan literasi dasar peserta didik, hingga persoalan tenaga pendidik di lingkungan pendidikan.
Berlangsung sejak pukul 16.00 Wita, kegiatana diskusi berjalan dalam suasana penuh keakraban. Sederhana namun berisi, demikian komentar salah satu peserta yang hadir dalam kegiatan diskusi tersebut.
Sesi diskusi ditutup dengan komitmen bersama untuk mendukung peningkatan mutu pendidikan di NTT, termasuk melalui penguatan aspek literasi. Para peserta diskusi mengharapkan adanya rencana tindak lanjut sebagai bagian dari semangat sinergitas-kolaborasi yang telah dibangun.**