NUSALONTAR.COM – LEMBATA – Bupati Lembata, Eliaser Yentji Sunur mengaku kaget dengan wacana pemakzulan dirinya dari kepala daerah dalam aksi demonstrasi Aliansi Rakyat Lembata Bersatu (ARLB) pada Kamis (20/05/2021) lalu.
Sunur juga mempertanyakan alasan dirinya didesak untuk turun dari jabatannya sebagai kepala daerah. Ketua Golkar Lembata ini juga meminta agar ARLB bisa menjelaskan maksud di balik wacana pemakzulan dirinya.
“Isu pemakzulan karena apa saya sendiri juga bingung. Saya sendiri tidak tahu itu apa maksudnya,” ungkap Yentji Sunur kepada wartawan usai deklarasi organisasi Anak Muda Adonara (AMA) Lembata, Selasa (01/06/2032), dilansir dari Kumparan.com.
Menanggapi komentar Bupati Yance itu, Anggota DPRD Lembata dari Fraksi PDI Perjuangan, Gabriel Raring, mengungkapkan bahwa dirinya merasa sedih, lucu, juga ironis, dengan pernyataan Bupati Yance itu.
“Saya merasa sedih, lucu, dan ironis dengan pernyataan Bupati (Yance Sunur, red) yang merasa kaget dan bingung atas tuntutan yang disampaikan oleh ARLB saat melakukan aksi di Lembaga DPRD Kabupaten Lembata. Kenapa harus kaget? Kenapa harus bingung? Tuntutan aksi massa itu benar dan normatif adanya karena dialamatkan pada Lembaga DPRD yang punya kapasitas dan kewenangan untuk melakukan itu (menurunkan bupati). Tentunya, semua itu harus sesuai dengan mekanisme yang diatur oleh tata aturan yang dijadikan rujukan untuk memproses hal ini. Dan juga mesti didukung dengan fakta dan data sebagai landasan pembenarnya,” urai Gabriel melalui pesan whatsapp yang dikirim ke Redaksi NUSALONTAR.COM, Kamis (03/05/2021)
Menurut Gabriel, kesimpulan Bupati Yance juga sangat sangat prematur kalau mengatakan bahwa tuntutan ARLB itu tidak berdasar dan prematur.
“Soal berdasar atau tidak, hal ini butuh pembuktian. Dan pembuktian harus dilakukan oleh lembaga negara yang memiliki domain kewenangan. Salah satunya adalah lembaga DPRD.
DPRD bisa menindaklanjuti tuntutan massa aksi dengan menggunakan hak-hak yang melekat pada lembaga berdasarkan amanat konstitusi. Misalnya mengajukan Hak Angket, Hak Interpelasi, maupun Hak Mengajukan Pertanyaan. Prosedur inilah yang bisa dipakai untuk menindaklanjuti tuntutan massa aksi sehingga bagi saya tuntutan ARLB untuk menurunkan Bupati tidak prematur. Pertanyaannya: Apakah DPRD secara Lembaga mau dan berani memproses tuntutan ini atau tidak,” tantangnya
Gabriel juga menyoroti pernyataan Bupati Yance yang menyayangkan tuntutan para pendemo karena menjadikan beberapa proyek mangkrak di Lembata sebagai alasan untuk menjatuhkan dirinya. Bupati Yance mengatakan bahwa itu adalah cara yang tidak masuk akal.
“Kata Bupati, menjadikan proyek mangkrak sebagai alasan adalah cara yang tidak masuk akal. Pernyataan ini tersirat menyimpan rasa ‘ketakutan’ dari seorang Bupati. Bupati terkesan melepaskan tanggung jawab sebagai Kepala Daerah sekaligus Kepala Pemerintahan yang bertanggung jawab penuh terjadap semua dinamika dan realitas yang terjadi (termasuk soal proyek-proyek mangkrak), dibawah kepemimpinannya,” jelas Gabriel.
Gabriel pun menganjurkan agar Bupati Yance membaca peraturan yang ada agar bisa memahami posisinya sebagai Kepala Daerah sekaligus Kepala Pemerintahan.
“Saya dengan sadar dan tulus menganjurkan, sebaiknya Bapak Bupati membaca dan mendalami lagi UU Nomor 23 tahun 2014, yang telah diubah dengan UU Nomor 9 tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah, secara khusus mendalami pasal 78 ayat 1 dan ayat 2 serta yang TERPENTING pasal 76 ayat 1 point a sampai dengan j tentang larangan untuk Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah,” sebutnya.
Tuntutan ARLB dalam aksi, sambung Gabriel, tidak saja membicarakan soal proyek mangkrak,tetapi banyak persoalan yang diangkat dan dijadikan sebagai tuntutan. Dan salah satu yang aktual saat itu adalah berkaitan dengan PERJALANAN DINAS yang mencapai 24 hari alias satu bulan berdasarkan hitungan kalender kerja.
“Tentang hal ini baca dan dalami secara baik dan bijak pasal 76 ayat 1 point j, UU 23 tahun 2014, sehingga jangan mudah menyimpulkan bahwa tuntutan ARLB saat aksi TIDAK BERDASAR dan PREMATUR,” tegasnya.
Komentar Bupati yang ditulis media –“Proyek-proyek yang katanya menurut mereka bermasalah itu apa saya yang kerjakan. Saya kan urus di tataran kebijakan tapi untuk teknis pengerjaan dibawah kan bukan bupati, saya masih terus membangun daerah, salah saya ada dimana”– juga mendapat sorotan dari Wakil Ketua Komisi 3 DPRD Lembata ini.
Bagi Gabriel, pernyataan itu sungguh-sungguh menyakitkan, menyedihkan dan memalukan.
“Bagi saya, pernyataan Bupati itu terkesan Bapak Bupati ingin ‘CUCI TANGAN’ terhadap semua proyek mangkrak yang sudah dan mungkin akan terjadi. Pernyataan ini hanya membenarkan diri dan mengkambing hitamkan orang lain; dalam hal ini pelaksana proyek, baik Aparatur Sipil Negara (ASN) maupun Pihak Ketiga yang terlibat dalam pengerjaan dan melahirkan proyek mangkrak. Dan hal ini sudah sangat jelas terlihat dalam proses penegakan hukum Mega Proyek Awulolong,” bebernya.
Terkait Awulolong, lanjut Gabriel, kita berharap dan terus mendukung pihak POLDA NTT untuk terus berkerja dan membongkar siapa-siapa saja Aktor Intelektual di balik kasus ini.
“Dengan pernyataan ini pula, saya hendak berpesan kepada ASN ataupun pihak ketiga yang bekerja dan menjadikan pekerjaan itu mangkrak, untuk siap diri baik-baik, tidur jangan nyenyak karena waktunya akan tiba, sebab kebenaran akan menemukan jalannya sendiri,” imbuhnya.
Meski mengkritisi beberapa pernyataan Bupati Yance, Gabriel Raring juga sepakat dengan Yance bahwa kebebasan berpendapat mesti dihargai.
“Saya secara pribadi sepakat dengan pernyataan Bapak Bupati, yang memberikan apresiasi dan tersirat dukungan terhadap aksi yang dilakukan oleh ARLB. Kebebasan menyatakan pikiran dan pendapat patut dihargai dan mendapat tempat atas nama kebaikan bersama, tetapi tetap menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan sopan santun.
Mari terus memberi diri secara tulus dan total untuk memenangkan kepentingan rakyat banyak, di atas kepentingan pribadi, keluarga, maupun golongan,” pungkas Gabriel. (JR)