Cerpen Spesial Valentine – Kisah Cinta Rosa

Cerpen Valentine Kisah Cinta Rosa
Ilustrasi

CerpenNusalontar.com

“Kaka jahat!”

Bacaan Lainnya

Hanya itu pesan baru yang ada, saat saya buka kotak masuk di nokia jadul saya. Pengirim pesannya adalah Rosa.

***

Senja hampir menghilang saat saya tiba di Pantai Ria. Debur ombak pantai ini masih sama. Hempasannya lemah dan berirama. Tempat ini adalah favorit anak muda untuk menghabiskan separuh malam mereka. Entah berdua dengan gebetan, atau dengan teman – teman sebaya. Ada juga yang datang sekeluarga untuk sekedar berbagi kegembiraan. Di tempat ini kita bisa makan dan bercengkrama sembari menikmati lautan dan debur ombaknya yang khas.

Tadi siang saya janjian dengan seseorang yang saya kenal saat ada nomor nyasar di hape saya yang sudah ketinggalan jaman itu. Kejadiannya seminggu yang lalu. Awalnya marah – marah tidak jelas. Tapi ujungnya malah berkenalan, selanjutnya sms-an dan telponan hingga larut malam. Alur yang gampang ditebak.

Namanya Rosa. Dia mahasiswi, jurusan bahasa, semester enam. Hanya itu informasi yang saya dapat selama seminggu berbagi cerita lewat cellphone. Tidak lebih, juga tak kurang. Pas.

Tadi siang Rosa ajak ketemuan. Tentu saja saya senang, tapi saya bikin seolah – olah tidak terlalu antusias. Orang Ende bilang “jaga waka” (jaga wibawa). Biar tidak dianggap pria murahan. Pria baik – baik seperti saya memang harus agak jual mahal.

Sebetulnya saya bukan tipe pria yang hoby berkenalan dan bersahabat dengan orang dengan cara ginian. Tapi entah kenapa, kali ini ‘idealisme’ saya runtuh dengan sedemikian mudah dengan remaja tanggung bernama Rosa ini, hingga mau – mau saja saat dia ajak ketemuan.

Setengah jam menanti, Rosa datang. Jaket putih bergaris merah, dan celana jeans belel yang ada sobekan di bagian paha, sangat pas dan warna kulit kuning, dan badannya yang langsing tapi berisi. Ternyata Rosa jauh lebih manis dari bayangan saya.

“Hai…” sapaan Rosa membuyarkan lamunan singkat saya. “Eh…hai….maap” kata saya gagap. Entah kenapa saya jadi grogian seperti ini.
“Kaka sudah lama sampe?”
“Barusan saja ade”.

Dan kemudian ceritapun mengalir tanpa henti dari mulut kami berdua. Sesekali kami tertawa bahagia. Rasanya seperti teman lama yang baru kembali berjumpa setelah sekian lama berpisah. Rosa gadis yang menyenangkan, manis, lucu, dan menggemaskan.

Setelah pertemuan di Pante Ria, saya dan Rosa menjadi sering bersama. Usai kuliah, jika saya tak ada kesibukan, Rosa selalu sms saya untuk ajak jalan. Kadang nongkrong di Taman Pancasila, kadang hanya putar – putar kota dengan motor tua saya, kemudian saya antar dia pulang. Beberapa kali kami ke Nangalala bersama teman – teman.

Sebagai pengangguran yang kerjanya serabutan, saya memang punya banyak waktu luang. Makanya ketika Rosa sms saya jarang menolak. Mirip tukang ojek yang sudah dibayar di muka.

Teman – teman saya semuanya berpikir bahwa saya dan Rosa pacaran. Padahal tak pernah ada ungkapan apapun yang muncul dari mulut kami berdua tentang perasaan. Setidaknya sejauh ini, entahlah nanti. Kami hanya menghabiskan waktu berdua, berbagi tawa, atau sesekali Rosa curhat tentang mantannya. Itu saja.

Ketika teman – teman mulai “ganggu – ganggu” kami berdua, kami hanya senyum – senyum saja. Senyum pun masing – masing, tidak pake saling pandang seperti kisah di novel – novel, atau di cerpen – cerpen. Lebay amat, senyum doang pake acara gituan.

*** ***

Ella adalah teman lama saya waktu sama – sama kuliah di Makasar. Hitam manis, punya lesung pipi dalam, dan punya rambut hitam berombak. Yang paling saya suka dari Ella adalah caranya menatap dan senyumnya yang indah. Kayak ada deg – deg srrr-nya, kata sepupu saya. Sepupu saya mah gitu orangnya, suka beri penilaian. Padahal gebetan aja kagak punya.

Setelah lulus kuliah, satu tahun kemudian Ella ikut tes CPNS di kotanya, dan lulus. Bahkan dengan nilai terbaik pula. Selain cantik, Ella memang pintar. Teman – teman kuliahnya sering menceritakan hal itu pada saya saat saya bertandang ke kosan Ella. Entah apa maksud mereka mengisahkan hal itu pada saya. Saya hanya iya – iya saja, biar bebas habiskan gorengan tanpa harus merasa tidak enak.

Kemarin Ella telepon, katanya dia ikut pelatihan selama tiga hari di Ende. Pelatihannya sudah selesai, makanya dia ajak saya ketemuan. Dia minta cari tempat makan yang Enak. Dia yang traktir.

Selain senang ketemu sahabat lama, bagian paling saya suka adalah ditraktir makanan enak. Kapan lagi jika tidak sekarang. Dengan siapa lagi jika sia – siakan tawaran Ella. Demikian pikir saya penuh wibawa.

Saya dan Ella akhirnya ketemuan dan makan malam di Lesehan Ikan bakar, di daerah KM 3. Di sana saya tuntaskan kerinduan saya pada ikan Kerapu bakar. Usai makan kami nongkrong dan berbagi cerita di tangga Lapangan Pancasila.

Ella benar – benar tidak berubah. Masih suka omong banyak. Dan tatapannya itu, ah, bikin pria mana saja yang masih normal pasti bulu dadanya bergetar. Tentu saja bagi yang punya bulu dada. Yang tidak punya entah apanya yang bergetar.

Ella makin cantik dan tentu saja makin matang. Senyumannya makin indah. Tarikan bibirnya kian tertata dan sangat menawan.

*** *** ***

Lima menit setelah saya tiba, Rosa datang dihantar temannya. Dia tidak mau saya jemput meskipun mau menemui saya.

Tak banyak orang yang lalu lalang di dermaga. Hanya beberapa orang yang sedang mancing ikan. Mereka tak peduli dengan kehadiran kami berdua. Dermaga ini letaknya persis di samping Pantai Ria, tempat saya dan Rossa pertama kali kopi darat. Debur ombak yang menghantam tiang dermaga memecah keheningan malam. Kami berdua diam. Seolah bingung siapa yang harus memulai duluan.

“Ade kenapa marah dengan saya?” Saya berusaha membuka percakapan.

Hening.

“Berulangkali saya telepon, tidak diangkat. Sms juga tidak dibalas. Sms terakhir hanya bilang saya jahat. Saya salah apa?” Saya bertanya lagi.

Hening lagi. Rosa membuang tatapannya jauh – jauh. Lalu menghela nafas panjang.

“Kaka tidak salah. Saya dan perasaan saya yang salah. Seharusnya saya tidak boleh cemburu. Kaka bukan siapa – siapanya saya”, Rosa akhirnya bicara.

“Maksudnya bagaimana? Saya tidak mengerti ade punya maksud apa”, saya berkata dengan nada kesal.

“Kemarin dulu saya dengan teman lewat KM 3. Tidak sengaja saya liat kaka sedang makan berdua. Entah kenapa saya stres. Saya juga tidak mengerti dengan apa yang saya rasa. Saya tau kaka bukan siapa – siapanya saya. Karena stres, saya ajak teman ke Lapangan Pancasila. Malah ketemu lagi dengan kaka dan dia di sana.”

“Rosa…”

“Kaka tidak usah bilang apa – apa, saya menemui kaka hanya untuk bilang ini. Makasih untuk apa yang terjadi selama ini”. Suara Rosa bergetar.

Dan sebelum saya menyadari apa yang terjadi Rosa sudah di atas motor temannya yang ternyata dari tadi menunggu di balik gerbang dermaga.

*** *** ***

Udara Kezi Mara malam ini sejuk. Sejak pertemuan di dermaga seminggu yang lalu saya dan Rosa memang tak pernah saling kontak lagi. Saya sengaja membiarkan Rosa menenangkan pikirannya tanpa diganggu. Tadi sore saya sms Rosa untuk minta ketemu. Saya bilang saya ingin bicara sesuatu yang penting. Satu kali ini saja. Andai setelah ini dia tak ingin ketemu saya lagi, tidak apa – apa. Rosapun mengiyakan.

Jam setengah tujuh saya ke kosan Rosa untuk menjemputnya. Kami berdua langsung menuju Kezi Mara. Sepanjang jalan Rosa hanya diam. Kami tiba di Kezi Mara 20 menit kemudian.

Pemandangan kota Ende Malam ini indah sekali. Lampu – lampu kota dan lampu yang ada di rumah warga dengan amat manis mendandani kota Ende di malam hari. Karena bukan malam Minggu, Kezi Mara tidak begitu ramai. Saya sengaja mengambil tempat agak jauh dari orang – orang yang nongkrong di situ.

“Ade masih marah?”

Rosa diam saja.

“Dia teman saya. Orang Larantuka. Kebetulan ikut pelatihan di sini, dan ada waktu luang makanya dia ajak saya ketemuan dan makan malam. Kami sudah beberapa tahun tidak ketemu sejak pulang dari Makasar. Dia hanya teman, tidak lebih,” saya berusaha menberi penjelasan.

Rosa diam saja. Tanpa kata, tanpa ekspresi.

“Rosa…” saya memanggilnya lembut. Suara saya bergetar.

“Ada yang jauh lebih penting dari itu semua,” suara saya kian bergetar.

Rosa menatap saya. Tangan Rosa saya raih dan genggam dengan erat.

“Saya sayang kau Rosa. Sayang sekali.”

Perlahan kepala rosa jatuh di bahu saya. Sekilas saya lihat air matanya meleleh membasihi pipinya yang merona. Tapi bibirnya tersenyum. Juga ada binar bahagia di bola matanya.

***
Kupang, di April yang resah gegara Corona. (Joe Rhada)

Pos terkait