Di Hadapan Wamen ATR/Waka BPN, Bupati Ende Sampaikan Persoalan Kawasan Hutan Produksi di Ende

 

NUSALONTAR.COM

Bacaan Lainnya

ENDE – Bupati Ende H. Djafar H. Achmad menyampaikan tentang persoalan agraria yang terjadi di kabupaten Ende yakni masuknya 7 (Tujuh) wilayah kelurahan dalam kota Ende ke dalam wilayah hutan Produksi Nuabosi kepada Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang / Wakil Kepala Badan Pertanahan Nasional.

Hal ini disampaikan Bupati Ende pada kesempatan ramah tamah Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang / Wakil Kepala Badan Pertanahan Nasional (Wamen ATR/Waka BPN), Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi NTT bersama Bupati dan Forkopimda Kabupaten Ende serta Perwakilan masyarakat adat Ende yang digelar di aula hotel Global View – Ende, Rabu (15/09/2021).

Dikatakannya, sejauh ini pihaknya mendapat dukungan penuh dari pihak BPN Ende dalam hal menyelesaikan persoalan tanah di kabupaten Ende.

“Perlu kami sampaikan kepada bapak bahwa selama ini pemerintah daerah kabupaten Ende mendapat dukungan penuh dari BPN Ende bersama jajarannya terutama dalam menyelesaikan persoalan tanah di kabupaten Ende,” kata Djafar.

Djafar menyampaikan persoalan yang dihadapi pemerintah daerah kabupaten Ende selama ini yakni banyaknya aset Pemda berupa tanah yang belum bersertifikat dan kepemilikan lahan dibawah kekuasaan mosalaki.

“Aset Pemda kami ini banyak yang belum mempunyai sertifikat, kami juga menyampaikan kepada bapak persoalan yang kami hadapi adalah kegiatan pemberian sertifikat tanah secara masal seperti pendaftaran secara sistematis masih mengalami kesulitan karena hampir 90 % tanah dikuasai oleh para pemangku adat ame-ame mosalaki yang juga hadir ini, sebelum Ende ini menjadi kabupaten mereka ini sudah ada,” jelasnya.

Untuk itu Djafar menyampaikan setiap tahunnya Pemda Ende melaksanakan rakor adat tiga batu tungku dan dalam waktu dekat akan dibentuk forum mosalaki di tingkat kabupaten dan kecamatan, untuk menyelesaikan persoalan kewilayahan yang dihadapi.

Menurut Djafar, persoalan lain yang juga sering dihadapi adalah tidak adanya wilayah HGU dan HGB berskala besar karena objek yang menjadi forma agraria dari kawasan hutan dikuasai oleh para pemangku adat dan persoalan 7 (Tujuh) wilayah kelurahan dalam kota Ende yang masuk dalam kawasan hutan Nuabosi.

“Selain itu, SK Menteri Kehutan nomor 357 tahun 2017, terdapat 7 wilayah kelurahan dalam kota Ende yang masuk dalam hutan produksi yang mana pada wilayah tersebut sudah terdapat pemukiman penduduk, fasilitas umum, fasilitas pendidikan dan fasilitas keagamaan dan sebagiannya sudah bersertifikat hak milik atas tanah itu,” ucapnya.

Dirinya meminta kepada pemerintah pusat melalui Wamen ATR / Wakil BPN untuk meninjau kembali peraturan mentri tersebut karena saat ini di wilayah tersebut sudah menjadi pemukiman penduduk dan fasilitas umum serta sebagiannya telah bersertifikat.

Menjawab permintaan Bupati Ende Wakil Menteri ATR/Wakil Kepala BPN Surya Tjandra menyampaikan bahwa secara pribadi dirinya memiliki perhatian khusus untuk wilayah Indonesia timur. Menurutnya wilayah tersebut butuh perhatian serius.

Terkait persoalan yang disampaikan oleh Bupati Ende dirinya berharap ada dukungan dari para tua adat karena menurutnya jika tidak ada dukungan dari tua adat program pemerintah tersebut tidak dapat dicapai.

“Tadi pak Bupati sudah sampaikan beberapa hal yang saya kira penting untuk menjadi perhatian, bahwa kita punya program yang sulit dilaksanakan untuk pendaftaran tanah tadi dan salah satu yang penting adalah kita butuh dukungan dari para tetua adat ini, karena tanpa dukungan para tetua adat kita nggak bisa capai program ini,” kata politisi PSI itu.

Dikatakannya, Presiden Joko Widodo menginginkan agar semua bidang tanah yang masuk dalam kewenangan agraria harus terdaftar.

“Apa program itu yakni presiden ingin seluruh bidang tanah yang ada di wilayah Indonesia ini yang diperkirakan 120 juta bidang harus terdaftar. Jadi kalau bisa saya gambarkan tanah kita ini ibaratnya 100 % cuman 1/3 yang menjadi kewenangan BPN, 2/3nya adalah hutan, itu artinya kewenangan KLHK, yang 1/3 itu yang kita pakai baik itu buat pemukiman, pertanian, perkebunan dan segala macam,” jelasnya.

Lebih lanjut dikatakan bahwa saat ini yang menjadi masalah adalah terdapat wilayah hutan yang sudah menjadi pemukiman penduduk atau beralih fungsi menjadi lahan pertanian dan perkebunan.

“Masalahnya adalah tidak semua hutan adalah hutan, ada hutan yang sudah ada masyarakatnya, jadi seperti bapak ceritakan sejak dulu wilayah itu sudah ada masyarakatnya sekarang menjadi kawasan hutan, orang mau urus sertifikat tidak bisa, kalau kami keluarkan sertifikat pak, orang BPN masuk penjara tu,” tuturnya.

Politisi PSI itu menyampaikan dari persoalan tersebut perlu dilakukan diskusi secara insentif diantara dua kementrian yakni kementrian ATR dan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Menurutnya sejak diangkat menjadi Wamen ATR dirinya sering berdiskusi dengan Mentri LHK sehingga pelan-pelan mulai ada perubahan dimana regulasi di pusat mulai sensitif terhadap persoalan seperti itu, maka keluarlah peraturan pemerintah yang membuat peluang untuk membereskan masalah tersebut lebih cepat.

Wamen ATR juga menyampaikan kerinduannya untuk hadir dalam pertemuan para tokoh adat yang digelar oleh pemerintah daerah kabupaten Ende yang saat ini telah menjadi kegiatan rutin tahunan. Dirinya berjanji akan hadir pada kegiatan rakor tiga batu tungku yang akan datang.

Tampak hadir dalam giat ramah tamah Wakil menteri ATR, Kakanwil BPN NTT Jaconias Walalayo, Wakil Ketua DPRD Ende Ericos Emanuel Rede, Dandim 1602/Ende Letkol Inf. Nelson Paido Makmur,SIP., Asisten I Setda Ende Abraham Badu, Kepala BPN Ende Herman A. Oematan, Para pimpinan OPD Lingkup Setda Ende, Para perwakilan tokoh Adat Kab. Ende, Para Camat serta para pengurus dan kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Cabang Ende. (Fery/Tim)

Pos terkait