KUPANG – Notaris Albert W. Riwukore, SH, menggelar jumpa pers di Resto Suba Suka pada Kamis (30/09/2021), pukul 17.00 sore. Dalam jumpa pers tersebut Albert mengatakan bahwa dirinya ingin meluruskan informasi yang beredar di media mengenai laporan polisi kepada dirinya.
Terkait Laporan Polisi Penggelapan Sertifikat dengan nomor: LP/B/52/11/2019/SPKT, tanggal 14 Februari 2019 dengan Pelapor BPR CHRISTA JAYA PERDANA, yang kemudian diberitakan oleh beberapa media, Albert mengatakan bahwa pemberitaan yang ada belum berimbang. Oleh karena itu Albert merasa perlu memberi penjelasan agar pemberitaan menjadi lebih berimbang sehingga masyarakat bisa menilai berdasarkan informasi yang lebih utuh.
Dalam jumpa pers itu Albert pun membeberkan kronologi persoalan yang kemudian berujung pada Laporan Polisi ke Polda NTT itu.
Kata Albert W. Riwukore, persoalan itu bermula dari kredit yang disalurkan oleh BPR CHRISTA JAYA PERDANA kepada Rachmat, SE, selaku Debiturnya sebesar Rp735.000.000,- (tujuh ratus tiga puluh lima juta rupiah), dengan jaminan sertifikat Hak Milik (SHM) nomor: 368/Oebufu. SHM 368/ Oebufu tersebut kemudian diserahkan kepada staf Albert untuk diikat dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) dan akan dilanjutkan dengan proses pemecahan sesuai Surat Order dari BPR CHRISTA JAYA PERDANA.
Beberapa waktu kemudian, disepakati bahwa SHM 368/ Oebufu tidak perlu dibuatkan APHT, tapi langsung dilakukan proses pemecahan terhadap SHM 368/ Oebufu tersebut.
Agar proses pemecahan SHM 368/ Oebufu tersebut bisa dilakukan, maka SHM 368/ Oeubufu telah diserahkan kembali oleh pihak notaris kepada pemiliknya, yakni Rachmat, SE, atas persetujuan BPR CHRISTA JAYA PERDANA. Penyerahan SHM dilakukan karena yang bisa melakukan pemecahan hanyalah pemilik tanah, dalam hal ini Rachmat, SE. Oleh karena itu, Rachmat, SE, sebagai pemilik tanah kemudian memberikan kuasa kepada Yes untuk memproses pemecahan SHM 368/Oebufu itu.
Menurut Albert, karena SHM 368/Oebufu telah dikeluarkan dari Kantor Notaris miliknya, harusnya Surat Tanda Terima SHM368/ Oebufu dinyatakan tidak berlaku lagi. Apalagi proses pemecahan tersebut telah disetujui pula oleh BPR CHRISTA JAYA PERDANA yang dibuktikan dengan:
a. Surat Order awal dari BPR CHRISTA JAYA PERDANA yang isinya memohon pemecahan.
b. Dana pemecahan diserahkan oleh BPR CHRISTA JAYA PERDANA sendiri kepada Albert Riwukore yang kemudian menyerahkannya kepada stafnya untuk disalurkan ke orang yang mengurus pemecahan,
c. Posita gugatan BPR CHRISTA JAYA PERDANA yang mengakui bahwa pemecahan dengan persetujuan BPR CHRISTA JAYA PERDANA.
Setelah dilakukan pemecahan, maka sertifikat hasil pemecahan SHM 368/Oebufu yang berjumlah 18 SHM, diserahkan oleh yang mengurus (bernama Yes – dalam hal ini mewakili pemilik sertifikat, Rachmat, SE) kepada staf Albert.
Dengan demikian, jelas bahwa yang menyerahkan sertifikat hasil pecahan tersebut bukan BPR CHRISTA JAYA PERDANA akan tetapi Yes yang bertindak untuk, dan atas nama Rachmat, SE.
Kata Albert, karena yang menyerahkan 18 SHM hasil pecahan SHM 368 tersebut kepada stafnya bukan BPR CHRISTA JAYA PERDANA, maka antara BPR CHRISTA JAYA PERDANA dengan dirinya tidak mempunyai hubungan hukum apapun berkaitan dengan titipan 18 SHM tersebut.
Albert melanjutkan, beberapa waktu kemudian, 3 (tiga) SHM yang merupakan bagian dari 18 SHM, telah diambil oleh BPR CHRISTA JAYA PERDANA dengan persetujuan Rachmat, SE, untuk dijual kepada pihak ketiga. Hasil penjualan 3 (tiga) bidang tanah tersebut dipakai untuk pembayaran cicilan hutang kredit Rachmat, SE kepada BPR CHRISTA JAYA PERDANA.
Dengan terjualnya tiga bidang tanah hasil pecahan SHM 368/Oebufu, maka SHM yang masih tersisa di Notaris Albert (dititipkan oleh Rachmat, SE) berjumlah 15 buah.
Selanjutnya, Rachmat, SE. selaku pemilik dan selaku orang yang menitipkan sisa 15 SHM tersebut datang ke kantor Notaris Albert dengan maksud untuk mengambil kembali 9 SHM dan memberitahukan kepada staf Notaris Albert bahwa ia hanya meminjam SHM itu untuk fotocopy, dan berjanji akan segera mengembalikannya. Namun sejak itu Rachmat, SE, tidak pernah mengembalikan 9 SHM yang diambil dari kantor Notaris itu.
Setelah ditagih, Rachmat, SE. menyatakan bahwa ia telah melunasi seluruh hutangnya kepada BPR CHRISTA JAYA PERDANA sebesar Rp.3,5 Milyar dengan menunjukkan: (satu) eksemplar SLIK (Sistem Layanan Informasi Keuangan) terbitan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) yang menggambarkan total hutang Rachmat, SE, pada BPR CHRISTA JAYA PERDANA sebesar Rp3,5 Milyar, 2 (dua) lembar bukti transfer sebesar Rp3,5 Milyar yang ditransfer 2 (dua) kali dengan nilai yang sama dan ditransfer pada hari yang sama yaitu :
a. Pada tanggal 21 Oktober 2016 sebesar Rp1.781.888.446,- (satu milyar tujuh ratus delapan puluh satu juta delapan ratus delapan puluh delapan ribu empat ratus empat puluh enam rupiah).
b. Pada tanggal 21 Oktober 2016 sebesar Rp.1781.888.446,- (satu milyar tujuh ratus delapan puluh satu juta delapan ratus delapan puluh delapan ribu empat ratus empat puluh enam rupiah).
Albert menilai bahwa dengan adanya pelunasan hutang tersebut secara keseluruhan oleh Rachmat, SE, maka perjanjian pokoknya menjadi terhapus. Sebab, berdasarkan Pasal 1381 KUHPerdata: “Hapusnya perikatan karena pembayaran”, artinya, karena keseluruhan hutang telah dilunasi oleh Rachmat, SE, maka perjanjiannya menjadi terhapus karena pembayaran.
Albert juga menjelaskan bahwa hubungan hukum antara BPR CHRISTA JAYA PERDANA dengan Rachmat, SE, adalah hubungan hukum kontraktuil yang bersifat keperdataan, dimana antara Bank selaku Kreditur dan Rachmat, SE, selaku Debitur, tunduk pada hukum perjanjian.
BPR CHRISTA JAYA PERDANA sebagai Kreditur mempunyai hak Tagih atas hutang Debitur berdasarkan Perjanjian Pokok, sedangkan Perjanjian Asesoir berupa penyerahan barang jaminan merupakan perjanjian turutang yang hanya menimbulkan hak “preferen” bagi BPR CHRISTA JAYA PERDANA. Itupun bila obyek jaminan tersebut (SHM 368/ Oebufu) telah definitif dipasang APHT; sedangkan dalam kasus ini belum terbit hak apapun yang dimiliki oleh BPR CHRISTA JAYA PERDANA atas barang jaminan SHM 368/ Oebufu, karena masih berupa perjanjian-perjanjian Addendum yang hanya menimbulkan hak conkuren, jadi, bukan selaku pemilik atas obyek jaminan SHM 368/ Oebufu karena pemiliknya sendiri adalah Rachmat, SE.
Albert mengatakan bahwa, apabila BPR CHRISTA JAYA PERDANA bertindak seolah-olah dia adalah pemilik atas barang jaminan, hal itu sangat kontradiktif dan bertentangan dengan Pasal 12 Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 tentang Hak Tanggungan yang pada pokoknya melarang Kreditur memiliki objek jaminan sehingga legal standing BPR CHRISTA JAYA PERDANA yang bertindak seolah-olah selaku pemilik objek Hak Tanggungan adalah bertentangan dengan hukum. Dengan demikian Albert mempertanyakan, apa legal standing BPR CHRISTA JAYA PERDANA melaporkan dirinya secara pidana ke Polda?
Praktek yang dilakukan oleh BPR CHRISTA JAYA PERDANA dengan membuat Addendum/Perubahan terhadap perjanjian pokok dimana perjanjian pokoknya itu sendiri telah hapus karena pembayaran, dengan dalil bahwa itu merupakan SOP BPR CHRISTA JAYA PERDANA adalah bertentangan dengan Undang-Undang dan yurisprudensi/ Hukum Perjanjian.
Kata Albert, Perjanjian Pokok tersebut telah hapus karena pembayaran (Pasal 1381 KUHPerdata) maka penyerahan 9 SHM oleh stafnya (Rinda A. Djami) kepada Rachmat, SE, selaku pemilik secara bertahap yaitu :
a. Tahap I tanggal 21 Nopember 2016, Rachmat, SE. mengambil 5 SHM yaitu 5837,5836,5835, 5834 dan 5821.
b. Tahap II tanggal 16 Desember 2016, Rachmat, SE. mengambil 4 SHM yaitu 5825, 5823,5830 dan 5826, dalam suatu perbuatan yang tidak bertentangan dengan hukum.
Ia menambahkan, 9 SHM tersebut masih tercatat atas nama Rachmat, SE. sehingga sebenarnya BPR CHRISTA JAYA PERDANA sangat menyadari bahwa 9 SHM tersebut bukanlah milik BPR CHRISTA JAYA PERDANA.
Albert mengatakan bahwa sesungguhnya dia tidak mempunyai hubungan hukum atau kewajiban hukum apapun kepada BPR CHRISTA JAYA PERDANA baik itu hubungan hukum atau kewajiban hukum yang terbit karena ketentuan undang-undang maupun karena perjanjian, maka tindakan stafnya yang telah menyerahkan kembali 9 SHM tersebut di atas kepada Rachmat, SE, adalah perbuatan/ tindakan yang dibenarkan oleh hukum.
Oleh karena itu ia tidak mempunyai kewajiban hukum yang mewajibkan bahwa ia harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari BPR CHRISTA JAYAPERDANA dalam hal penyerahan 9 SHM tersebut kepada Rachmat.
“Dengan demikian, ketika di kemudian hari BPR CHRISTA JAYA PERDANA membuat Addendum terhadap hutang pokok yang telah dilunasi, maka hal tersebut tidak dapat dikaitkan dengan tanggung jawab kami karena 9 SHM yang dipermasalahkan hanya berkaitan dengan hutang pokok pertama yang telah dilunasi oleh Rachmat, SE,” jelasnya.
Albert mengisahkan bahwa penyerahan 9 SHM kepada Rachmat, SE, pernah dikomplain oleh BPR CHRISTA JAYA PERDANA ke stafnya. Oleh karena itu stafnya pun melaporkan Rachmat, SE, ke Polresta Kota untuk meminta pertanggungjawaban karena telah mengambil 9 SHM dimaksud namun belum mengembalikannya.
Berdasarkan hasil penyelidikan Polresta Kupang, penyerahan 9 SHM kepada Rachmat, SE, bukanlah perbuatan melawan hukum. Hal ini tertuang dalam surat yang dikeluarkan oleh Polresta Kota Kupang, “ Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) No SP2HP/968/1X/2019/ Reskrim, tanggal 13 September 2019 yang menyatakan bahwa Rachmat, SE, berhak atas 9 SHM tersebut karena Rachmat, SE, adalah pemilik atas 9 SHM tersebut.
Selain itu, Albert juga mengatakan bahwa “unsur kerugian” yang didalilkan BPR CHRISTA JAYA PERDANA atas 9 SHM harusnya dirincikan agar dapat disesuaikan dengan perbuatan materilnya.
“BPR CHRISTA JAYA PERDANA dapat menghitung berapa kerugian yang ditimbulkan berkaitan 9 SHM yang dituduhkan kepada kami karena justru secara real dan fakta hukum sesungguhnya justru 9 SHM tersebut telah mendatangkan keuntungan bagi BPR CHRISTA JAYA PERDANA yaitu adanya transfer dana dari Rachmat, SE, sebesar Rp3,5 Milyar hasil take over Bank NTT. Faktanya, sampai saat ini kredit antara Rachmat, SE, dan BPR CHRISTA JAYA PERDANA belum ditutup dan masih cicil dengan angka terakhir Rp3 Milyar yang dicover dengan 5 (lima) bidang tanah dan bangunan milik Rachmat, SE, sehingga hal ini menimbulkan pertanyaan: Berapa sebenarnya kerugian BPR CRISTA JAYA PERDANA?”, ungkapnya.
Albert mengungkapkan bahwa sampai saat ini Debitur masih melakukan cicilan atas kreditnya pada BPR CHRISTA JAYA PERDANA; dan apabila kreditnya pun macet harusnya BPR CHRISTA JAYA PERDANA melakukan eksekusi terhadap jaminan yang ada dan bila hasil eksekusi penjualan jaminan tidak mencukupi hutang Debitur barulah dapat diperhitungkan kerugian BPR CHRISTA JAYA PERDANA sehingga Laporan Penggelapan ini adalah salah sasaran dan prematur.
“Dalil-dalil BPR CHRISTA JAYA PERDANA yang menyatakan BPR CHRISTA JAYA PERDANA berhak alas 9 SHM yang dituduh “digelapkan” oleh kami telah pula digugat secara perdata oleh BPR CHRISTA JAYA PERDANA selaku Penggugat dan kami selaku Tergugat pada Pengadilan Negeri Kupang akan tetapi dalil-dalil BPR CHRISTA JAYA PERDANA tersebut tidak dapat diterima oleh Hakim Pengadilan Negeri Kupang dalam Putusannya masing-masing: 184/Pdt.G/2018/PN Kpg dan 186/Pdt.G/2018/PN Kpg. Kedua Keputusan Pengadilan Negeri tersebut pun telah berkekuatan hukum tetap,” tegas Albert.
Albert juga mengungkapkan bahwa dirinya mempunyai piutang pada BPR CHRISTA JAYA PERDANA yang pernah ditagih baik secara tertulis maupun lisan, akan tetapi BPR CHRISTA JAYA PERDANA secara tegas dalam suratnya menyatakan bahwa piutang tersebut akan diperhitungkan dengan penyerahan 9 SHM oleh stafnya.
”Dengan demikian BPR CHRISTA JAYA PERDANA telah menyatakan secara jelas adanya perjumpaan hutang dari tagihan dirinya (Albert Wilson Riwukore, SH) dengan BPR CHRISTA JAYA PERDANA sehingga kasus ini adalah murni Perdata.
Atas dasar fakta-fakta dan hal-hal yang dijelaskan dalam kronologi itu Albert berharap agar masyarakat bisa melihat persoalan ini secara lebih utuh. Albert juga meyakini bahwa pihak Polda NTT yang sedang mengusut kasus ini akan bertindak bijaksana dengan melihat fakta-fakta yang ada. (JR)