OPINI – NUSALONTAR.COM
Oleh: Alfonsus Ligori Tafuli
Yoga berasal dari bahasa sansekerta yang berarti penyatuan, yaitu penyatuan dengan alam atau penyatuan dengan sang pencipta. Yoga merupakan ajaran dari filsafat Hindu yang menitikberatkan pada meditasi. Namun Yoga pada abad ke-20 ini bukan hanya sekadar meditasi tetapi juga menjadi gerakan-gerakan olahraga. Yoga memusatkan olahraga pada pernafasan, stretching, kelenturan, yang dianggap dapat menenangkan pikiran dan menghilangkan stres. Selain itu, dipilihnya Yoga sebagai alternatif penyembuhan lantaran dipercaya menawarkan sebuah sensasi atau ‘keajaiban’ pengobatan yang tidak didapat dalam pengobatan medis. Berikut pengakuan seorang rohaniawan untuk kelompok. Yoga kini murni karena kebutuhan akan kesehatan, bukan kebutuhan akan spiritualitas.
Dalam imaji masyarakat kota, dengan mengikuti pelatihan Yoga, berbagai persoalan kesehatan yang mereka alami dapat disembuhkan. Kendati kebenaran ini bisa dipertanyakan atau mungkin diperdebatkan secara medis, namun konstruksi kesadaran mereka akan manfaat Yoga sudah terbentuk demikian. Di sini dapat dipahami jika Yoga menjadi harapan kesehatan masyarakat kota.
Vivekananda (2008: 187) menyatakan bahwa dalam latihan yoga harus memenuhi tiga syarat, yaitu 1) melepaskan semua kesenangan duniawi, 2) memiliki keinginan kuat dan kebenaran dan 3) menjaga pikiran yag berkelana, menjaga indera, mengalihkan pikiran ke dalam, menderita tanpa mengeluh, menguatkan pikiran akan ide tertentu dan berfikir selalu tentang sifat.
Dari pengertian di atas dapat dijelaskan bahwa Yoga mengutamakan tujuan-tujuan yang bersifat spiritual yang supra duniawi, bukan untuk cita-cita keduniawian. Namun faktanya, masyarakat atau peserta Yoga cenderung mengikuti Yoga untuk tujuan-tujuan duniawi termasuk agar memperpanjang umur. Di sini bisa dilihat telah terjadi kontekstualisasi dan redefinisi makna Yoga dari spiritualitas menjadi sekadar gaya hidup sehat.
Di tengah kehidupan modern masyarakat kota yang carut marut, maka kebutuhan akan kesehatan menjadi hal yang penting. Di sini Yoga dianggap menjadi salah satu alternatif untuk mengatasi persoalan-persoalan kesehatan tersebut. Maka tidak heran saat ini, pada studio-studio Yoga motivasi orang untuk ikut latihan Yoga bukanlah semata-mata ingin mendapatkan pencerahan rohani melainkan untuk kesehatan dan kebugaran tubuh. Apalagi, masyarakat kota mengalami kerentanan diserang berbagai macam gangguan penyakit akibat pola konsumsi dan sesaknya situasi sosial yang berakibat pada tingginya tingkat stress dan frustasi masyarakat.
Pada titik ini, Yoga menawarkan solusi-solusi jitu yang dipercaya mampu mengatasi krisis kesehatan yang dialami masyarakat kota, baik itu kesehatan fisik maupun psikis. Berkaitan dengan hal tersebut, maka istilah “gerakan hidup sehat” pun menjadi motto atau ‘ritual’ masyarakat kelas menengah kota yang kemudian membentuk gaya hidupnya. Gerakan hidup sehat ini tidak hanya dipresentasikan dalam bentuk mengubah pola konsumsi, melainkan juga mengikuti latihan-latihan fisik yang salah satunya adalah Yoga. Dari sini, esensi Yoga pun disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kelas menengah kota.
Jika kita hubungkan dengan praktik industri Yoga selama ini, bisa dikatakan bahwa ajaran Yoga telah diseret ke dalam budaya pasar. Mereka yang mengikuti latihan dan praktik Yoga tidak semata-mata ingin mencari pembebasan spiritual melalui olah tubuh dan konsentrasi, melainkan kebutuhan akan konsumsi. Mereka menemukan jiwa dan diri mereka dalam aktivitas-aktivitas konsumsi termasuk mengikuti latihan Yoga Asana, seperti yang disampaikan Simmel, mengkonsumsi berarti pula mengartikulasikan sebuah rasa identitas. Akibatnya, mengikuti latihan Yoga bukan untuk memasuki dimensi spiritual yang ditawarkan, namun sebagai ruang konsumsi masyarakat kelas menengah.
Jadi yang diperlukan bukan hanya kebutuhan akan spiritual, tetapi juga simbolisasi untuk mengidentifikasikan diri mereka. Sahlin (dalam Lury, 1998) mengatakan bahwa kuatnya hasrat masyarakat untuk mengkonsumsi barang atau jasa yang bernilai modern tidak semata-mata karena masyarakat terjerat pada budaya tontonan (yakni masyarakat tidak hanya suka menonton, tetapi juga ditonton oleh orang lain) melainkan sering pula disertai dengan pemaknaan barang buatan pabrik sebagai totem. Artinya, masyarakat membeli, memakai, atau mengonsumsi suatu barang atau jasa tidak semata untuk menghabiskan nilai guna (nilai utilitas) akan tetapi dipakai pula untuk mengkomunikasikan identitas sosialnya, simbol status dan sekaligus untuk mengidentifikasikan dirinya berbeda dari kelompok masyarakat kebanyakan.
Filsafat Yoga
Ajaran Yoga dibangun oleh Maharsi Patanjali, dan merupakan ajaran yang sangat popular di kalangan umat Hindu. Ajaran Yoga merupakan ilmu yang bersifat praktis dari ajaran Veda. Yoga berakar dari kata Yuj yang berarti berhubungan, yaitu bertemunya roh individu (atman/pursa) dengan roh universal (Paramatman/Mahapurusa). Maharsi Patanjali mengartikan yoga sebagai Cittavrttinirodha yaitu penghentian gerak pikiran. Yoga dapat pula berarti penyatuan kesadaran manusia dengan sesuatu yang lebih luhur, transenden, lebih kelal dan ilahi. Oleh karena itu, yoga menyatukan kembali semua pertentangan yang meliputi pikiran dan tubuh, keheningan dan gerakan, maskulin dan feminim, matahari dan bulan, guna membawa rekonsiliasi atau perdamaian diantara mereka.
Yoga bermakna sebagai “penyatuan dengan alam” atau “penyatuan dengan Sang Pencipta”. Yoga merupakan salah satu dari enam ajaran dalam filsafat Hindu, yang menitikberatkan pada aktifitas meditasi atau “tapa” di mana seseorang memusatkan seluruh pikiran untuk mengontrol panca inderanya dan tubuhnya secara keseluruhan. Patanjali mendefinisikan Yoga sebagai kegiatan mengendalikan gerak-gerak pikiran. Secara spiritual yoga merupakan suatu proses dimana identitas jiwa individual dan jiwa Hyang Agung disadari oleh seorang yogin, Yogin adalah orang yang menjalani yoga, orang yang telah mencapai persatuan dengan Hyang Agung. Di dalam buku Filsafat Hindu yang di susun oleh I Wayan Maswinara dikatakan bahwa Yoga bersifat lebih Orthodox daripada filsafat Shamkhya, karena Yoga secara langsung mengakui keadaan Isvara, sehingga sistemfilsafat Patanjali ini merupakan Sa-Isvara. Samkhya, karena adanya Isvara atau Purusa istimewa (khusus) didalamnya, yang tak tersentuh oleh kemalangan, penderitaan, kerja keinginan dan sebagainya. Patanjali mendirikan sistem filsafat ini dengan latar belakang metafisika dan Samkhya menerima 25 prinsip atau Tattva dari Samkhya. Yoga juga berarti berusaha sekuat-kuatnya dan didalam ajaran tentang kelepasan Yoga itu berarti latihan-latihan rohani, yang meyebabkan orang dapat memisahkan purusa prakrti. Jadi, dapat disimpulkan bahwa Yoga sebagai cara atau jalan untuk mengendalikan pikiran yang terboyektifkan serta kecenderungan alami pikiran dan mengatur segala kegelisahan-kegelisahan pikiran agar tetap tak terpengaruh sehingga bisa mencapai penyatuan antara kesadaran unit dan kesadaran kosmik.
Yoga Kini (Sebagai Industri)
Praktik Yoga yang berkembang masif dewasa ini telah menjadi industri yang besar di seluruh dunia. Berbagai institusi, pusat-pusat atau studio Yoga tumbuh demikian cepat. Tarif per sekali kegiatan atau per program bervariasi antara studio satu dan yang lainnya disesuaikan dengan format dan goal-nya masing-masing. Industri Yoga ini pun berkembang bersama dengan branding institusi mereka masing-masing. Semakin bagus pemasaran yang mereka lakukan terhadap produknya, maka semakin laku mereka di pasaran. Sebagai konsekuensinya, produk tersebut menjadi diminati dan diikuti oleh banyak orang. Apalagi jika produk tersebut terbukti bermanfaat sesuai dengan konten Yoga yang dipasarkan. Berdasarkan kemanfaatannya, institusi itu pun mampu berkembang dan menyebar ke berbagai Negara.
Beberapa institusi Yoga bahkan memiliki ribuan center yang tersebar di lebih dari ratusan Negara, seperti Vihanggam Yoga, Iyengar Yoga dan yang lainnya. Dari perkembangan tersebut, beberapa praktisi ahli melihat bahwa perkembangan tersebut, di samping bermanfaat langsung terhadap kesehatan dan berbagai tujuan khusus yang diinginkan dalam praktik Yoga, juga dikhawatirkan akan melenceng dari pakem awal mengenai tujuan sejati dari Yoga itu sendiri. Di sini Yoga yang merupakan jalan pembebasan spiritual, berubah menjadi sebuah produk yang bisa dipasarkan. Sebagaimana diketahui runtuhnya feodalisme Inggris dan munculnya kapitalisme dipandang sebagai sebuah titik dari munculnya budaya pasar, yaitu sebuah sistem yang didasarkan pada uang dan keuntungan, sehingga konsumsi menjadi terpisah dari kebutuhan-kebutuhan sederhana dan muncul sebagai aspek penting dari aktivitas manusia.
Bagi Marx dan Frederick Engels, transisi dari feodalisme ke kapitalisme adalah suatu trasisi dari produksi yang digerakkan oleh kebutuhan menuju produksi yang digerakkan oleh keuntungan. Dengan kata lain konsumsi menjadi menjadi semacam pencarian identitas, namun ini selalu lebih dari sekadar sebuah pengganti yang palsu (sebuah objek pemujaan). Selain itu proses tersebut didorong oleh apa yang disebut ideologi konsumerisme-sugesti bahwa makna kehidupan kita harus kita temukan pada apa yang kita konsumsi, bukan pada apa yang kita hasilkan. Jadi, ideologi tersebut melegitimasi dan mendorong perhatian terhadap pengerukan keuntungan oleh kapitalisme (sebuah sistem yang menuntut konsumsi yang senantiasa meningkat terhadap barang-barang).
Menurut pandangan Marcuse ideologi konsumerisme mendorong kebutuhan palsu dan bahwa kebutuhan ini bekerja sebagai satu bentuk kontrol sosial. ‘ Orang-orang itu mengenali diri mereka di dalam komoditas mereka; mereka menemukan jiwa mereka di dalam mobil, perangkat hi-fi, rumah bertingkat, perlengkapan dapur. Mekanisme itu sendiri, yang mengikatkan individu pada masyarakatnya, telah berubah; dan kontrol sosial dilabuhkan pada kebutuhan-kebutuhan baru yang telah dihasilkan. Jadi menurut Marcuse, pengiklan mendorong kebutuhan palsu-misalnya, keinginan menjadi untuk menjadi jenis orang tertentu, mengenakan tipe pakaian tertentu, memakan macam makanan tertentu, meminum minuman khusus, menggunakan barang-barang khusus, dan seterusnya.*