Perspektif – Nusalontar.com
Alumni Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira), Kupang, mengadakan pertemuan virtual perdana bagi seluruh alumnus di seluruh dunia pada hari Sabtu (27/01/2021).
Selain saling melepaskan kerinduan, pertemuan itu juga membahas apa saja yang bisa dilakukan para alumni untuk ikut berpartisipasi membesarkan almamater yang telah mengisi ruang intelektual dan pembentukan diri mereka itu. Para ‘filosof’ (alumni) pun bertekad memberi kontribusi sesuai dengan kemampuan dan kompetensi mereka masing-masing.
Fakultas Filsafat Unwira Kupang telah berdiri hampir 30 tahun. Sudah menghasilkan banyak sekali lulusan yang kini telah berkiprah di berbagai bidang kehidupan. Ada yang jadi Pastor, Dosen, Katekis, Guru, Kepala Sekolah, Pejabat Pemerintahan, Wiraswasta, Perusahaan Pers, dan lain-lain. Kontribusi kampus ini terhadap Gereja san Bangsa tidak diragukan lagi.
Berkaitan dengan judul di atas, pertanyaannya, apa sih pentingnya belajar filsafat? Pertanyaan ini juga sekaligus membuka ruang berpikir kita tentang alasan dibukanya wacana untuk membuka program Magister (S2) dan program Doktoral (S3) Filsafat di Unwira.
Jika ingin lebih sederhana, maka jawaban itu ada pada rekam jejak para alumnus yang telah lulus studi Filsafat dan tengah ataupun telah purna berkarya. Jawaban ini akan mudah sekali dicerna bahkan oleh orang yang tidak pernah belajar Filsafat sekalipun. Filsafat ada gunanya. Gunanya lihat di orang-orang yang disebutkan di atas, kira-kira demikian jawaban praktisnya.
Tentang alumni, mereka yang pernah belajar Filsafat seringkali dianggap sebagai ‘manusia segala tahu’. Entah apa yang melatari cara berpikir seperti itu. Mungkin karena dulu para mantan frater (alumnus atau yang pernah kuliah filsafat) pintar bahasa Inggris, dan pintar omong. Mungkin juga karena Filsafat dianggap sebagai ibu atau induk dari segala ilmu pengetahuan. Entahlah.
Alumni kampus Filsafat (terutama di masa lalu) memang biasanya jadi andalan, baik di kelompok-kelompok kecil maupun di organisasi-organisasi besar. Atau jika bicara situasi kekinian, para politisi Nasional yang berasal dari NTT saat ini kebanyakan pernah sekolah di Seminari, yang artinya bahwa mereka dididik dan diajari oleh para lulusan fakultas Filsafat.
Tapi itu kisah masa lalu. Pertanyaan kunci untuk masa kini, masih relevan-kah belajar Filsafat saat ini, di tengah geliat ilmu praktis dan kemajuan teknologi seakan tak terbendung?
Untuk menjawab itu kita bisa mulai dengan menjelaskan apa itu Filsafat. Filsafat memiliki banyak sekali definisi. Namun pada kesempatan ini, definisi yang dijadikan rujukan untuk menjawab pertanyaan di atas adalah definisi etimologisnya.
Secara etimologis atau asal kata, Filsafat berasal dari bahasa Yunani, Philo (cinta) dan Sophia (kebijaksanaan). Jadi Filsafat artinya cinta kebijaksanaan. Dengan demikian belajar filsafat, berarti belajar untuk mencintai kebijaksanaan. Belajar untuk menjadi bijak, tidak sekedar pintar.
Orang yang bijaksana biasanya dipilih untuk menjadi pemimpin. Dan pemimpin yang bijaksana sudah pasti akan dipercaya dan dicintai oleh orang-orang yang dipimpinnya.
Filsafat sebagai ilmu, membuka ruang berpikir, membuka cakrawala pengetahuan, menata horison intelektual mereka yang mempelajarinya. Dengan demikian, mereka yang pernah belajar Filsafat sudah tentu memiliki pengetahuan yang luas dan cara berpikir yang logis, analitik, dan sistematis.
Kemampuan berpikir logis, analitik, dan sistematis dibutuhkan untuk menemukan sumber persoalan sekaligus mencari jalan keluarnya. Dengan bekal kompetensi itulah maka kebanyakan lulusan filsafat diterima di tempat yang membutuhkan tenaga-tenaga yang bisa dijadikan konseptor. Bukan di wilayah pekerjaan-pekerjaan teknis.
Tentu saja apa yang ditulis di sini bukan ulasan ilmiah. Ini hanyalah pandangan subjektif dengan melihat realitas dan pengalaman yang ada. Bahwa Fakultas Filsafat Unwira ingin membuka program S2 dan S3 Filsafat, sudah pasti itu akan jadi ‘barang’ penting. Bukan saja bagi kepentingan Gereja Katolik, dan bagi mereka yang berminat belajar Filsafat, tapi untuk semua. Untuk kebaikan negeri dan peradaban manusia. Dalam konteks itu, niat baik ini mesti didukung oleh semua pihak.