Gadis Senja: Dari Non Amasat, Berlabuh Di Nun Amasat
OLeh Fr. Jondry Siki, CMF*
Penghujung Januari 2021, pandemi Covid 19 belum usai. Hawa Timor Tengah Selatan terasa panas. Jagung-jagung pun bertumbuh subur. Bukit-bukit menumbuhkan rerumputan yang menghijau permai. Hujan datang sekadar lalu menghilang.
Sore itu, aku menyaksikan sekelompok tekukur terbang menyusuri kompleks rumah tua yang dipenuhi oleh pohon-pohon cendana. Di belakang rumah ada pohon beringin tua yang dikenal oleh masyarakat setempat dengan nama Nun Amasat. Kata Nun Amasat adalah frasa bahasa Dawan yang artinya ‘beringin cantik’. Beringin ini menjadi saksi bisu Exodus Suku Beon Sila dari Enklav Oekusi pada abad ke 19 di Pah Banam ( TTS). Konon di tempat ini bergelantung banyak makhluk halus. Entahlah.
Aku sekadar menghela nafas menghirup sejuknya semilir senja di bukit Nun Amasat. Bukit ini adalah Firdausnya TTS. Tanah terjanji yang kaya akan susu dan madu. Keharuman Bukit Nun Amasat telah tercium hingga 69 negara di dunia. Pesona alam dengan rentetan pohon cendana yang kokoh berdiri dengan gagah perkasa menambah aroma wangi Nun Amasat. Cendana adalah warisan leluhur Timor yang telah tercium aromanya hingga Eropa dan daratan Cina. Bahkan pedagang Cina Wang Da Yuan dalam bukunya Daoyi Chi Lue, menyebut bahwa di Timor tidak tumbuh pohon lainnya selain cendana. Cendana telah mewangi hingga nun jauh di Timur-Tengah. Bahkan Salomo dalam kisah pembangunan Bait Allah menggunakan juga Kayu Cendana ( 1Raj 10:12).
Detak jarum jam menunjukan pukul 17:45, aku bergegas menuju kamar mandi, sembari bersiul menyanyikan lagu ‘Bolelebo’ yang telah dipopulerkan di Eropa oleh Grup Musik The Tilman Brothers grup musik tertua asal NTT yang mewarnai musik pop NTT dan Indonesia pada tahun 1947. Grup musik ini adalah buah hati dari Herman Tilman dan Flora Lorine Hess asal Timor yang kemudian hijrah ke Belanda pada tahun 1957 sebab ayahnya adalah seorang Kapten KNIL (Koninklijk Netherlandas Indisch Leger) merupakan angkatan perang kolonial Belanda. Lagu Bolelebo mengingatkanku akan jalan panggilan yang sedang aku tekuni.
Lonceng gereja berdering waktu menunjukan pukul 18:00, Doa Angelus didaraskan dengan lantang oleh para Frater Novis 2020-2021. Aku memandang arca St. Maria Bunda Tuhan yang telah melahirkan Tuhan Yesus dan mengandunnya selama 9 bulan. Ia menjadi anak yang teladan di Nazaret pada abad-abad awal. Orang-orang yang mengenal-Nya memuji-muji kehebatan-Nya. Yesus lahir dari seorang perempuan cantik. Dalam situsi hening, terdengar derik jangkrik di sekeliling kapela, aku merenungkan kisah perjuangan ibuku selama sembilan bulan. Kini aku berada di jalan khusus untuk melayani Tuhan. Aku mencintai ibuku yang telah terlelap di pusara.
Sang rembulan menatap manis ke arahku. Remang-ramang sinarnya ditutup kabut malam. Sunyi senyap tiada gelegar. Alunan melodi alam menghiasi keremangan malam. Usai santap malam, para pemudah gagah perkasa berulang kali mendaraskan ‘Salam Maria’. Doa yang paling populer di kalangan Katolik. Setiap Mei dan Oktober, doa ini didaraskan bergantian dari rumah ke rumah. Doa ini telah menjadi santapan setiap malam. Sebab dari doa ini aku menyadari bahwa seorang perempuan yang sederhana dipakai Tuhan untuk suatu karya yang ajaib. Malam hampir larut, aku masih termenung di bawa tatapan Sang Bunda, merenung tentang apa dan bagaimana aku di masa depan.
Sekonyong-konyong detak jarum jam menunjukan pukul 00:00, aku belum mampu memejamkan mata. Pesona gadis senja yang sederhana yang telah dengan tulus mengandung dan menghasihiku terlintas dalam benak. Tentang dia tidak banyak kata yang terucap. Tentang dia ada kisah di jalan panggilan ini.
Dari dia aku belajar kesederhanaan dan ketulusan. Pesona gadis yang rendah hati, tulus telah ikut menghiasi jalan panggilanku. Aku tidak meratapi perpisahan tetapi perjumpaanlah yang kuratapi. “Terima kasih kak, untuk semuanya karena telah mengajarkan saya apa artinya ketulusan yang sesungguhnya” ungkapan si gadis senja, Non Amasat, kata yang penuh makna menjadi kilas balik dalam sejarah panggilanku.
Meskipun berat, namu kucoba untuk melangkah menuju cita-cita awalku. Tentang ini, waktu adalah hakim yang adil. Ia telah memenangkan daku. Dari pergulatan iman dan panggilan. Aku masih ingat kata-katanya, “kita jalani saja, kalau memang kehendak Tuhan waktulah yang akan menjawabnya”. Ungkapan ini telah terjawab. Waktu telah menjadi hakim yang adil. Aku terlelap dalam tidur malam.
Dari Nun Amasat kuliskan keluh ini dalam nada cinta. Dari Nun Amasat, kusampaikan salamku kepada Non Amasat yang telah mengandungku sembilan bulan dan lahir menjadi manusia. Dan juga Non Amasat yang telah mengandungku di dalam hatinya selama sembilan bulan.
Terima kasih untuk ketulusan ini. Aku sudah lahir baru. “Saya tidak pernah dendam dengan siapapun kak. Seberat apapun orang melukai saya, saya akan tetap menjadi orang yang santai,” kalimat terakhir gadis senja yang tulus dan murah senyum, telah menjadi cakrawala baru dalam hidupku.
Terima kasih sudah membuka kembali jalanku untuk menjadi misionaris Tuhan. Aku telah menemukan Tuhan dalam dirimu. Aku mencintaimu. Salam dari Nun Amasat untuk Non Amasat, Gadis Senja dari Ndiwar. Aku Momang Dite, Neka Rabo Ge, Mori Sembeng!
***
Nun Amasat: Beringin Cantik (Dawan) Nama Tempat di Benlutu
Non Amasat: Gadis Cantik (Dawan)
Aku Momang Dite: Aku Mencintai Kamu ( Manggarai)
Neka Rabo Ge: (Minta maaf) ( Manggarai)
Mori Sembeng (Tuhan melindungi) ! ( Manggarai)
Exodus: meninggalkan tempat asal secara besar – besaran
*Fr. Jondry Siki, CMF
(Menjalankan Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di Novisiat Benlutu, TTS)