Indonesia Negara Maritim, Peran Nelayan Sangat Vital bagi Kedaulatan Pangan Nasional

Capt. Marcellus Hakeng

NUSALONTAR.COM

JAKARTA – Peran para nelayan dalam mendongkrak perekonomian nasional tidak terbantahkan lagi. Di samping mampu menambah devisa negara, hasil perikanan juga berperan meningkatkan gizi masyarakat.

Bacaan Lainnya

Bahkan sektor perikanan tangkap mampu membuka peluang pekerjaan serta menciptakan giat perekonomian untuk masyarakat yang bermukim di kawasan pesisir pantai. Oleh karena itu peran serta pemerintah sangat dibutuhkan para nelayan, baik untuk dapat terus menangkap ikan ke lautan lepas maupun melengkapi pengetahuannya mengikuti perkembangan jaman.

Indonesia merupakan negara maritim dengan kekayaan laut yang melimpah. Luas wilayah perairan Indonesia mencapai 6,4 juta km2, antara lain terdiri dari Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) 3 juta km2 dan luas landas kontinen 2,8 juta km2, dengan panjang garis pantai 108.000 km dan jumlah pulau mencapai 17.499. Namun demikian pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan di wilayah ZEE Indonesia dirasa belum optimal. Bahkan berdasarkan penelitian yang dilakukan tahun 2015, secara keseluruhan Indonesia memiliki potensi Rp1.700 triliun jika sumber daya lautnya dikelola dengan tepat maksimal. Sementara sampai tahun 2020, baru 10% saja yang bisa kita kelola dan itupun kebanyakan produknya masih dalam bentuk bahan mentah.

“Untuk menjaga area laut Indonesia yang demikian luas agar tetap sehat dan bermanfaat bagi perekonomian nasional, menjadi suatu pekerjaan berat yang harus dapat dilaksanakan oleh semua unsur yang masuk ke dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan di Indonesia. Untuk dapat menjalankan itu mau tidak mau dibutuhkan sarana dan prasarana yang mumpuni guna mendukungnya,” demikian pendapat dari Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, Pengamat Maritim yang juga Pengurus dari Dewan Pimpinan Pusat Ahli Keamanan dan Keselamatan Maritim Indonesia (AKKMI), dalam keterangan persnya kepada media, Jakarta (15/11/2021).

Mengingat wilayah perairan Indonesia yang luas, sehingga untuk optimalisasi pengelolaan sumber daya perikanan Pemerintah telah menetapkan Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, sambung Capt. Hakeng. Melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan no 1 tahun 2009 kemudian diubah dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan no 18 tahun 2014, tentang pengelolaan perairan laut Indonesia, yang mana dibagi dalam 11 (sebelas) Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI).

Pemanfaatan sumber daya perikanan di perairan laut yang dilakukan oleh para pelaut atau nelayan belum terlalu optimal. Hal itu bisa terjadi karena sarana pendukung bagi para pelaut atau nelayan tersebut belum tercukupi. Capt. Hakeng mengutip salah satu pemberitaan di media beberapa waktu lalu terkait kejadian yang dialami sejumlah nelayan di Kabupaten Pati, Jawa Tengah yang tidak dapat melaut lantaran sulit untuk mendapatkan bahan bakar minyak jenis solar.

Menurut Capt. Hakeng apa yang dialami oleh para nelayan di daerah tersebut ataupun daerah lain di Indonesia memang memprihatinkan. Persoalan itu sebenarnya dapat diatasi dengan menerapkan system kapal pengumpan/kapal pengumpul ke kapal lain yang berdimensi lebih besar (Feeder ships to ships) bahan bakar regular serta hasil tangkapan para Nelayan tersebut di titik–titik kapal nelayan atau kapal ikan tersebut biasa beroperasi (11 WPPNRI). Sehingga dengan demikian jalur jelajah dari kapal nelayan dapat dipersingkat tapi tetap dapat dioptimalkan. Dengan tanpa perlu kembali ke pelabuhan asal atau pelabuhan terdekat hanya untuk mengisi bahan bakar, menambah perbekalan atau membongkar muatan mereka.

Berdasarkan data Ditjen Perikanan Tangkap KKP tahun 2016, jumlah kapal di bawah 5 GT sebanyak 115.814 unit. Lalu kapal 5-10 GT sebanyak 35.988 unit, kapal 10-20 GT sebanyak 9.790 unit. Berikutnya kapal 20-30 GT sebanyak 6.481 unit, kapal 30-50 GT sebanyak 805 unit, kapal 50-100 GT sebanyak 2.008 unit, kapal 100-200 GT sebanyak 847 unit dan di atas 200 GT ada 11 unit.

“Apabila dari jumlah kapal nelayan seperti di sebutkan itu separuhnya saja menggunakan solar dengan system pengisian di tengah lautan. Maka berapa jumlah penghematan yang akan dapat dilakukan oleh para nelayan atau pemilik kapal. Selain penghematan dari segi biaya juga penghematan dalam hal waktu serta tentunya mampu secara signifikan mengurangi pemakaian Solar Subsidi bagi para Nelayan tersebut dan bagi Negara tentunya hal tersebut menjadi hal yang penting (mengurangi beban subsidi). Dengan begitu, para nelayan jadi bisa lebih lama berada di laut dan tentunya hasil tangkapannya bisa lebih maksimal karena tidak perlu lagi jeda untuk kembali ke daratan. Penempatan kapal pengisi bahan bakar serta pengumpul untuk kapal lain dapat diterapkan di sebelas WPPNRI dengan aturan yang ketat dan tetap memperhatikan keselamatan jiwa para pelaut penangkap ikan serta tentunya tetap mengutamakan kelestarian lingkungan,” kata Capt. Hakeng

Memang untuk mewujudkan itu tidak begitu mudah dilakukan, tapi jelas bukan hal yang mustahil karena harus dicatat bahwa hal tersebut sudah jamak dilakukan di negara-negara lain di dunia, tentunya harus ada sinergi dengan otoritas lainnya agar dapat mewujudkan hal itu. “Jadi sudah saatnya kita mengoptimalkan dan mengembangkan kembali usaha perikanan yang ada di kawasan sentra kelautan dan perikanan terpadu (SKPT) terdekat. Kita harus dapat mendukung berkembangnya teknologi untuk hal tersebut. Misalnya, bagaimana agar kapal-kapal dapat beroperasi di laut lepas dalam waktu yang lama untuk melakukan penangkapan ikan, agar tidak mengurangi kualitas hasil tangkapannya maka dibuat teknologi kapal penampung ikan terapung dengan system pendinginan yang baik atau Pengembangan industri perikanan galangan kapal, cold storage, pengolahan ikan, pabrik es, dan lain-lain serta pengembangan jasa logistik lainnya. Melihat hal tersebut, maka tentunya kompetensi sumber daya manusianya harus juga ditingkatkan,” ucap Capt. Hakeng.

“Penting bagi kita untuk mengembangkan pemikiran dengan semakin banyaknya kapal niaga dan penangkap ikan berbendera Indonesia yang beroperasi di lautan, maka secara tidak langsung akan menjadi penjaga kedaulatan negara Indonesia. Disini sebetulnya esensi Pasal 30 ayat 2 UUD 1945 hasil amandemen kedua, yaitu sistem Hankamrata diterapkan di dunia Maritim. Kapal-kapal asing yang ingin menangkap ikan di lautan Indonesia dapat dipantau dan dapat segera dilaporkan oleh para pelaut/nelayan Indonesia yang melihatnya. Dengan begitu pula kedaulatan negara, Kedaulatan pangan, dan kelestarian ekosistem laut Indonesia dapat terjaga pula dengan sendirinya,” pungkasnya. (**)

Pos terkait