Kasus Hotel Plago, Ternyata Pemprov NTT Memutuskan Hubungan Kerja Tanpa Rekomendasi BPK RI

Suasana sidang lanjutan kasus dugaan korupsi pemanfaatan aset Pemprov NTT seluas seluas 31.670 m2 di Pantai Pede, Labuan Bajo, Manggarai Barat.

KUPANG, nusalontar.com | Pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT terhadap PT Sarana Investama Manggabar (PT SIM) dalam perjanjian Bangun Guna Serah (BGS) pemanfaatan aset Pemprov NTT seluas seluas 31.670 m2 di Pantai Pede, Labuan Bajo, Manggarai Barat, dilakukan tanpa adanya rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI).

Hal tersebut diakui Zet Sony Libing dalam persidangan lanjutan kasus dugaan korupsi pemanfaatan aset Pemprov NTT seluas seluas 31.670 m2 di Pantai Pede, Labuan Bajo, Manggarai Barat, Jumat, 26 Januari 2024.

Bacaan Lainnya

Sony Libing dihadirkan sebagai saksi terkait jabatannya sebagai mantan Kepala Badan Pendapatan dan Aset Daerah Provinsi NTT pada tahun 2019 lalu saat Pemprov NTT melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap PT SIM kala itu.

Dalam sidang, Sony Libing mengaku Pemprov NTT menaikkan nilai besaran kontribusi sejak akhir tahun 2018 yang kemudian diikuti oleh hasil penilaian audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Provinsi NTT Tahun 2019, yang menilai Daerah Provinsi NTT kurang mendapatkan untung jika kontribusi yang diterima dari Hotel Plago hanya Rp255 juta per tahun.

Namun demikian, PHK akhirnya dilakukan Pemprov NTT kepada PT SIM setelah memberikan somasi sebanyak satu kali.

“Kami somasi satu kali. Setelah PHK, kami memberikan SP (surat peringatan) sebanyak tiga kali agar PT SIM keluar dan mengosongkan bangunan. Lalu kami ambil alih,” jelasnya.

Lebih lanjut Sony mengaku alasan di-PHK-nya PT SIM, sehubungan dengan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan NTT Tahun 2019 yang menyebutkan bahwa PT SIM diduga tidak melakukan pembayaran kontribusi selama 3 tahun berturut-turut, yakni sejak tahun 2015-2017.

Kendati demikian, Zet Libing mengakui, bahwa BPK RI tidak pernah mengusulkan pemutusan sepihak terhadap PT SIM, serta tidak menyimpulkan adanya kekurangan besaran nilai kontribusi.

“Yang menyimpulkan kurang memberikan keuntungan adalah BPKP di Tahun 2019,” jelasnya.

Zet Libing melanjutkan, setelah bangunan diambil alih, kemudian Pemorov NTT menunjuk PT Flobamor sebagai mitra Kerja Sama Pemanfaatan (KSP), berdasarkan Penunjukan Langsung (PL).

Ia mengakui, PT Flobamor pada akhirnya juga tidak mampu memberikan kontribusi sama sekali, yang diharapkan bisa naik menjadi Rp835 juta per tahun dengan alasan barang-barang di dalam Hotel sudah tidak ada dan Hak Guna Bangunan (HGB) masih atas nama PT SIM.

Selain Zet Sony Libing, Mantan Asisten I Setda Provinsi NTT tahun 2011-2016, Johana Lisapaly dan Kepala Badan Pendapatan dan Aset Daerah Provinsi NTT, Alex Lumba juga ikut menjadi saksi dalam kasus yang disebut merugikan negara senilai Rp8 miliar lebih itu.

Diketahui, sebanyak empat orang menjadi terdakwa dalam kasus dugaan korupsi pemanfaatan aset Pemprov NTT di Pantai Pede Labuan Bajo. Di antaranya,
Thelma Bana yang adalah mantan Kepala Bidang Pemanfaatan Aset Dinas Pendapatan dan Aset Daerah Provinsi NTT; Direktur PT SIM, Heri Pranyoto; Direktur PT Sarana Wisata Internusa (PT SWI), Lidya Sunaryo dan Pemegang Saham Tidak Langsung PT SIM dan Pemegang Saham PT SWI, Bahasili Papan.

Sidang kasus dugaan korupsi ini akan kembali dilanjutkan pada 2 Februari 2024 mendatang dengan agenda pemeriksaan saksi dari Jaksa Penuntut Umum (JPU).**

Pos terkait