NUSALONTAR.com – Paris – Seorang remaja berusia 13 tahun di Paris, Perancis, diskors dari sekolahnya karena berulang kali tidak menghadiri kelas alias membolos sekolah.
Karena tidak ingin keluarganya tahu kalau dia diskors sekolah, siswi tersebut mengarang sebuah cerita untuk disampaikan kepada ayahnya, Brahim Chnina (48).
Siswi itu menceritakan bahwa guru sejarahnya yang bernama Samuel Paty menginstruksikan siswa Muslim untuk meninggalkan kelas supaya sang guru bisa menunjukkan “gambar Nabi yang telanjang”.
Siswi tersebut tidak mengira bahwa kebohongannya berujung pada hal yang mengerikan.
10 hari kemudian, Samuel Paty dibunuh ketika berjalan pulang ke rumahnya di Conflans-Saint-Honorine, sekitar 30 kilometer dari Paris, pada 16 Oktober 2020.
Dia dipenggal oleh seorang teroris, Abdullakh Anzorov, yang termakan kabar di media sosial bahwa Samuel Paty menunjukkan kartun Nabi di depan kelas.
The Guardian menulis, Abdullakh Anzorov menyogok dua murid untuk menunjukkan ciri-ciri Samuel Paty.
Keluarga Samuel Paty hancur, Perancis mengalami trauma, dan siswi tersebut beserta ayahnya menghadapi tuntutan pidana.
Menyenangkan Ayahnya
Pada Minggu (07/03/2021), Le Parisien menuliskan bahwa siswi yang disebut Z itu mengaku salah menuduh Samuel Paty. Z mengaku kepada hakim anti-teroris bahwa dia telah berbohong.
Z juga mengaku bahwa dia bahkan tidak berada di kelas ketika Samuel Paty dituduh menunjukkan kartun Nabi kepada para muridnya dari media satire Charlie Hebdo.
Le Parisien menambahkan, Z berbohong karena dia ingin menyenangkan Chnina, ayahnya.
“Dia tidak berani untuk mengakui kepada ayahnya alasan sebenarnya bahwa dia dikeluarkan sesaat sebelum tragedi itu, yang sebenarnya terkait dengan perilakunya yang buruk,” lapor Le Parisien.
Pada 6 Oktober 2020, Samuel Paty mengajak para murid berdiskusi dan mengajukan pertanyaan “menjadi atau tidak menjadi Charlie?”.
Tema itu dia angkat Mengacu pada tagar #JeSuisCharlie yang digunakan untuk menyatakan dukungan untuk Charlie Hebdo setelah serangan teroris di kantornya pada Januari 2015 yang menewaskan 12 orang.
Dua hari kemudian, gadis itu (Z) memberi tahu ayahnya bahwa Samuel Paty telah meminta siswa Muslim untuk meninggalkan kelas sebelum menunjukkan karikatur tersebut.
Dia berkata bahwa dia telah menyatakan ketidaksetujuannya dengan guru. Kata Z, akibat protesnya itu Samuel Paty telah menskorsnya dari kelas selama dua hari.
Setelah mendengar cerita itu, Chnina ayah Z, kelahiran Maroko, berbagi video di Facebook di mana dia mencela Samuel Paty dan meminta agar dia dipecat dari sekolah.
Dia mengunggah video kedua dan mengunggahnya di media sosial tersebut dengan menuduh Samuel Paty telah melakukan diskriminasi.
Chnina mengadu ke sekolah dan polisi. Dia bahkan mengeklaim bahwa Samuel Paty bersalah karena telah “menyebarkan gambar porno” dan memicu tuduhan Islamofobia di sekolah.
Media sosial mulai gaduh. Abdullakh Anzorov, seorang migran dari Chechnya yang tinggal di Normandia, termakan amarah oleh video Chnina.
Pada 16 Oktober, Abdullakh Anzorov melakukan perjalanan ke Conflans-Sainte-Honorine. Di sana, dia menyogok dua murid untuk menunjukkan ciri-ciri Samuel Paty.
Ketika Samuel Paty melakukan perjalanan pulang, dia dibunuh dan dipenggal oleh Abdullakh Anzorov.
Z Akhirnya Mengaku
Sementara itu, Z tetap berpegang pada kebohongannya. Hingga akhirnya, polisi memberi tahu Z bahwa beberapa teman sekelasnya telah mengkonfirmasi bahwa Z tidak hadir di kelas.
Para siswa lain juga mengatakan, Samuel Paty tidak menginstruksikan siswa Muslim lain untuk meninggalkan kelas seperti yang dia klaim.
Saat itulah Z akhirnya mengakui kebohongannya. Para penyelidik dilaporkan mengatakan Z menderita inferiority complex dan mengabdi pada ayahnya.
Pengacara Z, Mbeko Tabula, menegaskan bahwa tragedi itu tidak boleh jatuh di pundak seorang gadis berusia 13 tahun.
Tabula mengatakan kepada Le Parisien bahwa semua tragedi tersebut disebabkan oleh perilaku ayahnya Z yang berlebihan.
“Klien saya berbohong, tetapi meskipun itu benar, reaksi ayahnya masih tidak proporsional,” imbuh Tabula.
Chnina, yang sedang diselidiki karena “terlibat dalam pembunuhan teroris”, mengatakan kepada polisi bahwa dia merasa bodoh.
“Saya tidak pernah mengira pesan saya akan dilihat oleh teroris. Saya tidak ingin menyakiti siapa pun dengan pesan itu,” ujar Chnina.
“Sulit membayangkan bagaimana kita sampai di sini, bahwa kita kehilangan seorang profesor sejarah dan semua orang menyalahkan saya,” imbuh Chinna. (JR/Sumber: Kompas.com)