KUPANG – Bintara Pembina Desa (Babinsa) TNI Angkatan Darat turut mengambil bagian dalam pemberdayaan masyarakat. Sebagai elemen paling bawah dari hirarki TNI Angkatan Darat, Babinsa adalah ujung tombak di lapangan yang telah memberi banyak kontribusi dalam proses pembangunan, selain dalam kapasitasnya sebagai alat pertahanan negara.
Keberadaan Babinsa di tengah tengah masyarakat tak hanya memberi rasa aman, tetapi juga memberi nuansa pemberdayaan ekonomi. Hal ini juga diakui oleh Direktur PT. Moringa Wira Nusa sekaligus Founder Dapur Kelor, Ir. H Dudi Krisnadi. menurutnya pihak yang menyambut baik upaya Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat terkait budidaya dan pengolahan Kelor, selain masyarakat, adalah Korem 161/Wirasakti Kupang. Korem 161/Wirasakti telah menggerakkan Kodim, Koramil, hingga Babinsa untuk melakukan budidaya, pengolahan dan pembelian kelor dari masyarakat.
Seperti kisah Sersan Dua Antonius Saet, Babinsa Koramil 02/Camplong. Selain melakukan pemberdayaan masyarakat di wilayah tugasnya, Ia Juga membina masyarakat pegiat Kelor di kediamannya yang terletak di RT 07/RW 11, Kelurahan Liliba, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang.
“Saya mulai memberdayakan warga binaan (untuk mengelola Kelor, red) di tempat tugas sejak tanggal 23 Februari 2022. Pertama kali di Koramil Camplong,” tutur Antonius kepada wartawan.
Seiring berjalannya waktu, Antonius mulai memberdayakan puluhan rumah tangga dan anak anak usia sekolah untuk pengolahan Kelor di kediaman pribadinya. Ibu rumah tangga yang saban hari duduk tanpa aktivitas kini berganti menjadi tenaga “koru” (melepaskan daun kelor dari tangkai, red).
Antonius mempunyai anggota kelompok berjumlah 35 orang. Ia memberi nama kelompoknya Kelor Kasih. Setiap hari anggota kelompoknya berjibaku melepaskan daun kelor dari tangkai kemudian ditimbang.
“Kerjanya hanya 4-5 jam dan menghasilkan 50 sampai 60 kg daun Kelor basah setiap hari. Untuk harga Kelor mentah, kalau dari pimpinan itu berkisar Rp5.000 per kilogram, tetapi saya juga membutuhkan biaya operasional untuk mengambil dan mengantar Kelor ke sentra produksi yang berada di Koramil/02 Camplong. Sehingga setelah dijual, Rp3.000 dibagi ke para ibu dan anak-anak yang bekerja, sedangkan Rp2000 untuk biaya operasional atau mobilitas,” rinci Anton.
Ia menjelaskan, Koramil Camplong menerima 1 Kg Kelor Basah di tempat dengan harga per kilogram Rp5.000. Harga itu diketahui oleh semua anggota kelompok. Namun karena lokasi kelompok dan Koramil Camplong yang sangat jauh, Antonius bersepakat dengan anggota kelompok dalam menentukan harga beli untuk anggota kelompok untuk menutupi biaya operasional. Untuk kelor yang dicari oleh Antonius, setiap anggota kelompok mendapat upah Rp2.000 setiap kilogram. Sementara Kelor yang dijual oleh anggota kelompok ke Anton setiap kilogram dihargai dengan harga Rp3.000.
Setiap hari Antonius menggunakan kendaraan bermotor sebanyak 3 unit. 3 unit motor itu disewa untuk mencari Kelor di kebun kebun milik warga. Setelah melalui proses perontokan daun, Kelor basah itu di antar ke cabang Bimoku Kupang dan dititip di angkutan umum untuk diantar ke Koramil Camplong. Selisih pembayaran dari Rp3.000 maupun Rp2.000 digunakan untuk operasional. Jika masih ada yang sisa akan dibelikan buku tulis untuk anak SD, beli sirih pinang, kopi gula, dan aneka camilan yang digunakan oleh anggota kelompok.
“Jika saya yang cari daun maka mereka yang koru itu akan dapat dua ribu per kg. Terus yang datang bawa sendiri akan dihargai dengan tiga ribu rupiah. Kan harganya lima ribu. Ada yang harganya tiga ribu dan dua ribu. Yang sisa ini itu Kaka, setiap hari itu saya gunakan kendaraan dan ada anak buah lagi. Setiap minggu saya sewa setiap motor itu 150 ribu rupiah. Jadi ada 3 motor sehingga total Rp450 ribu. Dana itu ambil dari mana? Dana itu ambil dari yang sisa dua ribu dan tiga ribu. Dari lokasi kelompok saya pakai ojek lagi ke lampu merah Bimoku. Dari Bimoku saya pakai lagi kendaraan untuk muat kelor bawa ke Camplong. Tidak hanya berhenti disitu saja. Yang pegang uang kelor kan ibu. Kalau masih ada sisa, kami berdua beli alat tulis dan buku untuk dibagikan kepada anak anak sekolah. Setiap anak dapat buku satu pak dan bolpoint,” ujarnya.
Antonius mengatakan, ia bersama istri tidak mengambil keuntungan dari anggota kelompoknya. Ia hanya mendapat tunjangan operasional dari kantor sebanyak Rp1.000.000. Ia mengatakan, hal itu bisa langsung dikonfrontir dengan anggota kelompoknya kapan saja.
“Saya dan istri sistemnya sangat terbuka dengan mama-mama atau anak-anak. Kalau misalkan uang di tangan habis, mereka akan mengerti. Juga misalnya ada yang butuh uang tapi belum ada kelornya yang mau ditimbang. Nanti saya dan istri akan kasih kasbon. Bila sudah ada kelor yang siap ditimbang maka akan cicil sampai lunas. Tidak langsung potong satu kali memang,” jelasnya.
Anak SD yang ikut “koru” Kelor, kata Anton, dilakukan pada pagi hari sebelum berangkat ke sekolah siang. Usai “koru” Kelor anak-anak tersebut menimbang hasil dan mendapat bayaran sesuai berat yang dapat.
Dijelaskan lebih lanjut, setiap minggu anggota kelompok ada yang gajian. Sistim gajian ini diperuntukan bagi anggota kelompok yang tidak ambil uang hasil timbangan kelornya setiap hari. Hal itu juga kata Antonius berdasarkan kesepakatan bersama. Rata-rata setiap minggu satu anggota kelompok bisa mendapat ratusan ribu dari aktivitas “koru” kelor.
“Yang gajian itu istri saya akan catat. Kan ada juga yang ambil memang. Yang ambil mingguan ini akan dibayar sesuai dengan pembukuan yang dibuat oleh istri. Ratusan ribu bisa didapat oleh anggota kelompok setiap minggunya,” jelasnya.
Salah satu anak SD yang terlibat dalam kelompok Kelor Kasih yang bernama Kristian Elias Malet. Ia mengaku merasa terbantu dengan aktivitas perontokan daun kelor yang digagas oleh Antonius. Ia setiap hari sebelum ikut sekolah siang, dari pagi ia Merontokkan daun kelor. Dari aktivitas itu ia mendapat uang jajan. Selain itu ia juga mendapat bantuan alat tulis dan buku tulis dari Antonius.
Sama halnya dengan Mama Matilda Talan yang sehari-hari ikut merontokkan daun kelor. Ia merasa terbantu secara ekonomi dari aktivitas itu. Ia mengaku sudah bergabung sejak awal kelompok Kelor Kasih dibentuk. Setiap hari ia bisa merontok daun kelor hingga 6 Kg hingga belasan kg kelor basah. Itupun dilakukan hanya pada pagi hari saja.
“Sangat membantu ekonomi rumah tangga. Setiap hari bisa belasan Kg saya dapatkan. Itu juga hanya pagi hari saja. Kami sangat senang bisa bergabung dan semoga ini berlanjut terus,” ujarnya.
Ia berharap kelompok Kelor Kasih bisa mendapatkan mesin sehingga bisa membantu warga sekitar dan anak anak muda untuk terlibat untuk mendapatkan uang dari pengolahan Kelor.
Tak hanya mama Matilda Talan yang merasa terbantu. Anggota kelompok lain juga mengungkapkan hal yang sama. Kelompok Kelor Kasih juga bergabung beberapa janda. Pada janda ini setiap harinya melakukan aktivitas perontokan daun kelor.
Dikunjungi Julie Sutrisno Laiskodat
Aktivitas kelompok Kelor Kasih akhirnya sampai ke telinga Julie Sutrisno Laiskodat. Sosok ketua Dekranasda NTT sekaligus istri Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat ini berkunjung ke lokasi Kelompok Kelor Kasih.
Antonius Saet kepada wartawan mengaku kaget dengan kunjungan tersebut. Ia bahkan bertanya kepada wartawan darimana Julie Sutrisno Laiskodat tahu aktivitas kelompok Kelor Kasih. Ia hanya didatangi Kasi Pers Dandim 1604 Kupang. Kasi Pers hanya mengatakan ada kunjungan ibu Gubernur NTT. Meski kaget namun ia hanya mengiyakan saja informasi tersebut.
“Saat Bunda Julie datang, ibu-ibu sangat senang dan sangat antusias. Saya sendiri sampai tak bisa berkata apa-apa. Saya tidak menduga Bunda Julie akan mendatangi dan mengapresiasi apa yang kami lakukan,” tuturnya.
Ia menceritakan ada kejadian lucu ketika bunda Julie Laiskodat berkunjung. Lazimnya kata dia istri Pejabat itu di kawal oleh pengawal. Tiba tiba ada mobil yang parkir didepannya. Ia kemudian meminta sopir untuk menepihkan kendaraan nya ke tempat lain karena dirinya akan kedatangan tamu penting. Bahkan ia sempat memarahi sopir karena tak kunjung beranjak dari depannya.
“Saya bayangkan kalau pejabat datang itu ada patwal. Dalam hati saya bilang kalau ada Pol PP yang kawal na itu sudah ibu Gubernur. Saya marahi sopir karena tidak mau maju dari depan saya. Eh, tiba tiba begitu pintu buka, ibu Gubernur yang turun dari mobil. Aduh Kaka, saya punya malu lagi,” ujarnya.
Turun dari mobil, kata Antonius, Julie Sutrisno Laiskodat langsung bergabung dengan anak anak dan mama mama di bagian belakang yang sedang merontokkan kelor. Ia juga tidak mempersiapkan meja dan kursi.
“Ibu Gubernur turun langsung pergi ke belakang dan bergabung. Ia duduk ditanah bersama mama mama sambil Koru kelor. Aduh saya jadi malu. Ibu pejabat tapi duduk begitu saja ditanah,” jelasnya.
Ia merasa bangga dengan kunjungan Julie Sutrisno Laiskodat ke kelompok Kelor Kasih. Kunjungan itu memberi spirit bagi dia bersama anggota kelompok.
Anton merasa lebih bahagia lagi karena usahanya untuk memberdayakan warga guna mengelola Kelor didengar Bunda Julie. Setelah mengetahui usaha Anton untuk memberdayakan warga dalam mengelola Kelor, Bunda Julie pun mendatangi rumah Anton.
Selain itu, Anton juga merasa bangga dan bersyukur karena niatnya untuk memberdayakan warga selain menghasilkan uang, juga mempererat rasa kekeluargaan antara warga.
Antonius berharap, semoga program program pengelolaan kelor ini bisa berkelanjutan, sehingga para ibu dan anak-anak bisa mendapatkan manfaatnya.
“Kalau bisa ada pabriknya supaya anak-anak kami bisa bekerja di sana,” tutupnya. (*/JR)