OPINI, nusalontar.com | Perhatian masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) terhadap hutan Besipae, pola-pola pembangunan, dan bahkan nasib orang-orang yang diusir oleh pemerintah provinsi NTT dari kawasan hutan Besipae perlahan-pahan memudar.
Selain disedot euforia pesta demokrasi pemilihan kepala daerah di NTT, degradasi perhatian publik dipengaruhi juga oleh minimnya pemberitaan media massa mainstrem terhadap kasak-kusuk pembangunan di hutan Besipae yang mampu mempengaruhi desain kebijakan pemerintah yang pro-rakyat.
Tulisan ini bertendensi untuk mencermati kembali potret terbaru pembangunan hutan Besipae dan bagaimana nasib perempuan yang tinggal di kawasan ini.
Pada prinsipnya, sejarah pengelolaan hutan Besipae merupakan sejarah pembangunan yang paradoks. Atas nama pembangunan, pemerintah provinsi memberikan izin kepada Australia untuk mengembangkan ternak terpadu di kawasan hutan pada tahun 1982 hingga 1987. Ketika kontrak berakhir, pemerintah provinsi mengambil alih pengelolaan hutan ini, yang diikuti dengan sejumlah program pengembangan ternak.
Paradoks terjadi tatkala praktik pengembalaan ternak serentak mengadopsi kebijakan penghancuran atas hutan (Dhosa 2021). Laporan WALHI NTT menunjukkan bahwa terdapat pembabatan hutan Besipae seluas 1050 hektar melalui program gerakan rehabilitasi hutan (GERHAN).
Penghancuran hutan diikuti dengan pemberangusan resistensi masyarakat yang menolak monopoli pemerintah. Pemerintah menuduh masyarakat adat Besipae mengokupasi tanah milik pemerintah, dan sebaliknya masyarakat adat menolak perpanjangan pengelolaan hutan oleh pemerintah.
Puluhan kepala keluarga yang tinggal di kawasan hutan Besipae mengalami intimidasi, kekerasan, dan pengusiran oleh aparat keamanan. Rumah-rumah warga dibongkar. Hasil pertanian di kebun masyarakat dihancurkan.
Anak-anak kecil harus mengungsi di tenda-tenda darurat. Bantuan kemanusiaan datang dari berbagai pihak untuk membela kemanusiaan orang-orang yang digusur di Besipae. Bantuan tersebut bersifat karitatif, dan karena itu, ia belum menyentuh struktur yang melandasi konflik panjang pengelolaan hutan.
Warga dibiarkan terlantar dari tempat yang satu ke tempat lain. Janji pemerintah untuk menghibahkan tanah dan tempat tinggal kepada mereka susah dipegang. Mereka dipaksa menandatangani surat perjanjian untuk (1) mendukung program pemerintah di lokasi instalasi Besipae, dan berpihak pada keluarga besar Nabuasa, serta (2) menolak bergabung dengan organisasi Ikatan Tokoh Adat Pencari Kebenaran dan Keadilan (ITAPKK) yang dipimpin oleh Niko Manao.
Pada akhirnya, ketidakjelasan kebijakan pemerintah menimbulkan problem kronis pada perempuan Besipae sebagai pihak yang menanggung beban penderitaan keluarga korban penggusuran.
Nasib Perempuan Besipae
Selama studi lapangan, kami (2024) menemukan bahwa perempuan memiliki peran jamak pasca-pengusiran oleh pemerintah provinsi bersama aparat keamanan. Mereka menanggung beban fisik dan psikis secara serentak. Para perempuan memikirkan masa depan keluarga dan anak-anak, serta merasakan getirnya perjuangan memenuhi kebutuhan harian.
Pemimpin perempuan pejuang, mama Damaris mengakui bahwa ia merasa trauma terhadap intimidasi yang dilakukan oleh pemerintah dan aparat keamanan. Ia adalah tokoh penting perempuan yang melawan modus operandi pengelolaan hutan oleh pemerintah. Ia mewakili perempuan dan bahkan bersama dengan para perempuan Besipae menggelar aksi demonstrasi baik di arena hutan maupun beraudiensi dengan pemerintah provinsi.
Tujuan utama perjuangan mereka adalah mendesak pemerintah untuk mengubah kebijakan dan penguasaan atas hutan. Pemerintah perlu memikirkan ulang sejarah penyerahan tanah masyarakat adat yang diwakili oleh Besi dan Pae kepada pemerintah. Hak-hak masyarakat adat atas hutan perlu diakui oleh pemerintah. Batas-batas teritori hutan larangan (kio) dan tanah-tanah semak belukar milik masyarakat harus ditinjau secara cermat. Karena itu, dokumen penting pergeseran dan perubahan status kawasan hutan Besipae harus dibuka kembali kepada publik.
Pemerintah provinsi seolah-olah menutup telinga terhadap perjuangan masyarakat adat, memalingkan wajah dari perlawanan perempuan Besipae, dan tidak mengindahkan desakan publik untuk perlindungan bagi para korban penggusuran di kawasan hutan.
Akses perempuan terhadap hasil hutan dibatasi. Mereka tidak mengolah kebun secara bebas sebagaimana sebelum terjadinya pemberangusan gerakan perlawanan. Ketika memasuki areal pedalaman hutan, para perempuan acapkali merasakan kecemasan dan ketakutan terhadap aparat keamanan. Memori kekerasan aparat masih membekas dalam ingatan mereka. Meski mereka menolak tunduk pada memori silam yang mengenaskan itu.
Pendapatan keluarga diserahkan kepada perempuan untuk selanjutnya ia menata keuangan secara bijak. Sumber pendapatan digunakan untuk memenuhi dua kebutuhan utama yakni membiayai pendidikan anak-anak, dan membeli kebutuhan rumah tangga.
Untuk menambah pendapatan keluarga, perempuan mengembangkan ekonomi kreatif di kawasan hutan. Mereka menjual barang-barang yang diambil dari hutan dengan hasil pendapatan yang relatif kecil. Mereka juga menjual barang-barang di kios untuk meringankan dan memudahkan akses anggota keluarga terhadap barang-barang yang dibutuhkan.
Di tengah kesibukan pengembangan ekonomi, para perempuan pun harus merawat anak-anak di rumah, mengurusi asupan gizi yang relatif rendah, dan bahkan memerhatikan ketersediaan air bersih bagi kesehatan anak-anak.
Beberapa kali mengunjungi keluarga-keluarga di kawasan hutan Besipae, kami menyaksikan secara kasat mata tantangan kesehatan dan higienis bagi anak-anak. Asupan gizi acapkali tidak berimbang. Akses mereka terhadap air bersih pun relatif sulit. Mereka harus membeli air yang dijual dari sumur-sumur warga di dataran rendah. Mereka mengkonsumsi air dengan hemat sebab semakin banyak air digunakan, semakin besar pula uang yang mereka keluarkan untuk membeli air bersih.
Hal-hal inilah yang membawa beban jamak bagi perempuan Besipae. Pada satu sisi perempuan Besipae memperjuangkan hak mereka atas tanah dan hutan serta membantu laki-laki dalam mencari hasil di hutan dengan akses yang relatif terbatas, dan pada sisi lain perempuan harus menguras pikiran tentang dinamika sosio-ekonomi keluarga serta membereskan kebutuhan rumah tangga, termasuk bagi kesehatan dan pendidikan anak-anak.
Kapan beban jamak perempuan Besipae akan berakhir ketika pemerintah sibuk mempertahankan hak atas tanah dan memonopoli pengelolaan atas kawasan hutan Besipae?**
*) Oleh: Innosensia E.I.N Satu dan Didimus Dedi Dhosa – Dosen Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang, NTT