Kursi Lembata 01 dan The Power of Gemohing

John Batafor

KUPANG, nusalontar.com | Waktu menunjukan pukul enam kurang beberapa menit ketika saya memutuskan untuk menghubungi John Batafor pada pagi ini, Selasa 7 Mei 2024.

Kemarin sore (6/5/2024) saya mendapat informasi bahwa John telah mendaftarkan diri sebagai Bakal Calon Bupati Kabupaten Lembata periode 2024-2029 di Kantor Dewan Pimpinan Wilayah Partai NasDem NTT. Atas alasan ini saya ingin bertemu dan mewawancarai John.

Bacaan Lainnya

Saya belum pernah bertemu langsung dengan John sebelumnya, namun kami sering berkomunikasi via pesan whatsapp dan beberapa kali saya menulis tentang kiprahnya dalam menolong orang-orang kecil atau orang-orang susah di Lembata di media ini.

Di media sosial, John juga cukup populer lantaran banyak orang yang sering mengunggah kegiatannya dalam membantu orang-orang susah, bersama Komunitas Taman Daun yang ia koordinir.

“Boleh, Reu (sapaan akrab dalam bahasa Lamaholot terhadap teman atau sahabat, red), sekarang saya free sampe jam 7 Reu, kita ngopi saja di sini,” kata John menjawab pesan whatsapp yang saya kirimkan.

Kira-kira Pukul 06.30 saya tiba di Hotel On The Rock Kupang, tempat John Batafor menginap. Saya langsung menuju restoran hotel tempat kami janjian untuk ngopi. Ketika melihat saya datang, John menyambut saya dengan ramah dan hangat, laiknya seorang teman lama.

“Kemarin daftar ke Partai NasDem kah?,” saya membuka percakapan setelah beberapa saat kami duduk.

“Iya, reu. Saya mendaftar sebagai Bakal Calon Bupati Lembata,” jawabnya singkat sambil menawarkan rokok.

Lalu kami pun larut dalam obrolan yang hangat, terutama tentang perjuangannya untuk menolong banyak orang dan mimpinya untuk menjadikan Lembata sebagai kabupaten yang Hebat.

Baru Lolos Jadi Anggota DPRD Lembata, Mengapa Langsung Mau Menjadi Bupati?

Pertanyaan, bahkan boleh dikatakan protes yang paling sering saya temukan di media sosial tentang langkah John Batafor mendaftarkan diri sebagai Bakal Calon Bupati Lembata adalah, mengapa John tidak melaksanakan tugas sebagai DPRD terlebih dahulu, baru di periode berikutnya baru mencalonkan diri menjadi bupati? Pertanyaan itu pula yang saya ajukan kepadanya.

Sambil tersenyum John menjawab,” Reu, seandainya saya bisa meraih kursi pimpinan pada pileg kemarin, tentu saya bertahan di kursi DPRD Lembata dulu. Ternyata perkiraan saya meleset. Saya memang mendapat suara sangat signifikan, bahkan peraih suara terbamyak di dapil saya, namun NasDem belum bisa menduduki kursi pimpinan kali ini bahkan ketika itu saya berjuang buat teman-teman Nasdem di dapil lain yang bukan dapil saya, saya kerahkan tenaga dan apa yang saya miliki untuk mampu meraih Kursi Pimpinan DPRD namun kita hanya mampu menambah menjadi 3 kursi dari sebelumnya 2 Kursi. Nah, kebetulan sekali ada ruang yang terbuka melalui Pilkada. Karena itulah saya mengambil keputusan yang ini”.

John menjelaskan, orientasinya dalam berpolitik adalah memiliki kekuasaan yang besar untuk mengintervensi kebijakan yang bisa membuat rakyat Lembata sejahtera, bukan hanya sekadar menjadi anggota DPRD.

“Orientasi saya bukan hanya sekadar dapat gaji dan dapat makan. Saya ingin memastikan bahwa jabatan atau kekuasaan mesti membantu lebih banyak masyarakat. Itulah yang saya butuhkan,” ucapnya.

“Hampir tiap hari ada orang yang datang untuk meminta bantuan. Namun seringkali saya merasa sangat sedih karena dari sekian banyak orang yang datang saya mungkin hanya bisa membantu satu atau dua orang. Itupun tidak bisa memenuhi apa yang mereka butuhkan, sebab apa yang saya miliki, yang komunitas kami (Taman Daun, red) miliki juga sangat terbatas,” keluhnya.

Pengalaman yang ia sendiri alami di masa lalu, yakni kesulitan menjalani kehidupan karena kemiskinan mendera, serta perjumpaannya yang sangat sering dengan orang-orang hidupnya sulit, memantapkan langkah John untuk mencalonkan diri menjadi Bupati Lembata.

“Karena saya tahu dan paham betul, bahwa hanya dengan cara ini saya bisa menolong mereka yang hidupnya susah. Hanya dengan cara ini saya bisa mengentaskan kemiskinan, saya bisa menyediakan rumah yang layak bagi mereka yang tak punya tempat tinggal, saya bisa memberi beasiswa bagi anak-anak Lembata yang tidak mampu membayar uang sekolah,” tegasnya.

John mengisahkan bahwa melalui Komunitas Taman Daun, ia sudah berusaha sekuat tenaga untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang ia sebutkan di atas, namun hanya sedikit yang bisa merasakan sentuhan mereka.

Jika rakyat Lembata memberi kepercayaan kepadanya untuk memimpin Lembata, John sangat yakin bisa mewujudkan mimpi-mimpinya jauh lebih cepat.

Terima Kasih kepada Para Relawan Taman Daun, Terutama Para Tukang

Tentang aktivitas atau perjuangannya untuk menolong orang susah bersama Komunitas Taman Daun, John menuturkan bahwa hanya kekuatan gemohimg atau gotong-royonglah yang memampukan mereka untuk melakukan itu semua.

Ia mencontohkan, dalam perjuangan mereka untuk membangun rumah layak huni bagi orang yang sangat membutuhkan, peran para tukang sangat penting. Oleh karenanya, secara khusus ia ingin mengucapkan terima kasih kepada para tukang atas kerelaan dan dedikasi mereka dalam membantu sesama saudara di Lewo Tanah.

“Peran tukang sangat luar biasa, Reu. Maka saya ingin mengucapkan terima kasih kepada mereka karena telah berjuang bersama saya, bahkan turut membantu pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan. Mereka itu kebanyakan orang-orang yang sudah berkeluarga, namun mereka rela meninggalkan pekerjaan pokok mereka yang bisa menghasilkan uang untuk keluarganya hanya untuk membantu saudara-saudaranya yang lain. Selain keahlian yang mereka miliki, mereka datang dengan satu dua potong kayu sisa yang mereka punya, atau beberapa paku karat yang ada di rumah mereka, dan mereka telah menolong sekian banyak orang untuk bisa menghuni rumah yang jauh lebih layak dari sebelumnya. Yang mengagumkan adalah meski mereka menghabiskan banyak waktu untuk kerja sosial seperti ini, keluarga mereka baik-baik saja, bahkan keluarganya mendukung,” beber John.

Dari pengalaman-pengalaman yang dialaminya itulah John mengangkat tagline ‘The Power of Gemohing’ sebagai spirit dalam perjuangannya untuk menuju kursi Lembata 01.

John percaya pada kekuatan kebersamaan dan gotong-royong, karena di situ tersimpan kerelaan berbagi, ketulusan hati untuk memberi, dan kesediaan untuk berkorban bagi orang lain. Dengan kekuatan gemohing ini ia percaya bahwa Lembata bisa dibangun dengan hati yang bersih dan akan menjadi jauh lebih baik.

“Saya yakin karena kami telah melakukannya di Taman Daun. Dalam ketiadaan kami bisa menggerakan hati orang-orang untuk bisa berbagi, kami bisa bergerak untuk menyelesaikan persoalan-persoalan dasar yang dialami oleh saudara-saudara kami di Lewo Tanah, apalagi jika diberi mandat dan kekuasaan untuk menguntervensi kebijakan dan anggaran yang dimiliki kabupaten ini,” paparnya.

Lembata Butuh Pemimpin Alternatif

John mengakui bahwa masih ada (bahkan banyak) orang yang meragukan kapasitasnya untuk memimpin Lembata. Bahkan ada yang menganjurkan, baik dengan tulus maupun dengan nada sinis, agar ia belajar politik lebih banyak lagi serta banyak juga yang meragukan penampilan luarnya.

“Ada yang minta saya untuk belajar politik lebih banyak lagi. Mungkin mereka tidak menyadari bahwa selama ini saya telah melakukan aktivitas politik. Apa sih politik itu? Bagi saya politik adalah usaha untuk membuat masyarakat menjadi sejahtera. Politik adalah usaha untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dialami masyarakat dengan kekuasaan yang dimiliki. Saya telah telah berpolitik bahkan tanpa kekuasaan, namun dengan jangkauan yang sangat terbatas. Niat untuk maju pada Pilkada Lembata kali ini adalah untuk memperpanjang tangan saya, melebarkan jangkauan agar seluruh masyarakat bisa merasaka apa yang telah saya lakukan sebelumnya. Jika saya tidak mengerti politik, tentu saya tidak akan memenangkan pileg kemarin dengan suara yang sedemikian banyak,” urainya.

Tak jarang dari kalangan menengah, atas hingga politisi sering menyoroti penampilan John Batafor, mulai dari cara berpakaian hingga rambut. Bahkan, John sering ditertawakan saat berjalan kaki dalam melakukan rutinitasnya sehari-hari. Kerap kali pula ia berjalan tanpa alas kaki. Banyak yang merasa aneh ketika ia tidak menggunakan kendaraan.

“Kadang saya bertanya-tanya, ini salahnya dimana? Bukannya sehat? Mungkin orang-orang berpikir bahwa yang berjalan kaki adalah masyarakat kelas bawah yang tidak perlu diperhitungkan,” ucapnya.

Menurut John, untuk mengubah sebuah daerah yang dibutuhkan bukanlah penampilan fisiknya. Cara berpikir seperti ini, kata dia adalah pola pikir yang hanya memprioritaskan style output ketimbang hasil intern untuk daerah.

John mengemukakan, alasan lain yang mendorong dia untuk maju adalah, kenyataan bahwa sekian lama Lembata telah dipimpin oleh orang-orang yang dianggap memiliki pengalaman, punya pendidikan luar biasa, sudah cukup umur, dan memenuhi kriteria-kriteria lain yang lazimnya menjadi ukuran sebagai seorang politisi.

“Tapi hasilnya? apa yang kita rasakan saat ini? Sudah 23 tahun kita otonomi tapi Lembata begini-begini saja bahkan masuk kategori daerah miskin dan tertinggal di Indonesia termasuk SDM dan PolaPikir yang tertinggal. Coba baca data BPS, bagaimana angka kemiskinan, bagaimana angka putus sekolah, bagaimana angka pengangguran? Coba cek PAD Lembata berapa prosentase peningkatan dari tahun ke tahun? Hingga saat ini ketergantungan kita terhadap APBN sangat tinggi. Kita hanya berharap pemerintah pusat beri kita anggaran, tapi tidak ada kreatifitas untuk meningkatkan PAD, masa dari periode ke periode kita hanya mendambakan pemimlin yang seperti itu? Lembata butuh pemimpin alternatif, Reu. Lembata butuh pemimpin yang memiliki cara berpikir out of the box. Yang sekolah tinggi sudah, yang politisi senior sudah Sekarang saatnya kita. Oleh karena itu kita harus berjuang meraih kesempatan ini, dan menunjukkan bahwa apa yang kita yakini dan kita perjuangkan ini bukan omong besar atau omong kosong belaka,” terangnya.

John menyebut, dirinya bahkan pernah mendapat apresiasi atau penghargaan sebagai figur inspiratif baik secara nasional maupun se-Asia Tenggara, namun hal itu sama sekali tidak membawa arti baginya.

“Bagi saya itu tak berarti sama sekali, itu hanyalah seremonial belaka. Yang berarti bagi saya adalah ketika melihat mereka yang susah itu tersenyum, mereka bisa keluar dari himpitan kesulitan hidup yang mereka alami. Miris, Reu. Kadangkala hidup kita banyak dipenuhi dengan sesuatu yang seremonial, dan menghabiskan banyak anggaran untuk itu, sedangkan masyarakat kita yang harusnya dibantu agar bisa keluar dari kemiskinan, tetap saja seperti itu,” keluhnya.

Di atas semua itu, John Batafor menyadari bahwa keputusan terakhir ada pada masyarakat sendiri yang akan memilih di TPS-TPS pada Pilkada serentak November nanti.

“Tugas saya adalah berikhtiar untuk meneruskan perjuangan yang saya mulai ini, selanjutnya biarkan masyarakat, juga alam semesta yang menentukannya,” tandasnya.*

Penulis: Martin YK Radha

Pos terkait