ENDE – Penyandang disabilitas merupakan orang-orang yang memiliki keterbatasan fisik maupun mental sehingga mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan lingkungan secara efektif.
Sebutan lain untuk para penyandang disabilitas ialah difabel. Difabel merupakan singkatan dari bahasa Inggris different ability people atau diferently abled people, yaitu orang-orang yang dikatagorikan memiliki kemampuan berbeda dengan manusia pada umumnya.
Dua sebutan itu (disabilitas dan difabel) digunakan untuk menghapus stigma buruk bagi mereka yang lahir tidak seperti anak-anak pada umumnya. Selain itu, harus diakui bahwa mereka yang terlahir berbeda itu juga memiliki kemampuan yang bahkan tidak dimiliki oleh orang-orang normal pada umumnya.
Meski demikian, tidak bisa dipungkiri juga bahwa kehadiran para penyandang disabilitas ini masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Mereka dianggap sebagai kaum yang lemah dan tidak berdaya. Sehingga hak-hak mereka sebagai manusia masih seringkali diabaikan.
Salah satunya adalah hak untuk memperoleh pendidikan. Hal ini tentunya bertolak belakang dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas yang secara keseluruhannya menjelaskan tentang kesamaan hak dan kesempatan bagi penyandang disabilitas menuju kehidupan yang sejahtera, mandiri dan tanpa diskriminasi.
Maria Yolita Naga merupakan salah satu penyandang disabilitas yang memiliki kelainan fisik pada pinggul. Bagian tubuh Loli (sapaannya) dari pinggang hingga ke ujung kaki sama sekali tidak berfungsi layaknya anak seumurannya. Bocah yang kini berusia 7 (tujuh) tahun ini seakan tak memiliki tulang pinggul sebagai penopang kaki sehingga menyebabkan ia lumpuh total sejak lahir. Ketika hendak melakukan sesuatu biasanya Loli berjalan dengan cara ngesot atau menggunakan pantat yang dibantu oleh tangannya.
Loli yang kini memilih tinggal bersama neneknya, Yohana Tanda, di Desa Sanggarhorho, Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende ini dalam kesehariannya banyak menaruh harapan pada bantuan sang nenek. Ayah Loli telah berpulang pasca kecelakaan maut yang terjadi di Jalan Jurusan Ende Bajawa, tepatnya di Kampung Basa Desa Raporendu pada bulan September lalu. Sedangkan Ibu Loli tinggal di Desa Jemburea bersama sang adik.
Keterbatasan fisik ini terkadang membuat Loli sedih sehingga ungkapan kekecewaan selalu ia lontarkan kepada sang ibu dan kakinya. Ibu yang dianggapnya salah telah melahirkannya dan kakinya yang sama sekali tidak mau melangkah tersebut.
Dilahirkan di tengah keluarga yang serba kekurangan membuat Loli sama sekali tidak merasakan indahnya duduk di bangku pendidikan layaknya anak-anak seumurannya.
“Kadang saya marah dengan mama yang sudah lahirkan saya dalam keadaan begini, saya sangat berkecil hati kalau lihat saya punya teman-teman bisa main bola, bisa lari-lari. Apalagi kalau di sekolah pasti mereka senang sekali karena banyak teman,” curhat Loli saat ditemui pada Senin 3 Januari 2022 di kediaman neneknya.
Loli mengaku ingin sekali berkumpul bersama teman-temannya di sekolah. Apalagi anak-anak seumurannya yang kini sudah duduk di kelas II SD. Namun, dengan kekurangan fasilitas mengurungkan niat Loli untuk bersekolah.
“Saya rindu sekali mau belajar dan nyanyi dengan teman-teman di sekolah, tapi mau bagaimana lagi saya saja tidak bisa jalan. Saya juga tidak mungkin mau paksa nenek untuk antar saya karena kondisinya nenek juga sering sakit-sakitan,” lanjut Loli dengan wajah sedih.
Walau kadang-kadang mengeluh dengan keadaannya, Loli tetaplah seorang anak yang suka bersenda gurau. Di tengah senda guraunya, bocah ini mengungkapkan cita-citanya yang ingin menjadi suster dengan tujuan ia bisa melayani sesama yang sedang membutuhkan bantuan.
“Saya punya cita-cita mau jadi suster supaya saya bisa bantu orang-orang yang susah seperti saya. Tapi sama saja saya belum bisa mandiri mau jalan saja harus gendong bagaimana mau bantu orang lain. Kami orang miskin apalagi bapak juga sudah tidak ada pasti susah sekali mau beli alat bantu untuk saya ke sekolah,” tutur Loli sambil memukul dahinya pertanda kemustahilan bagi dirinya.
Berdasarkan cerita sang nenek, Loli tergolong anak yang ceria dan ingatannya sangat kuat. Sehingga segala sesuatu yang dijanjikan pasti ditagih dikemudian hari.
Ketika ditanya lebih lanjut, nenek Loli mengaku bahwa sudah 7 tahun ini sama sekali belum ada kunjungan maupun bantuan langsung dari pihak pemerintahan entah itu Dinas Sosial kabupaten dan sebagainya. Hanya saja pada saat Covid-19 melanda, Loli sempat mendapat bantuan berupa uang (BLT bagi orang cacat), namun setelah ayahnya meninggal pada 3 (tiga) bulan terakhir ini bantuan itu menghilang.
“Pas korona kemarin, Loli sempat dapat bantuan berupa uang tapi setelah tiga bulan terakhir ini bersamaan dengan Loli punya bapa meninggal bantuan itu sudah tidak ada lagi, kami yang tidak tau apa-apa ini hanya tunggu saja,” ungkap nenek Loli.
Yohana Tanda (nenek Loli) mengharapkan adanya uluran tangan dari pihak pemerintah untuk cucunya. Agar kelak cucunya bisa melakukan segala sesuatu dengan mandiri sehingga rasa kecil hati dalam dirinya pelan-pelan bisa hilang.
“Saya mohon bantuan dari pemerintah untuk memudahkan Loli punya aktivitas, salah satunya dia bisa ke sekolah. Karena setiap hari dia selalu mengeluh di saya untuk sekolah, apalagi kalau dia lihat anak-anak sekolah lewat depan rumah,” pinta sang nenek. (Denti S)