KUPANG –Sineas muda Rahabi Mandra mengakui bahwa anak-anak muda atau kaum milenial NTT punya potensi besar untuk memperkenalkan NTT kepada dunia melalui dunia perfilman.
Pengakuan itu disampaikan oleh Rahabi usai penutupan kegiatan Workshop Penulisan Naskah Film di UPTD Taman Budaya NTT, Sabtu (16/10/2021).
“Teman-teman di sini sangat kreatif dan punya perhatian yang mendalam terhadap budaya NTT, termasuk di dalamnya budaya tradisional, termasuk budaya modern juga. Namanya juga fiksi, ya, fiksi itu mencari kebenaran di dalam “kebohongan”, dan mereka bisa deliver itu,” tuturnya.
Direktur Kreatif Temata Studios itu juga mengingatkan bahwa industri perfilman butuh kerja keras, ketekunan, konsistensi, dan disiplin.
“Industri ini butuh ketekunan, konsistensi, dan ketepatan waktu. Memang masih banyak daerah, termasuk di Kupang ini yang saya temukan masih agak kurang, harus ditambah. Karena untuk menjadi sukses itu bukanya kejeniusan, bukannya kepintaran, tapi ketekunan. Ketekunan, saya pikir mental ini yang harus dibangun jika ingin sukses di industri ini,” paparnya.
Sutradara muda yang sukses ini juga menjelaskan bahwa untuk saat ini, perfilman sudah menjadi aset utama yang harus dipertimbangkan, terutama di daerah-daerah yang punya potensi besar di bidang pariwisata.
“Saya pikir perfilman saat ini sudah menjadi aset utama ya, terutama di daerah–daerah seperti NTT, yang punya keindahan, yang punya daya turisnya tinggi, tapi kok gak terkenal ya. Sebenarnya media utamanya itu media film, media konten. Itu harus menjadi perhatian utama,” tegasnya.
Ia mengatakan bahwa sudah bukan masanya lagi melulu membahas hasil bumi sebagai sumber daya. Industri kreatif harus lebih didorong untuk menjadikan NTT lebih maju dan bersaing.
“(Workshop, red) ini adalah start yang bagus banget buat NTT, dan ini harusnya secara kontinyu kita fokus ke sini. Dari segala stakeholder, Pemda, Pemprov, sudah harus fokus terhadap pengembangan sumber daya manusia, terutama di perfilman,” imbuhnya.
Ia mencontohkan negara Korea yang sangat fokus pada dunia audio-visualnya sehingga berhasil mempromosikan negaranya ke berbagai belahan dunia.
“Saya sendiri sangat mengenal kota-kota di Korea, meskipun belum pernah ke sana. Itu karena asupan tontonan. Itu yang saya pikir, kita nggak apa-apa menyerap, tapi kita juga harus memberikan aliran yang deras keluar. Kita harus memperkenalkan NTT dengan cara apapun, termasuk di dalamnya dengan cara kreatif, terutam di dunia audio-visual,” tandasnya.
Senada, Toni Trimarsanto, narasumber yang memberikan materi pada kelompok dokumenter, menegaskan bahwa para pegiat film dokumenter di NTT, khususnya di Kota Kupang, sebetulnya sudah memiliki pengetahuan yang cukup tentang perfilman, bahkan memiliki jejaring yang baik, entah ke Yogyakarta maupun ke Jakarta.
“Sebetulnya potensi teman-teman kita di daerah cukup beragam. Kemampuan memproduksi karya itu sudah ada. Saya melacak sejarah berjejaring teman-teman itu cukup jauh. Ada yang punya teman-teman di Jogja, ada yang di Jakarta. Paling tidak pengetahuan dan keterampilan mereka di atas standar-lah. Cuma, yang dibutuhkan adalah kemampuan untuk menciptakan ruang publik yang lebih luas, bahwa di Kupang itu ada potensi-potensi yang bisa dikembangkan lebih lanjut,” jelasnya.
Toni juga mengungkapkan bahwa ia sudah berbicara dengan para peserta untuk melakukan sharing informasi juga sharing project dengan para pegiat film di Kupang. Kata dia, sebetulnya di jaman serba digital seperti sekarang ini kita bisa melakukan banyak hal dengan biaya yang relatif murah. Kita bisa saling belajar dan saling berbagi ilmu secara daring, dan itu tidak membutuhkan biaya yang mahal.
Sutradara yang telah memproduksi banyak film dokumenter bertemakan pesona budaya NTT ini juga menyampaikan bahwa untuk memproduksi film, terutama dokumenter, tidak membutuhkan biaya yang sangat besar. Tentu saja dibutuhkan kreativitas untuk mengelola potensi (sumber daya manusia, red) sehingga bisa menghasilkan produksi-produksi film yang berkualitas.
Ia menambahkan, jika kita bisa lebih kreatif dalam mengelola biaya produksi dari usaha kita sendiri, tanpa selalu mengharapkan bantuan, maka hal itu akan lebih bisa bertahan dalam jangka yang lebih panjang, ketimbang, jika produksi-produksi film yang akan kita buat menanti ada bantuan dari pihak lain, misalnya dari bantuan pemerintah.
Ditanya soal harapannya kepada para pegiat film di NTT, Toni mengungkapkan bahwa dirinya ingin agar komunitas-komunitas film yang ada di NTT bisa menggali potensi-potensi kekayaan budaya NTT untuk diperkenalkan kepada dunia melalui film (dokumenter).
“NTT ini punya banyak sekali kekayaan; pesona alamnya, pesona budaya, dan lain-lain, yang bahkan takkan pernah bisa habis dieksplorasi melalui film, baik dokumenter maupun fiksi. Tinggal saja teman-teman di sini menggali dan memperkenalkannya kepada dunia, sehingga orang-orang bisa tertarik dan datang ke sini untuk melihatnya secara langsung,” ucapnya.
Kesan Peserta
Ete Umbu Tara, salah satu peserta yang masuk dalam kelompok dokumenter dalam workshop ini, mengaku senang karena bisa mengikuti kegiatan workshop ini.
“Materinya bagus, karena narasumbernya sudah berpengalaman. Apalagi dikasih contoh dari hasil pengalaman, hasil kerja. Tadi juga habis presentasi karya sempat diskusi dan diberi masukan. Kebetulan basic saya juga dokumenter, saya fotografer dokumenter, tadi diberikan banyak masukan sehingga makin menambah wawasan,” kisahnya.
Ete juga merasa bersyukur karena dengan kegiatan ini dirinya bisa menambah relasi baru atau jaringan baru lagi sehingga bisa menjalin komunikasi yang baik dengan pembicara untuk tindak lanjut di masa mendatang.
Selain itu, Ete juga berharap agar ke depan, jika boleh, diatur supaya workshop seperti ini harus dibuat klasifikasi atau kategori sehingga untuk mereka yang sudah menguasai basic atau dasar-dasar dunia perfilman ataupun fotografi bisa menambah kualitas ilmu dan wawasannya.
“Teman-teman di dokumenter itu sebenarnya menginginkan, kalau boleh, ada workshop yang lebih spesifik, entah itu fotografi ataupun videografi, sehingga akan ada banyak hal yang bisa kita gali dan kita diskusikan. Misalnya tadi, kita juga diskusikan tentang hak-hak fotografer, videografer, terkait hak cipta, membangun komunikasi dengan klien ketika mendapatkan sebuah project, dan lain-lain,” ungkapnya.
Ete menambahkan, di NTT ini ada banyak juga teman-teman yang memang menggantungkan hidupnya dari dunia fotografi dan videografi, sehingga jika ada kesempatan untuk memperdalam ilmu dan wawasan seperti saat ini, akan menjadi hal yang baik sekali. Oleh karena itu ia berharap pemerintah atau pihak-pihak yang mempunyai otoritas untuk mengembangkan dunia fotografi dan videografi atau perfilman di NTT bisa lebih serius memperhatikan hal ini.
“Jika kita ingin mempromosikan pesona NTT ke dunia luar, banyak pihak harus bekerja sama dan saling membantu,” imbuhnya.
Manfaatkan Ilmu yang Diperoleh Sebaik Mungkin
Kepala UPTD Taman Budaya, Drs. Kurniawan Sofyan, pada acara penutupan tersebut juga mengungkapkan kebanggaannya atas antusiasme peserta. Apalagi peserta yang hadir kebanyakan kaum milenial yang tergabung dalam komunitas-komunitas perfilman di NTT terutama yang ada di Kota Kupang.
Ia mengatakan bahwa pada tahun 2022 nanti UPTD Taman Budaya akan mengadakan lomba penulisan dan pementasan film dokumenter maupun fiksi yang bertemakan pesona budaya NTT.
Sofyan berjanji, dirinya akan berupaya untuk berbicara dengan pimpinannya, juga dengan DPRD NTT, agar lomba dimaksud akan menjadi even tahunan.
Oleh karena itu Sofyan berpesan agar para peserta sungguh-sungguh mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh selama workshop ini untuk terus menggali potensi-potensi budaya yang ada di NTT untuk diangkat menjadi sebuah film, baik dokumenter maupun fiksi. (JR)