Cerpen – Nusalontar.com
“Kenapa kau dustai perasaanku?” Selina berbisik sendu di telingaku.
***
Senja di batas kota. Di pesisir sebelah barat kota, tepat di tepi pantai dengan pecahan ombak liar. Karang dan ombak adalah saksi luruhnya tatapan Selina yang sayu. Nampak jelas gurat kepedihan di wajahnya. Lelah dan redup. Binar indah yang selama ini menghuni dua kelopak mata bening itu menghilang entah kemana.
Hening.
Riuh ombak terasa senyap di hati yang dibalut perih. Senja berlalu. Seolah malam menjemputnya terlampau segera. Bintang menampakan diri satu-satu. Cahayanya tampak redup. Gelap sempurna membalut pilu.
“Maafkan aku”, suaraku bergetar parau.
Hening lagi.
Rasanya tak sanggup mengutarakan sesuatu pada situasi secanggung ini.
Namun semuanya harus dijelaskan. Biar klir. Agar tak ada lagi pertanyaan – pertanyaan tak terjawab, tiada lagi kebingungan – kebingungan tanpa penjelasan.
“Selina…”
Suaraku seakan tertahan di tenggorokan. Tak sanggup melesat keluar. Tertata dan penuh tekanan sebagaimana biasanya.
“Bukan maksudku menciptakan luka di hatimu, aku hanya tak punya nyali untuk berkata jujur sejak awal, ketika hatiku mulai memuja pribadimu” kataku terbata. Nyaris tak terdengar.
Itu adalah kalimat terakhir yang kubisikan di telinga Selina.
*****
Selina adalah gadis yang ceria. Dia mahasiswi paling manis di kelas kami. Selain manis Selina juga cerdas dan murah hati. Selina juga populer di kampus karena aktif dalam aneka kegiatan kampus.
Kedekatan kami terjadi tanpa sengaja. Sebagai mahasiswa yang kurang populer tentu saja aku bukan tipenya Selina. Baik sebagai teman, apalagi menjadi pacar. Setidaknya itu yang ada dalam benakku.
Tapi sebuah tugas kelompok yang diberikan dosen psikologi merubah segalanya. Aku dan Selina berada dalam kelompok yang sama. Sebagai anak yang cerdas, tentu saja Selina mendominasi diskusi. Argumentasinya susah dibantah. Segalanya menjadi masuk akal ketika Selina bicara.
Hingga moment itu datang. Secara tidak sengaja Selina membaca puisi yang ada di buku catatanku yang dia pinjam untuk menulis hasil diskusi.
Ketika diskusi usai Selina mengembalikan buku catatanku sembari berkata, “Eh, kamu menulis puisi itu untuk siapa?”
“Buat pacarmu yah?”
“Anak mana?”
“Kuliah di sini juga?”
“Atau sekelas dengan kuta?”
Selina memberondongku dengan pertanyaan, seakan tak ingin memberiku kesempatan untuk menjawab.
Rupanya Selina sempat membaca puisi yang kutulis di halaman paling belakang dari buku catatanku.
“Bukan untuk siapa-siapa”, jawabku datar.
“Kamu suka nulis puisi yah?”
“Iya”.
Mulai saat itu kurasa Selina sering memperhatikanku. Entah apa yang ada di benaknya. Setiap kali ada tugas kelompok Selina berusaha agar kami berada dalam kelompok yang sama.
Jauh dalam lubuk hatiku sebetulnya tumbuh rasa senang. Rasa yang menyelinap begitu saja. Namun aku berusaha mengubur rasa itu dalam-dalam karena aku tahu diri. Siapa Selina dan siapa aku. Tidak mungkin Selina menyukaiku. Selain itu aku juga tahu bahwa kami tak akan bisa bersama.
Hari berganti. Tanpa disadari aku dan Selina makin dekat. Usai diskusi kelompok kami jadi terbiasa menghabiskan waktu untuk diskusi berdua tentang apa saja di kantin yang ada di pojok kampus.
Kami memang tak pernah saling mengungkapkan rasa, tapi hubungan kami terbilang istimewa. Apa yang terjadi di antara kami layaknya orang yang tengah kasmaran.
Kami sering menghabiskan waktu bersama baik di kampus maupun di luar kampus. Sering jalan, juga sering pergi makan berdua.
*** ***
Aku ingat hari itu. Sabtu siang seusai kelas mata kuliah Sejarah kami berdua menuju tempat biasa, kantin di pojok kampus. Selina memesan teh manis dan saya memesan kopi hitam dengan gula sedikit. “Nanti sore kita jalan-jalan ya, ada yang ingin kubicarakan,” ajaknya dengan mata berbinar.
“Siap ibu negara,” kataku dengan nada bercanda, membuat tawa Selina pecah. Renyah. Tawa Selina selalu bikin hati bahagia. Dan pesonanya itu, ah!
Pukul 05.00 sore kujemput Selina di rumahnya. Dengan motor tua pinjaman kubawa Selina menuju pantai di sebelah barat kota.
*****
Namanya Devi. Cantik, putih, dan punya senyuman sangat menawan. Ada lesung pipitnya juga. Sangat menarik.
Aku dan Devi teman sekampung. Sejak SD hingga SMA kami selalu satu sekolah, bahkan selalu berada di kelas yang sama. Kami berpisah ketika Devi memilih untuk kuliah di kota lain.
Semalam Devi telpon. Katanya dua hari lagi dia pulang untuk berlibur.
****
Di tepi pantai sebelah barat saat matahari hampir tenggelam. Sembari memelukku dari belakang Selina berbisik mesra, tepat di telingaku.
“Aku menyukaimu”, katanya lembut.
Kurasakan hempasan ombak di bibir pantai kian ganas. Riuh dan dan menggemuruh. Seakan dengan sempurna menggambarkan situasi hatiku yang tengah bergejolak.
“Kenapa diam. Kamu marah?” Tanya Selina lirih.
Kubalikan badanku perlahan. Kutatap matanya. Ah, tatapan mata indah itu benar-benar membuatku ragu dan bingung. Kesedihan merambah ke seluruh hatiku.
Aku menarik nafas dalam-dalam. Berusaha mengumpulkan segenap kekuatan.
Akhirnya dengan sisa-sisa keberanian yang ada, kalimat itu keluar juga dari mulutku.
“Selina…maafkana aku. Aku….”
“Siapa namanya?” tanya Selina memotong pembicaraanku, hampir tanpa suara.
“Devi,” jawabku lirih.**
(Joe Rhada)