Oleh: Engelbertha Noviani Bria Seran
(Dosen Prodi Teknik Sipil Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang)
OPINI – Pembangunan infrastruktur di Indonesia umumnya dan Nusa Tenggara Timur (NTT) khususnya tampak masif dilakukan sejak era presiden Joko Widodo. Selain melalui pembangunan bendungan raksasa yang tersebar di NTT oleh pemerintah pusat, infrastruktur berskala kecil juga dibangun di desa-desa menggunakan dana desa.
Salah satu tujuan utama pemerintah pusat menggelontorkan dana desa adalah untuk mengatasi ketimpangan pembangunan antara kota dan desa. Dana dianggap sebagai salah satu leitmotif yang menentukan arah pembangunan di desa yang tertinggal. Dana desa juga diberikan untuk membentuk peluang usaha dan kesempatan kerja yang baru di tiap desa. Hal ini kemudian berdampak pada terserapnya pasar kerja di desa, dan dengan demikian, menangkal masifnya mobilitas warga desa ke kota.
Pada akhirnya, dana desa dapat membantu pembangunan infrastruktur di desa, entah gedung, jalan, maupun selokan. Desa tidak bisa otonom untuk membangun infrastruktur. Karena itu, ketergantungan desa terhadap kebijakan dan alokasi dana dari pemerintah pusat sangat diperlukan untuk memajukan desa.
Meski demikian, selama menjalankan praktik kuliah kerja nyama tematik (KKN-T) Universitas Katolik Widya Mandira di sejumlah tempat di NTT pada Agustus 2022 dan Februari 2023 lalu, kami menemukan bahwa terdapat disparitas dalam pembangunan infrastruktur pada tiap desa. Tulisan ini berusaha untuk menampilkan disparitas pembangunan di desa yang membutuhkan kontrol publik.
Disparitas Pembangunan Infrastruktur
Data menunjukkan bahwa dana desa nasional pada tahun 2015 hingga 2018 terus mengalami kenaikan yang sangat signifikan. Pada tahun 2015, misalnya, sebesar 3,23% dari seluruh dana perimbangan, atau total dana mencapai 20,77 triliun. Selanjutnya, pada tahun 2016, total dana yang dikucurkan pemerintah pusat naik menjadi 6,5% atau 46,98%. Dan, pada tahun 2017 serta 2018, dana yang digelontorkan oleh pemerintah pusat semakin besar mencapai 60 triliunan rupiah (kemenkeu.go.id).
Idealnya, alokasi dana sebesar itu mesti menjadikan desa sebagai pusat industri baru dan pusat aktivitas ekonomi yang lebih inklusif dan adil bagi semua masyarakat desa. Pembangunan infrastruktur di desa idealnya membuka lapangan kerja baru, menyerap tenaga kerja, dan menjadikan desa sebagai locus perputaran modal di desa. Tapi dalam praksisnya, potret buram dan miris yang menghiasi wajah desa-desa di NTT.
Infrastruktur di desa dibangun melibatkan banyak aktor yang memiliki kepentingan yang sama terhadap proses pembangunan. Bila semua pemangku kepentingan (stakeholder) dilibatkan dan melibatkan diri dalam seluruh mekanisme pembangunan infrastruktur, maka dapat dipastikan bahwa infrastruktur desa dibangun dengan sangat baik, berkualitas, dan memuaskan bagi semua anggota masyarakat sebagai pengguna infrastruktur.
Tapi fakta di lapangan menunjukkan bahwa terdapat banyak sekali proyek bermasalah, mangkrak, dan tidak tepat sasar. Hal ini terjadi karena mekanisme pembangunan cenderung bersifat teknokratik. Artinya, model pembangunan diserahkan kepada para ahli yang memiliki relasi kuasa ekonomi politik dengan pemerintah desa, sembari meminggirkan peran warga sebagai subyek pembangunan.
Proyek pembangunan infrastruktur di desa tidak seluruhnya untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak bagi warga. Sebab, ditemukan bahwa sebagian proyek infrastruktur yang dibangun cenderung bertujuan untuk menghabiskan dan menyerap dana desa. Setelah bangunan didirikan, ia menjadi mubazir karena tidak digunakan sebagaimana didesain sejak awal mula.
Posisi warga tidak cukup dilibatkan dan melibatkan diri dalam seluruh proses pembangunan. Jika warga dilibatkan, yang terjadi justru sekedar memenuhi aspek formalitas bahwa salah satu tahap pelibatan publik telah dilewati. Substansi keterlibatan warga dalam diskursus pembangunan, khususnya infrastruktur, tidak dikelola secara baik dengan pendekatan yang komprehensif. Karena itu, tidak mengherankan jika pembangunan di desa cenderung bersifat teknokratik yang tidak seluruhnya diinginkan dan dibutuhkan oleh warga.
Terbatasnya akses warga dalam memahami penggunaan anggaran pembangunan infrastruktur menyebabkan mereka tidak bisa aktif memantau proses pembangunan infrastruktur. Kualitas infrastruktur tergerus, dan karena itu, patut dipertanyakan tatkala tidak lama berselang, bangunan infrastruktur mengalami kerusakan yang secara ilmiah belum saatnya memasuki masa kerusakan.
Tanggung jawab besar diserahkan kepada teknokrat, sambil melaporkan progres kepada pimpinan di desa. Etika publik yang semakin keropos pada para pejabat publik, termasuk kepala desa, memberi kesempatan bagi terciptanya ‘ruang abu-abu’, ruang antara yang gelap, tempat dimana pertukaran kepentingan terjadi.
Kontrol Publik
Berpijak pada masifnya problem pembangunan infrastruktur yang teknokratik-elitis, maka diperlukan sebuah desain pendekatan baru yang partisipatif. Masyarakat sebagai subyek pembangunan yang menjadi sasaran utama dari alokasi dana desa oleh pemerintah pusat mesti diberikan ruang yang lebih bebas dan terbuka. Bila dalam pendekatan teknokratik, mereka dipinggirkan, maka dalam pendekatan baru, mereka mesti menjadi bagian dari pembangunan infrastruktur.
Kontrol publik oleh masyarakat memungkinkan ‘ruang abu-abu’ dan ‘ruang antara’, tempat berlangsungnya kesepakatan dan pertukaran kepentingan pribadi bisa diminimalisir. Kontrol publik terhadap seluruh proses pembangunan infrastruktur di desa sangat dirindukan. Masyarakat mengetahui total anggaran dana desa, memantau pemanfaatan alokasi dana desa, dan mengontrol secara kritis pengelolaan dana desa, termasuk di dalamnya pembangunan infrastruktur.
Kontrol publik terhadap pembangunan infrastruktur di desa membuat infrastruktur dapat dikerjakan secara baik, berkualitas, dan memuaskan semua pihak. Peluang kontraktor proyek untuk mengambil sesuatu yang bukan hak-nya diminimalisir bila pejabat desa tidak mengintervensi ‘politik balas jasa’ kepada kontraktor. Dan lebih dari itu, kontrol publik terhadap seluruh dinamika pembangunan infrastruktur, tentu saja, menjadikan pembangunan di desa tampak lebih adil.
Dengan demikian, alokasi dana desa yang sangat besar dari pemerintah pusat sungguh digunakan untuk pembangunan yang dibutuhkan oleh seluruh warga desa, dan bukan sekedar untuk menghabiskan dana desa, apalagi untuk memenuhi kepentingan kepala desa bersama jejaring ekonomi politik di desa dan supra desa.*