JAKARTA – Sebagaimana kita ketahui, Pemerintah telah mencabut larangan mudik selama musim liburan Idul Fitri pada awal Mei 2022.
Berdasarkan survei Badan Litbang Kementerian Perhubungan, diprediksi orang bepergian menggunakan transportasi laut sebesar 1,4 juta penumpang atau naik sebanyak 234 persen dari tahun 2021.
Untuk mengantisipasi lonjakan peningkatan penumpang tersebut, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut telah menyiapkan armada kapal laut sebanyak 1.186 unit dengan kapasitas 2,46 juta orang penumpang.
Prediksi peningkatan penumpang kapal laut di tengah pelonggaran mudik ini mendapat tanggapan dari Pengamat Maritim yang juga Pendiri Perkumpulan Ahli Keselamatan dan Keamanan Maritim Indonesia (AKKMI) Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, M.Mar.
“Saya berharap soal keamanan dan keselamatan kapal untuk penumpang agar sungguh-sungguh menjadi prioritas serta harus dipastikan kapal laik laut. Jangan sampai suasana gembira dalam rangka menyambut hari Raya Idul Fitri berubah menjadi duka,” kata Capt. Hakeng kepada media Jumat (29/4/2022).
Dia meminta kepada Kementerian Perhubungan dan seluruh pemilik kapal (operator) untuk memastikan bahwa seluruh kapal dalam keadaan laik laut.”Pastikan seluruh kapal dalam kondisi baik dan laksanakan uji kelaiklautan kapal pada kesempatan pertama,” tegasnya.
Lebih lanjut Capt. Hakeng juga mencermati beredarnya video pernyataan dari salah satu petinggi di Kementerian Perhubungan terkait penambahan jumlah penumpang atau muatan yang diberi kelonggaran untuk dapat dimuat di kapal sebesar 30 hingga 75 persen ketika terjadi lonjakan. Begitu juga terkait tentang penerbitan Surat Persetujuan Berlayar (SPB) dari Syahbandar yang akan melibatkan pihak kepolisian.
Menurut Capt. Hakeng penambahan jumlah muatan ke kapal harus sangat diperhitungkan serta harus sesuai aturan. Mengingat kapasitas muatan berlebih atau over draft akan sangat berpengaruh terhadap keselamatan pelayaran di perairan.
“Patut diingat, mengenai syarat serta terpenuhinya persyaratan keselamatan dan keamanan yang menyangkut angkutan di perairan, pelabuhan dan lingkungan maritim. Saya mengingatkan kita semua jangan permisif terhadap prilaku tidak safety, membiarkan penambahan kapasitas 30 sd 75 persen dari maksimal daya tampung jelas tindakan yang sangat berbahaya bagi keselamatan kapal dan penumpangnya,” tegasnya.
Sedangkan mengenai penerbitan SPB (Port Clearance) menurut Capt. Hakeng sepenuhnya merupakan proses pengawasan yang dilaksanakan oleh Syahbandar kepada kapal yang akan berlayar untuk memastikan bahwa kapal, awak kapal, beserta muatan telah memenuhi syarat administratif persyaratan keselamatan dan keamanan pelayaran dan perlindungan lingkungan maritim.
Karena itu, dia terkejut dengan adanya permintaan untuk melibatkan pihak kepolisian guna penerbitan SPB . Padahal Syahbandar merupakan pejabat pemerintah di pelabuhan yang ditunjuk oleh Menteri. Syahbandar memiliki kewenangan tertinggi untuk melaksanakan serta menjalankan pengawasan terhadap dipenuhinya ketentuan terutama menyangkut penjaminan keselamatan dan keamanan pelayaran.
Menurut Capt. Hakeng, bahwa Penerbitan SPB tidak ada kewajiban harus melapor ke Polri. Dalam penerbitan SPB, tidak ada kaitannya dengan Nota Kesepahaman antara Kemenhub RI dengan Polri No HK 202/13/DJPL/2020, no NK/21/2020 tentang Pelaksanaan Penegakan Hukum di Bidang Pelayaran.
Dalam proses penerbitan SPB, Syahbandar agar tetap berpedoman kepada Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM.82 tahun 2014 tentang Tata Cara Penerbitan SPB, yakni Adanya Master Sailing; Dokumen kapal, dokumen crew, muatan dan penumpang; Adanya Crew List; dan melampirkan Pelunasan Pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Jika semua perihal tersebut diatas telah terpenuhi, maka Surat Persetujuan Berlayar (SPB), dapat diproses lebih lanjut untuk diterbitkan.”
Jadi, menurutnya, soal pernyataan SPB harus ada approval bersama dengan pihak kepolisian dirasakan tidak tepat.
“Statement soal SPB harus dapat rekomendasi dari kepolisian, mohon maaf tidak menggambarkan pengetahuan tentang apa yang membuat SPB bisa diterbitkan dan apa yang membuat tidak bisa diterbitkan,” kata Capt. Hakeng.
Ada hal-hal yang terpenting berkaitan dengan syahbandar yakni menyangkut jaminan keselamatan dan keamanan pelayaran.
“Karena itu syahbandar boleh tidak menerbitkan SPB, bila menyangkut daftar muat kapal yang terlalu berlebihan (over draft). Kemudian ada dokumen kapalnya tidak layak laut, sehingga dianggap tidak menjamin keamanan dan keselamatan di perairan. Bahkan Syahbandar juga memiliki otoritas, yakni bisa tidak akan menerbitkan SPB, jika cuaca tidak menjamin untuk keamanan keselamatan kapal,” jelas Capt. Hakeng.
Ia menyambung, ada pendapat yang menarik disampaikan oleh Ketua Bidang Organisasi dan Keanggotaan INSA, Capt. Zaenal A. Hasibuan dalam tulisannya yang berjudul “Pelemahan Posisi Syahbandar” yang dimuat di media emaritim.com pada 10 Agustus 2008 yang dengan situasi yang berkembang terakhir mendapatkan pembenarannya.
Disebutkan dalam tulisan tersebut “Kegagalan pemerintah dalam pemenuhan SDM yang mumpuni untuk posisi syahbandar, pada akhirnya mengaburkan makna syahbandar sampai pada titik nadir keilmuan. Dan seperti yang kita lihat belakangan ini, saat terjadi kecelakaan kapal maka bukannya syahbandar, tapi polisi dan KNKT yang masuk. Bahkan untuk menerbitkan SPB pun syahbandar harus meminta approval pihak kepolisian.”
Dan masih mengutip pendapat Zaenal Hasibuan, “Didalam Undang Undang No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran pada Bab XI bagian ketujuh menyebutkan bahwa penanganan kecelakaan kapal adalah di tangan Syahbandar, sebagai pelaksana pemeriksaan pendahuluan. Kemudian dilanjutkan dengan peran Mahkamah Pelayaran RI sebagai pelaksana pemeriksaan lanjutan dan pengambil keputusan terhadap kasus kecelakaan kapal (Bab XIII bagian ketiga).”
Karena kekhususan jabatan dan tugas Syahbandar tidak boleh diserahkan kepada yang tidak memahami dan tidak memiliki dasar pendidikan yang kuat. Sebagai akibatnya, para Syahbandar yang semestinya bertindak sebagai pelaksana pemeriksa pendahuluan (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) malah melemparkan hal tersebut kepada pihak kepolisian. Praktik seperti ini akhirnya menjadi seperti praktek lazim di Indonesia, bahkan adanya syahbandar yang dijadikan tersangka atas kecelakaan yang terjadi atas kecelakaan kapal.
“Saya berharap posisi Syahbandar bisa dikembalikan ke fungsi sebenarnya sesuai dalam UU 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran,” harapnya.
“Kapal yang berlayar tanpa SPB tetapi membawa muatan kurang dari yang disyaratkan oleh notasi plimsoll mark, memiliki resiko tenggelam lebih kecil ketimbang kapal yang berlayar over the mark, walaupun SPB-nya ditandatangani oleh puluhan petugas,” jelas Capt. Hakeng.
Terjadinya kecelakaan, kapal atau alat transportasi lainnya, bukan disebabkan minimnya petugas yang “pasang badan” terhadap anomali kegiatan tersebut. Kecelakaan terjadi karena dilampauinya batas kewajaran dari kegiatan alat transportasi yang melewati ambang batas safety yang diizinkan oleh regulasi, sambung dia.
Dari sudut pandang sebagai pengamat maritim, dia menyebutkan “Kalaupun dikatakan yang mempertanggungjawabkan ada beberapa pihak, maka pihak-pihak ini bukanlah menanggung renteng responsibility atau memberikan added value untuk keselamatan kapal. Tapi yang ditanggung renteng adalah ketidaktahuan bersama akan aturan yang ada.”
“Membiarkan kapal berlayar melebihi batas maksimum kemampuan kapal dari sisi teknis dan keselamatan adalah committed to breach the applicable rule, sebaiknya pengguna jasa melipat gandakan doa jika menggunakan alat transportasi penyeberangan di Indonesia,” jelasnya.
Disebutkan Capt Marcellus Hakeng lagi, untuk keselamatan dan keamanan pelayaran, hak diskresi hanya dimiliki oleh Nakhoda (Master Overriding Authority).
“Siapapun setiap orang yang menghalang-halangi keleluasaan Nakhoda untuk menjalankan kewajibannya sesuai peraturan perundang-undangan, akan berdampak pidana 2 tahun dan denda paling banyak Rp. 300 jt. Terlepas dari itu semua saya berdoa demi keselamatan transportasi dalam masa mudik 2022 ini dapat terwujud dengan aman, tertib dan lancar,” ujarnya. (**)