Peranan Perawat dalam Menurunkan Angka Stunting  Melalui Pendekatan Biopsikososial

Spread the love

 

Oleh: Daniel N. Danche

Bacaan Lainnya

(Mahasiswa Magister Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya)

OPINI | Stunting merupakan kondisi gagal pertumbuhan pada anak (pertumbuhan tubuh dan otak) akibat kekurangan gizi dalam waktu yang lama. Akibatnya, anak tumbuh lebih pendek dari anak normal seusianya dan memiliki keterlambatan dalam berpikir. Kekurangan gizi dalam waktu lama itu terjadi sejak janin dalam kandungan sampai awal kehidupan anak (1000 Hari Pertama Kelahiran). (Kemenkes RI, 2018)

Dampak stunting akan memengaruhi status gizi, hingga penurunan fungsi sensorik, motorik, dan kognitif, sehingga terjadi penurunan kualitas otak. Stunting berpotensi memperlambat perkembangan otak, dengan dampak jangka panjang berupa keterbelakangan mental, rendahnya kemampuan belajar, dan risiko serangan penyakit kronis seperti diabetes, hipertensi, hingga obesitas. Anak yang mengalami stunting juga berdampak pada performa pembelajaran.

Persentase anak stunting di NTT hingga Februari 2023 adalah 15,7 persen atau 67.538 anak. Jumlah tersebut menurun bila dibandingkan tahun 2022, yaitu 17,7 persen atau 77.338 anak. Hal ini sangatlah jauh dari target yang ditetapkan provinsi NTT untuk menurunkan angka stunting menjadi 12 persen berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) NTT.

Ada banyak faktor yang memicu tingginya angka anak mengalami stunting di NTT. Minimnya akses para ibu dan calon ibu di pedalaman untuk mendapat informasi dan edukasi mengenai stunting, juga masalah sosial ekonomi menjadi faktor yang berpengaruh terhadap tingginya angka stunting di NTT.

Berbicara stunting, maka kita akan berbicara masalah kesehatan yang meliputi masyarakat, keluarga, dan individu. Untuk itu, perawat mempunyai peranan penting. Peran perawat dalam upaya pencegahan stunting, yakni, memberikan intervensi keperawatan, seperti edukasi suportif, edukasi nutrisi, pelayanan kesehatan dengan peningkatan gizi, terapi kesehatan, serta pengenalan teknologi.

Selain itu, pemberdayaan keluarga dan kolaborasi interprofesional dalam pencegahan stunting sangat diperlukan. Intervensi keperawatan sebagai upaya pencegahan kasus gizi buruk melalui upaya promotif dengan memberikan penyuluhan kepada ibu balita dan penyuluhan kepada kader-kader posyandu juga harus terus dilakukan.

Upaya preventif meliputi penimbangan berat badan, pengukuran lingkar lengan, dan tinggi badan yang dilakukan sebulan sekali di setiap posyandu, pemberian paket obat-obatan dan makanan untuk pemulihan gizi juga mesti menjadi gerakan bersama yang harus terus digelorakan.

Peran perawat dalam memberikan pendidikan kesehatan harus lebih ditingkatkan, khususnya dalam mengatasi masalah gizi pada balita. Perawat mempunyai kewajiban untuk memotivasi ibu menyusui dalam memberikan ASI eksklusif dan imunisasi yang lengkap.

Peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan dalam pencegahan gizi buruk pada balita meliputi pengkajian. Dalam proses mengkaji, perawat harus jeli dan kritis dalam mengambil data ibu, balita, dan keluarga yang terkena stunting. Kajian yang baik akan sangat membantu dalam menentukan diagnosa keperawatan.dan tindakan atau intervensi keperawatan.

Selain itu, tindakan evaluasi pada keluarga maupun bayi yang terkena gizi buruk harus intensif dilakukan. Tindakan ini salah satunya bisa berupa penimbangan dan pengukuran antropometri. Dalam kasus ini perawat juga harus memfokuskan asuhan pada kebutuhan kesehatan klien secara holistik, meliputi upaya untuk mengembalikan kesehatan emosi, spiritual, dan sosial.

Peran perawat dalam edukasi nutri untuk mencukupi asupan nutrisi guna mencegah stunting pada anak dan ibu hamil.

Bayi dan ibu hamil perlu mengonsumsi beragam jenis makanan sehat dan bergizi seimbang, seperti ikan, telur, daging, makanan laut, kacang, umbi-umbian, biji-bijian, susu, keju, yoghurt, serta aneka buah dan sayuran.

Karena itu, perlu adanya ketahanan pangan dan kemampuan mengelola pangan lokal menjadi makanan yang berkualitas tanpa mengurangi nilai gizi dan kandungan gizi seperti teknik pengolahan bahan dasar jagung menjadi olahan lauk pauk, sup, sampai cemilan.

Perawat harus mampu memperkenalkan teknologi pengelolaan pangan kepada masyarakat berupa cara pengawetan bahan makanan tanpa mengurangi kadar gizi atau kandungan gizi pada bahan olahan.

Ada delapan teknik pengawetan bahan makan yang bisa diterapkan dan disesuaikan dengan kondisi geografis masyarakat NTT.

Pertama, dengan teknik pendinginan atau pembekuan dilakukan untuk menurunkan suhu agar menghambat pertumbuhan mikro organisme. Penghambatan ini mencegah makanan membusuk dan basi. Makanan-makanan yang biasa mengalami proses pendinginan adalah (daging dan olahannya, buah, sayuran, susu).

Kedua, teknik pemanasan sering diterapkan pada bahan makanan padat dan cair. Proses pemanasan bertujuan untuk mematikan atau mencegah perkembangan mikro-organisme yang membusukkan makanan.

Ketiga, teknik pengasapan. Dilakukan dengan meletakkan makanan di suatu tempat, lalu diasapi dari bawah tanpa mendekatkannya dengan api. Sebelum diasapi, daging atau ikan biasa direndam dengan air garam, namun ada pula yang langsung diasapi.

Keempat, teknik pengalengan. Teknik pengalengan adalah proses menerapkan panas ke makanan yang disegel dalam tabung untuk menghancurkan mikroorganisme yang dapat menyebabkan pembusukan makanan. Makanan yang biasa dikalengkan meliputi sayur, buah, makanan laut, dan susu, kelima teknik pengeringan dilakukan untuk mengeluarkan air dengan cara penguapan. Pengeringan biasa dilakukan dengan penjemuran di bawah sinar matahari. Pengeringan menghambat pertumbuhan bakteri, ragi, dan jamur melalui pembuangan air. Bahan makanan yang biasa dikeringkan seperti ikan, buah, sayur, dan daging.

Keenam, teknik pengasinan atau penggaraman. Penggaraman adalah metode mengawetkan makanan yang lebih umum sebelum pendinginan modern. Pengasinan bertujuan untuk menjaga makanan dengan menarik air keluar dari makanan, mencegah bakteri tumbuh dan merusak makanan. Makanan yang biasa diasinkan seperti daging, ikan, telur, dan buah-buahan.

Ketujuh, teknik pemanisan. Pemanisan dalah metode pengawetan makanan yang mirip dengan pengasinan. Makanan dikeringkan terlebih dahulu dan kemudian diremas dengan gula. Makanan yang sering dimaniskan adalah buah dan sayuran.

Kedelapan, teknik fermentasi. Fermentasi adalah proses alami dimana mikroorganisme seperti ragi dan bakteri mengubah karbohidrat seperti pati dan gula menjadi alkohol atau asam. Alkohol atau asam bertindak sebagai pengawet alami dan memberikan rasa khas dan kekenyalan pada makanan yang difermentasi. Makanan fermentasi banyak ditemui seperti tape, anggur, keju, dan masih banyak lagi.

Teknik pengawetan bahan makanan merupakan salah satu upaya dalam mengenalkan masyarakat tentang bagaimana cara pengawetan bahan olahan sehingga bisa di manfaatkan dalam jangka waktu yang lama hal ini disesuaikan dengan kondisi dan iklim dan budaya setiap daerah di NTT.

Penangan masalah stunting di era digitalisasi dan penggunaan smartphone menjadi sesuatu hal yang lumrah. Banyak informasi yang bisa didapat dan diakses untuk menambah pengetahuan dan cara pandang perawat sehingga dapat berkontribusi dalam memperoleh sikap positif mengenai pencegahan stunting.

Penggunaan teknologi seperti aplikasi memudahkan tenaga kesehatan dalam bekerja untuk memantau status gizi, perkembangan, dan sebagainya untuk pencegahan stunting.

Persoalan stunting yang ada sekarang ini sesungguhnya tidak hanya sekedar soal ketidakcukupan ketersediaan pangan dan zat-zat gizi tertentu, tetapi juga dipengaruhi oleh kemiskinan, sanitasi lingkungan yang kurang baik, dan ketidaktahuan tentang gizi. Tingkat sosial ekonomi juga memengaruhi kemampuan keluarga untuk mencukupi kebutuhan zat gizi balita.

Harus diakui, keadaan sosial ekonomi juga berpegaruh pada pemilihan macam makanan tambahan, waktu pemberian makanannya, serta kebiasaan hidup sehat. Hal ini sangat berpengaruh terhadap kejadian stunting balita.

Status sosial ekonomi juga sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan keluarga. Apabila akses pangan di tingkat rumah tangga terganggu, terutama akibat kemiskinan, maka penyakit kurang gizi atau malnutrisi, salah satunya stunting, pasti akan muncul.

Oleh karena itu, perawat mempunyai peran strategis dalam mengatasi persoalan stunting ini. Seorang perawat profesional haruslah mampu menjalankan peran dan fungsinya dengan baik.

Adapun peran perawat di antaranya ialah pemberi perawatan, pemberi keputusan klinis, pelindung dan advokat klien, manajer kasus, rehabilitator, pemberi kenyamanan, komunikator, penyuluh, dan juga peran karier.

Peranan perawat dalam mencegah stunting melalui edukasi suportif, edukasi nutrisi, pelayanan kesehatan dan, pemberdayaan keluarga dengan peningkatan motivasi keluarga, dan kolaborasi interprofesional sebagai upaya pencegahan stunting menuju masyarakat NTT yang mandiri dalam pangan dan mewujudkan masyarakat NTT yang sehat benar-benar sangat dibutuhkan..**

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *