KABUPATEN KUPANG – Belasan petani rumput laut yang hadir di rumah Hengki Loden tampak kesal dan kecewa. Di wajah mereka tergambar jelas rasa tidak puas, bahkan marah. Mereka kecewa dan kesal karena harga rumput laut terus menurun, sementara tagihan dari bank tak mau tahu, setiap bulan harus dibayar penuh.
Kepada awak media, mereka mengeluh dengan wajah murung, bahwa sejak Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 39 Tahun 2022 yang berisi tentang Pengaturan Tata Niaga Hasil Perikanan terbit, petani rumput laut di Sulamu bukannya meraih untung, tapi malah buntung.
Para petani itu menduga, larangan bagi para pengepul untuk menjual rumput laut keluar daerah, dan hanya menjual ke perusahaan yang ditunjuk Pemprov adalah permainan mafia, meski mereka tidak tahu siapa mafianya. Pasalnya, sejak peraturan itu dibuat, harga rumput laut terus menurun. Akibatnya, kehidupan ekonomi mereka pun terus memburuk.
Di hadapan awak media dan wakil mereka di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kupang, Hengki Febrianus Loden, mereka memohon bantuan agar jeritan hati mereka bisa disampaikan kepada pihak-pihak yang memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan.
“Aturan yang dibuat itu harus benar-benar untuk kesejahteraan masyarakat, bukan untuk kepentingan beberapa orang tertentu. Kalau untuk kepentingan masyarakat, cobalah turun sosialisasi langsung ke masyarakat,” kata Melsy Pian di hadapan wartawan, Sabtu (17/9/2022).
Melsy Pian adalah salah satu petani rumput laut di Sulamu. Selain itu, ia juga menjabat sebagai Ketua RT 01, Kelurahan Sulamu, Kecamatan Sulamu, Kabupaten Kupang.
Melsy menuturkan, pada tanggal 22 Juli 2022, pernah ada sosialisasi dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi NTT. Ia juga hadir dalam sosialisasi itu karena diundang sebagai MC.
Dalam sosialisasi itu, kata Melsy, pihak DKP mengatakan bahwa harga rumput laut (harga terbawah, red) tidak akan turun dari Rp20.000 untuk yang kering. Sementara rumput laut mentah ada patokannya, mulai dari Rp2.000, 3.000, dan Rp5.000 berdasarkan kategori klasifikasi rumput laut.
Yang membuat Melsy heran, kenapa orang-orang yang diundang dalam sosialisasi itu hanya orang-orang tertentu saja, yang notabene adalah mereka yang menjual ke PT Agar Kembang dari Semau.
“Waktu itu saya sempat tanya, kenapa tidak diundang pengepul dan petani yang menghasilkan rumput laut lebih banyak. Yang hadir ini yang bekerja sampingan saja. Kenapa petani sebagai mata pencaharian kok tidak diundang, supaya sama-sama puas,” tuturnya.
Melsy mengatakan bahwa sebagai warga negara, tentu para petani akan patuh pada peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Namun peraturan yang dibuat itu harus berpihak pada rakyat.
“Kami sebagai warga negara akan mengikuti pemerintah, tapi apakah pemerintah sudah berpikir bahwa aturan yang dibuat untuk kesejahteraan masyarakat, bukan untuk beberapa orang atau perusahaan tertentu?” tanya Melsy.
Keluhan yang sama juga disampaikan oleh Yasinta De Rosari. Yasinta adalah petani sekaligus pengepul rumput laut yang juga menjabat sebagai Ketua RT 07, Kelurahan Sulamu. Yasinta mengaku sudah bekerja sebagai petani rumput laut sejak tahun 2006.
Yasinta mengisahkan, penurunan harga rumput laut memang pernah terjadi pada tahun 2009.
“Penurunan harga ini juga pernah alami pada tahun 2009 harganya Rp5.000 per kg. Itu karena belum ada perusahaan-perusahaan di NTT. Waktu itu hanya ada satu pengepul di Kupang yang namanya Pak Arif. Beliau itu yang membeli rumput laut di Sulamu lalu mengirimkannya sampai ke Surabaya. Jadi, dengan harga rumput laut sesuai harga standar di Surabaya,” ungkapnya.
Penurunan harga rumput laut, kata Yasinta, terjadi lagi bulan Agustus 2022. Pasca Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur melakukan sosialiasi di wilayah itu terkait harga rumput laut.
“Bulan Juli itu ada sosialiasi aturan. Aturan itu dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) provinsi NTT menyangkut harga rumput laut,” sebutnya.
Anehnya, kata dia, dalam sosialisasi yang berlangsung di Ibu Kota Kecamatan Sulamu itu, mereka sebagai petani rumput laut tidak dilibatkan.
“Memang (dalam) sosialisasi ini, kami para petani (rumput laut, red) tidak diundang waktu itu. Kami tidak diundang untuk ada di Kecamatan untuk mendengar sosialisasi dari DKP. Kami tidak tahu, cuman kami dengar informasi saja,” ujarnya.
Ia menegaskan, Kelurahan Sulamu adalah salah satu mengekspor rumput laut terbesar di NTT. Jumlah petani rumput laut sekitar seribuan orang.
“Ada satu kampung di bawah itu, sebelumnya mereka sebagai nelayan. Tapi sekarang mereka lebih berkecimpung sebagai petani rumput laut. Jadi, hampir rata-rata warga di kampung bawah dengan di atas sini sudah menjadi petani rumput laut. Sekitar 1000-an orang petani rumput laut. Sebetulnya pengekspor paling banyak itu di sini,” jelasnya.
Ia berharap, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur bisa melakukan sosialisasi terbuka dengan para petani rumput laut di wilayah itu.
“Turunlah ke tempat-tempat yang dimana ekspor rumput lautnya paling banyak. Marilah turun supaya lebih terbuka dengan kami petani. Supaya kami juga merasa puas,” pintanya.
Keluhan yang sama juga datang dari salah satu petani sekaligus pengepul rumput laut yang tidak ingin namanya disebutkan. Selain soal harga yang terus turun, ia juga mengeluhkan soal pembayaran dari pihak perusahaan yang sering terlambat.
“Kadangkala satu atau dua minggu baru uang kami dibayar oleh perusahaan yang membeli rumput laut kami. Padahal kami beli dari petani pakai uang kami sendiri, bukan uang dari perusahaan. Kalau terus seperti itu, bagaimana mungkin usaha kami bisa jalan,” keluhnya.
Menurutnya, ketika pengepul bernama Arif masih membeli rumput laut di Sulamu, persaingan harga masih bagus. Namun sejak Pemprov membuat aturan yang melarang rumput laut dikirim ke luar NTT, Arif sudah tidak membeli lagi rumput laut di Sulamu. Sialnya, sejak saat itu harga rumput laut pun terus anjlok.
“Kami tidak masalah mau jual ke siapa saja, yang penting harganya jangan tidak menentu seperti ini. Bagaimana kami bayar pinjaman di bank kalau harga turun terus begini,” ucapnya.
Hengky Loden Janji akan Berjuang
Anggota DPRD Kabupaten Kupang dari Partai Bulan Bintang (PBB), Hengki Febrianus Loden, juga mengaku kecewa dengan peraturan penuruan harga rumput laut oleh pemerintah Provinsi NTT.
“Hampir setiap hari masyarakat datang mengeluh soal harga rumput laut. Awalnya mereka merasa gembira, senang karena harga yang mereka jual selama ini dengan harga rumput laut kering Rp38.000 per kg. Namun karena ada peraturan yang dikeluarkan oleh dinas teknis, dalam hal ini DKP NTT, maka harga kini menurun,” katanya.
Hengky mengatakan, para petani rumput laut itu rata-rata punya pinjaman di bank karena mempertimbangkan harga jual rumput laut yang bagus. Namun dengan harga yang terus anjlok, para petani itu kini bingung bagaimana caranya untuk menebus hutang-hutang mereka di bank.
“Nama-nama mereka (para petani, red) sudah ada di BRI. Pinjaman UMKM. Tapi mereka sekarang kendala untuk pembayaran, karena dengan spekulasi harga kini diturunkan dengan adanya Pergub ini,” ujarnya.
Hengky mengungkapkan, sebagai anggota DPRD, mewakili masyarakat yang membudidaya rumput laut di Kelurahan Sulamu, ia mengapresiasi dan mendukung pemprov NTT dan Pemkab Kupang dengan visi-misi yang sama mau menyejahterakan masyarakat lewat komoditi rumput laut.
Namun ia sangat menyayangkan Pergub yang dikeluarkan itu, karena menurutnya, Pergub itu telah membelenggu masyarakat sehingga tidak bisa lagi menjual rumput laut ke pihak lain, hanya bisa menjual ke perusahaan yang sudah memegang ijin dari pemerintah.
Anggota Komisi II DPRD Kabupaten Kupang itu berharap agar harga tersebut kembali ke semula dengan harga Rp38.000. Selain itu, ia juga meminta Pemprov, dalam hal ini pihak Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) untuk terus melakukan sosialisasi terhadap masyarakat.
“Petani sekarang mengeluh dan pasrah. Mereka berharap pemerintah berlaku adil. Kalau omong kesejahteraan, peraturan ini tidak berpihak kepada masyarakat,” tegasnya.
Pada kesempatan jumpa wartawan itu, Hengky juga berjanji akan menyurati pemerintah Provinsi NTT terkait penurunan harga rumput laut tersebut.
“Saya siap, satu dua hari ini saya bersurat ke pemerintah provinsi. Saya mewakili masyarakat yang membudidaya rumput laut saya bersurat ke provinsi untuk menanyakan harga spekulasi yang sudah dikeluarkan itu. Kami tidak dapat informasi juga soal sosialisasi ini,” pungkasnya.
Perlu diketahui, surat penetapan harga Rumput Laut dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTT itu, awalnya diterbitkan pada tanggal 1 Agustus 2022 oleh Plt Kadis George M. Hadjoh. Isinya adalah menetapkan harga Rumput Laut kering Rp30.000 per kilogram dan basah Rp3.000 per kilogram.
Genap sebulan setelah surat pertama, yakni tanggal 1 September 2022, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTT menerbitkan lagi surat penetapan harga baru, yaitu Rp28.000 per kilogram untuk kering, dan basah Rp2.800 per kilogram.
Saat ini ada informasi yang berkembang di kalangan para petani dan pengepul bahwa harga rumput laut akan turun lagi di angka Rp25.000 per kilogram. Informasi ini sangat meresahkan para petani, sehingga mereka sangat berharap agar pemerintah memperhatikan nasib mereka. (JR)