Polemik Kasus Korupsi Pasar Danga, Jangan Bermain Api

Beny Daga (Foto: istimewa)

Oleh: Beny Daga

(Advokat pada BRK & REKAN, Jakarta)

Bacaan Lainnya

OPINI – Proses hukum dalam dugaan korupsi pasar Danga yang sedang disidik oleh Polres Nagekeo belum menemui ujungnya. Ada banyak oknum yang terseret dalam pusaran korupsi pasar Danga ini. Penyidikan terus berjalan setelah status hukum terhadap para pelaku yang diduga melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerugian keuangan negara menyandang status tersangka. Publik kemudian mengejar dan bertanya, sudah sampai di manakah proses hukum terhadap para tersangka? Pertanyaan ini seperti satu harapan kecil di antara sekian harapan lainnya yang dititipkan kepada para penegak hukum, agar keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum yang sedang diproses menjadi lebih terang.

Terbaru, dugaan korupsi pasar Danga kembali ramai setelah Kejaksaan Negeri (Kejari) Ngada melalui Kasie Pidsus, kepada media, menyebutkan bahwa pelimpahan berkas dugaan korupsi pasar Danga belum bisa diproses lebih lanjut karena berkas perkara yang disampaikan oleh penyidik Polres Nagekeo belum lengkap statusnya, masih P-19. Artinya, masih ada petunjuk dari penuntut umum yang belum dipenuhi oleh penyidik.

Persoalan kembalinya berkas ke penyidik Polres Nagekeo oleh Kejari Bajawa ini, kemudian oleh sebagian kelompok yang tidak memahami hukum secara baik, dipandang sebagai sebuah kegagalan. Penyidik Polres Nagekeo ‘terkesan’ tidak memahami syarat formil dan materiil dalam proses pelimpahan tahap 2 ke kejaksaan. Implikasinya, ada sebagian orang kemudian memainkan isu bahwa ada upaya kriminalisasi terhadap para tersangka atau pejabat lainnya yang terseret dalam dugaan korupsi pasar Danga.

Tafsir ruang publik pun menjadi tidak berimbang, dan bahkan ada pemahaman yang keliru, seakan persoalan hukum yang sedang disidik oleh Polres Nagekeo kental nuansa politik. Lebih buruk lagi, Polres Nagekeo dan Kejari Ngada diasumsikan sedang berpolitik dalam kasus pasar Danga oleh orang perorangan yang tidak memahami hukum (pidana) secara utuh. Masyarakat harus memahami bahwa hukum tetaplah hukum, tidak boleh dilihat unsur politis di dalamnya. Harus dipandang pure penegakan hukum.

Lantas, seperti apa posisi dan proses hukum terhadap para tersangka dalam dugaan korupsi pasar Danga saat ini? Kasie Pidsus Kejari Ngada dalam keterangannya bahkan berulangkali menegaskan bahwa berkas perkara dugaan korupsi pasar Danga belum lengkap (P-19) dan sudah dikembalikan kepada penyidik Tipikor Polres Nagekeo. Petunjuk untuk melengkapi berkas tidak berarti menghentikan perkara dugaan korupsi pasar Danga. Proses-proses seperti ini lazim dan normal dipraktekkan dalam tataran hukum acara.

Berkas dugaan tindak pidana korupsi pasar Danga itu bahkan sudah dua kali dikembalikan disertai dengan petunjuk penuntut umum sebagai syarat perbaikan (syarat formil dan materiil; asumsi penulis) bahwa berkas yang dikembalikan ke Polres Nagekeo harus dilengkapi lagi. Petunjuk penuntut umum yang disebut belum lengkap itulah yang menjadi jadi alasan dasar berkas dugaan korupsi pasar Danga dikembalikan.

Seperti tersulut api, Polres Nageko melalui Kasat Reskrim Polres Nagekeo, bersikeras bahwa semua petunjuk penuntut umum yang diberikan dalam pengembalian berkas sudah dilakukan atau sudah dilaksanakan. Penyidik Tipikor Polres Nagekeo melalui Kasat Reskrim berulang-ulang menjelaskan bahwa, baik pada tahap lidik, sidik, hingga pada proses penetapan tersangka, sudah melalui mekanisme hukum yang normal. Adapun semua petunjuk penuntut umum soal kekurangan dalam berkas tersebut telah lengkap dalam tahap sidik sesuai dengan petunjuk sebelumnya dari penuntut umum.

UU No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP dalam pasal 1 angka (1), (2), (3), (4) dst, pasal 2 dst, pasal 4, pasal 5, pasal 6 dst, kemudian Perpol No. 6 Tahun 2019 Tentang Pencabutan Perkap No. 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Tindak Pidana dan atau Peraturan Bersama Kapolri dan Jaksa Agung RI No. 2 Tahun 2006 Tentang Optimalisasi Koordinasi Dalam Pemberantasan TIPIKOR sudah diterapkan dalam berkas perkara yang dikembalikan tersebut. Artinya, proses-proses sebagaimana yang menjadi petunjuk dari penuntut umum Kejari Ngada sudah dilakukan. Dengan demikian, bagi penyidik polres Nagekeo, pengembalian berkas oleh Kejari Ngada adalah suatu keanehan dan tidak logis dalam norma hukum acara pidana sebagaimana mestinya.

Hal umum dalam perkara pidana korupsi pasar Danga ini kemudian yang harus bisa dipahami adalah, perdebatan antara penyidik Polres Nagekeo dan jaksa pada Kejari Ngada ini apakah terkait delik pidana kurang bukti ataukah dalam sangkaan pasal tindak pidana korupsi tidak tepat terhadap subjek hukum sehingga perlu ada tersangka lain yang harus ditarik dalam persoalan pasar Danga ini? Walhualam, petunjuk dari penuntut umum sepenuhnya urusan penuntut umum dan penyidik.

Tetapi dalam korelasinya dengan polemik pengembalian berkas perkara dugaan korupsi pasar Danga sebanyak dua kali, karena dianggap oleh jaksa peneliti dari kejari Ngada belum lengkap, telah menimbulkan spekulasi liar di tengah masyarakat yang sudah sangat lama menunggu akan seperti apa akhir dari problem hukum pasar Danga ini.

Pengembalian berkas perkara yang disertai dengan petunjuk karena dianggap belum lengkap (P-19), tentu bukanlah hal yang biasa. Sebab dalam kasus-kasus pidana, baik itu pidana umum maupun pidana khusus, tentu syarat formil dan syarat materiil selalu terpenuhi dari sudut pandang sidik, bahkan dari proses lidik, dengan ketentuan minimal dua alat bukti terpenuhi sesuai UU No. 8 Tahun 1981 dalam pasal 184 KUHAP sebelum diproses pada tahap-tahap lebih lanjut.

Pertanyaannya kemudian, apabila tersangka telah ditetapkan (ditahan atau tidak ditahan atas alasan subjektif dan objektif), lalu proses pelimpahan, baik tahap 1 maupun tahap 2, ditolak oleh penuntut umum Kejari Ngada, apakah terhadap perkara yang sedang disidik, berikut tersangka dan barang bukti tindak pidana, menjadi tidak sah? Kemudian terhadap tersangka, apakah masih bisa diproses? Atau, apakah tanggungjawab pidana tersangka menjadi lepas atau bebas demi hukum? Atau, apakah terhadap keseluruhan proses hukum yang telah selesai di tahap penyidikan menjadi gugur karena pelimpahan berkas dari penyidik ke penuntut umum dalam dua kesempatan belum dinyatakan P-21?

Kalau demikian adanya, bagaimana menyikapi berkas perkara yang belum juga dinyatakan lengkap atau P-21 oleh penuntut umum pada Kejari Ngada? Bagaimana status perkara dugaan korupsi pasar Danga selanjutnya, apabila berkas perkara belum juga dinyatakan lengkap oleh penuntut umum? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang tidak akan selesai dijawab.

Terhadap pertanyaan-pertanyaan semacam itu, dalam sudut pandang hukum pidana yang dianut di Indonesia, baik dalam doktrin pidana (Pidsus dan Pidum) bahkan yurisprudensi (putusan hakim terdahulu) tidak pernah dijumpai suatu alasan hukum apapun yang menyebutkan seorang tersangka berikut barang bukti baik yang diatur dalam syarat formil maupun syarat materiil menjadi hilang pertanggungjawabannya hanya karena ditolaknya pelimpahan dari penyidik kepada penuntut umum.

Tanggungjawab pidana oleh seseorang hanya bisa dihentikan melalui mekanisme sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP dalam pasal 1 angka 10 kemudian pasal 77 sampai dengan pasal 83, pasal 95 ayat (2) dan ayat (5), pasal 97 ayat (3) dan pasal 124, bahkan perluasan tanggungjawab pidana bisa saja dihentikan oleh karena terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2014 Tanggal 28 April 2015 yang cukup tegas menjamin perluasan penghentian tanggungjawab pidana baik di tingkat penyidik maupun penuntutan. Di luar ketentuan yang ada dan diatur dalam bagian-bagian pasal per pasal hingga putusan MK tersebut tertutup kemungkinan lain soal lepasnya tanggungjawab pidana secara legal prosedural.

Implikasi Hukum dan Solusi Ketika Berkas Perkara Dugaan Korupsi Pasar Danga Ditolak

Penolakan berkas perkara dugaan korupsi pasar Danga sebanyak dua kali oleh penuntut umum pada kejari Ngada, membuat sebagian masyarakat yang tidak memahami hukum akan membuat kesimpulan yang tidak berdasar, bahwa terhadap para tersangka yang dipidana dengan dugaan korupsi harus dihentikan atau dengan kata lain perkara pidana tidak dapat dilanjutkan lagi. Pendapat ini normal, sebab bisa jadi tidak semua mengerti bahwa teori pidana dan prakteknya tidak bisa dilihat terpisah.

Teori dalam perkara pidana menyebutkan bahwa pengembalian berkas perkara oleh jaksa kepada penyidik tidak bisa terlepas dari pasal 138 ayat (2) KUHAP, artinya, pengembalian itu masih normal dalam hukum acara sepanjang tidak melewati rentang waktu yang diberikan dalam pasal 138 ayat (2) tersebut atau 14 hari setelah menerima pengembalian berkas. Menjadi tidak normal apabila pengembalian berkas atau P-19 oleh penuntut umum kepada penyidik justru tidak disertai petunjuk jelas dari penuntut umum yang ditunjuk untuk meneliti berkas perkara dimaksud, atau fatalnya lagi, petunjuk penuntut umum yang sudah ditindaklanjuti oleh penyidik harus dikembalikan lagi dengan memberikan petunjuk baru yang sebelumnya telah dipenuhi oleh penyidik.

Pasal 138 ayat (2) KUHAP, dalam teorinya, juga memberikan penegasan bahwa tidak ada implikasi hukum sebagai akibat, selain karena lewat waktu tidak dikirimnya kembali berkas setelah 14 hari penyidik menerima petunjuk dari penuntut umum. Alasan lainnya, tentu persoalan pengembalian berkas perkara dugaan korupsi pasar Danga yang disampaikan oleh penyidik kepada penuntut umum dianggap belum terpenuhi syarat formil dan atau syarat materiil. Syarat formil secara teori diartikan sebagai syarat-syarat yang diuraikan oleh penyidik mengenai perkara pidana yang sedang disidik tidak sesuai baik objek pidana, subjek, dan delik yang disangkakan, sedangkan syarat materiil bisa saja terkait perbuatan pidana yang mengakibatkan kerugian keuangan negara.

Kemudian untuk menjawab kegelisahan para pencari keadilan, apakah pengembalian berkas perkara dugaan korupsi pasar Danga oleh penuntut umum sudah cukup untuk menghentikan sebuah perkara yang sedang disidik? Pendapat pribadi saya, tidak. Sebab cara dan mekanisme penghentian perkara pidana bukan memakai alas dasar P-19 oleh penuntut umum.

Perkara pidana hanya bisa dihentikan melalui proses yang cukup secara hukum dalam artian melalui mekanisme peradilan sesuai rumusan praperadilan yang secara limitatif diatur dalam pasal 77 sampai dengan pasal 83 Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP. Selain itu ketentuan KUHAP dalam pasal 7 ayat (1) huruf i jo pasal 109 ayat (2) jo pasal 138 ayat (2) Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP menjadi alasan penting suatu perkara pidana bisa dihentikan.

Dengan demikian, implikasi hukumnya terhadap perkara yang sedang disidik oleh penyidik tidak bisa dihentikan di luar mekanisme yang sudah diatur dalam KUHAP, sekalipun pelimpahan berkas perkara oleh penyidik ditolak penuntut umum. Penolakan yang dilakukan oleh penuntut umum lebih pada dua hal; pertama, dikarenakan belum terpenuhinya syarat formil, dan kedua, belum terpenuhinya juga syarat materiil.

Oleh karena ‘bolak-balik’ berkas perkara dari penyidik ke penuntut umum kemudian kembali ke penyidik lagi sehingga menimbulkan banyak speklasi liar, pendapat pribadi dan saran saya kepada kedua institusi, baik Polres Nagekeo maupun Kejari Ngada penting untuk diperhatikan;

Pertama; Penyidik Polres Nagekeo bisa saja membawa persoalan dugaan korupsi pasar Danga ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) apabila merasa terdapat hambatan agar dapat dilakukan supervisi dengan didasarkan pada ketentuan sebagaimana yang diatur dalam pasal 9 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan atau ayat (4) Perpres No. 102 Tahun 2020 sebagai turunan dari pasal 10 UU KPK 19/2019.

Kedua; Apabila penyidik Polres Nagekeo mengalami kesulitan sebagai akibat petunjuk dari penuntut umum yang mustahil untuk dipenuhi, sementara proses dan petunjuk sebelumnya sudah maksimal dilakukan oleh penyidik, maka penuntut umum boleh saja menggunakan mekanisme hukum sesuai dengan Undang – Undang Kejaksaan sebagaimana diatur dalam pasal 30 ayat (1) huruf (d) untuk melakukan pemeriksaan tambahan terhadap materi perkara yang sebelumnya tidak atau belum dipenuhi oleh penyidik.

(Opsi kedua kemungkinannya sangat kecil, sebab penuntut umum memiliki waktu yang sangat singkat dan obyek pemeriksaannya juga terbatas sehingga cukup sulit untuk dilakukan secara maksimal guna melengkapi keterangan yang dianggap kurang dari pemeriksaan sebelumnya oleh penyidik).***

Pos terkait