OPINI – NUSALONTAR.COM
Oleh: Darius Baki Akamaking, SKM*
Pandemi Covid-19 telah terjadi dengan sangat dramatis. Setelah dilaporkan adanya “Coronavirus” sebagai penyebabnya oleh Pemerintah China pada tanggal 31 Desember 2019, sebulan sesudahnya, Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkannya sebagai penyakit yang telah menimbulkan kegawatdaruratan kesehatan secara global (pandemi). Sejak saat itu, hampir semua warga dunia panik. Berbagai kebijakan diambil oleh pemerintah di masing-masing negara untuk mencegah dan atau menanggulanginya. Bahkan, beberapa negara seperti China, Italia, Prancis, Amerika Serikat dan Thailand memilih untuk lockdown.
Di Indonesia, sejak Presiden Joko Widodo mengumumkan adanya dua kasus positif pada 2 Maret 2020, pemerintah telah menetapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar mulai dari DKI Jakarta dan kemudian meluas ke daerah-daerah lain. Pada 1 Juni 2021, pemerintah kemudian menetapkan kebijakan baru yang disebut sebagai Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berskala mikro. Kebijakan ini diatur dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 10 Tahun 2021. Sebulan sesudahnya, pemerintah lagi-lagi mengumumkan kebijakan dengan pembatasan secara lebih ketat yang dikenal dengan sebutan PPKM Darurat yang pertama kali berlaku di wilayah Jawa dan Bali. Dalam perkembangannya, kebijakan yang sama mengalami pembaharuan-pembaharuan dengan substansi yang pada dasarnya sama yaitu bahwa aktivitas masyarakat harus dibatasi atau dengan kata lain tidak dapat dibiarkan bebas seperti dalam keadaan normal ketika tanpa pandemi.
Istilah Baru dan Substansi Masalah
Dalam rekam jejaknya, sejak awal tahun 2020 hingga saat ini, sudah begitu banyak istilah baru yang muncul dalam terminologi upaya penanganan Covid-19 ini. Termasuk di dalamnya, istilah-istilah yang berkaitan dengan upaya penanganannya sebagaimana disebutkan di atas. Secara epidemiologis, munculnya istilah-istilah itu paling tidak memberi sedikit manfaat dalam rangka mengenal dan memahami pokok masalah dan upaya-upaya yang harus ditempuh untuk pencegahan dan penanggulangannya. Namun demikian, secara sosial-politik, hadirnya seribu satu macam istilah itu tidak banyak berkontribusi dalam penanganan semua dampak negatif yang terjadi sebagai akibatnya.
Dalam beberapa diskusi lepas, penulis menemukan fakta bahwa masyarakat pada umumnya tidak terlalu peduli terhadap banyaknya kebijakan dengan banyak embel-embel istilah mentereng. Bagi mereka, yang terpenting adalah, apa yang sebenarnya menjadi substansi dari pandemi Covid-19 dan apa yang harus dilakukan agar mereka tidak terinfeksi tetapi juga kebutuhan-kebutuhan rumah tangga mereka bisa tetap terpenuhi. Oleh karena itu, tak heran bila di daerah-daerah, banyak masyarakat terlihat kurang peduli pada pengumuman-pengumuman dan atau arahan-arahan yang disampaikan oleh pihak-pihak terkait sehubungan dengan adanya penerapan berbagai kebijakan dalam rangka penanganan Covid-19. Mengapa? Hemat penulis, adapun alasan yang paling mendasar dalam konteks ini adalah karena substansi dari apa yang disampaikan itu pada dasarnya sama meskipun disebut dengan istilah-istilah yang berbeda dalam setiap pembaharuannya. Bagi masyarakat banyak, hal itu sangat membosankan.
PPKM vs Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN)
Sub topik ini telah penulis angkat sebagai topik dari tulisan ini meski cukup sulit bagi penulis untuk membahasnya secara mendalam. Memang, penulis bukanlah orang yang kompeten untuk membahasnya. Tetapi bagi penulis, topik (sub topik) ini sangat penting dan mendesak untuk “dilepas” sebagai bahan diskursus publik di tengah kebijakan-kebijakan pemerintah yang semakin jauh dari kritik.
Setelah membaca beberapa literatur, dua hari belakangan penulis fokus untuk “googling”. Kalimat kunci yang penulis masukkan adalah “apa substansi dari program PEN?”
Investor.id memberikan sebuah jawaban yang cukup terang benderang. Dalam sebuah artikelnya, Hari Gunarto menyebutkan 10 poin penting yang termaktub di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 yang mengatur tentang kebijakan ini.
Setelah membaca berkali-kali, penulis menarik sebuah kesimpulan bahwa program PEN pada dasarnya hanya menyasar secara langsung untuk kelompok pelaku usaha, BUMN, perbankan dan koperasi yang tidak termasuk dalam daftar hitam nasional. Dengan kata lain, program yang menelan dana dengan jumlah yang fantastis itu tidak menyasar kelompok masyarakat kecil secara langsung. Akhirnya, kebanyakan masyarakat malah tak punya akses sampai ke sana. Sampai di sini muncul pertanyaan skeptis, “akankah program PEN dapat benar-benar menjadi pilar penyangga bagi masyarakat rentan untuk bertahan hidup di tengah himpitan ekonomi akibat penerapan kebijakan PPKM hingga saat ini?”
Bagi penulis, PPKM dan PEN dalam bingkai program penanganan Covid-19 di Indonesia adalah dua kebijakan yang saling berseberangan. Program PEN bukanlah jalan keluar yang teranyar untuk menghapus air mata para pekerja yang kehilangan pekerjaannya akibat kebijakan PPKM pada segala level kemudian dililit hutang dan akhirnya tak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Program PEN masih membutuhkan jalur yang panjang untuk bisa sampai menyentuh kepentingan masyarakat terbawah seperti sopir travel/bus penumpang, mualim dan ABK kapal penumpang, petani, nelayan, pedagang asongan, dan lain-lain yang dalam bahasa pandemi disebut sebagai kelompok paling rentan terdampak. Jadi menyandingkan kebijakan PPKM dan PEN sebagai kawan adalah sesuatu yang naif. Keduanya lebih pantas disebut sebagai lawan alias “versus”.
Mengubah Sedikit Arah Kebijakan
Telah sekian lama pandemi ini mendera kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri tercinta, Indonesia. Sampai sekarang pun tak ada yang tahu, kapan ia berakhir. Jika ditanya, siapapun pasti akan menjawab, “hanya Tuhan yang tahu karena manusia boleh merencanakan tetapi Tuhan sajalah yang memutuskan”. Padahal di sisi lain, pandemi ini pula yang yang telah nyata-nyata menjauhkan manusia dari ibadahnya kepada Tuhan. Miris memang.
Sehubungan dengan kenyataan di atas, sejak awal, penulis cukup percaya pada apa yang dikatakan oleh Dr. Michael Ryan, Direktur Kedaruratan WHO. Dalam sebuah rilisnya sebagaimana dilansir bbc.com, 14 Mei 2020 lalu. Ia memprediksi bahwa Covid-19 ini tidak akan pernah hilang dari muka bumi ini. Menurutnya, Covid-19 hanya akan beralih dari pandemi menjadi endemi. Pada aras ini, pemerintah semestinya lebih cermat mengevaluasi kembali semua kebijakan yang telah diambilnya dalam rangka penanganan Covid-19 ini. Mengubah sedikit arah kebijakan pemerintah adalah kata kuncinya dalam konteks ini. Tidak mesti dari Utara ke Selatan tapi paling tidak sedikit lebih moderat semisal dari Utara ke Timur Laut atau Timur Tenggara.
Yang paling krusial adalah kebijakan penanganan Covid-19 yang sudah mulai merujuk pada prediksi WHO. Dalam hal ini, Covid-19 tidak lagi dilihat sebagai pandemi tetapi sebagai endemi. Pola penanganan Covid-19 pada masa mendatang sudah semestinya dilakukan dengan mengikuti pola penanganan penyakit-penyakit endemik seperti yang ada selama ini. Penguatan upaya promosi dan prevensi dibarengi penyediaan fasilitas penanganan kasus yang memadai terutama di rumah sakit-rumah sakit rujukan adalah “core” dari semua upaya kesehatan yang dilaksanakan. Kalau, urusan Covid-19 ini kembali ditangani secara terfokus pada satu direktorat di Kementerian Kesehatan maka beban anggaran pasti akan semakin kecil. Karena memang urusan penanganan Covid-19 tidak harus melebar terlalu jauh seperti yang terjadi selama ini.
Tanpa meremehkan fatalitas Covid-19, saya hanya ingin mengemukakan sebuah contoh konkret. Bahwa penanganan seorang pasien Covid-19 tidak jauh berbeda dengan penanganan seorang pasien dengan penyakit-penyakit lainnya. Lalu, kenapa untuk penanganan Covid-19, para nakes harus dibayarkan insentif yang fantastis? Banyak kasus terjadi di lapangan, para nakes bahkan dicurigai memanipulasi data kematian seseorang hanya untuk mendapatkan insentif itu. Tak terlepas pula dari kenyataan lapangan lainnya bahwa di daerah-daerah tertentu, insentif para nakes belum sesenpun dibayar sampai detik ini. Begitu pula dengan kebijakan tak menaikkan gaji ASN karena fokus pada penanganan pandemi, tak selamanya baik dan benar. Anti tesis yang dapat diajukan dalam konteks ini adalah bahwa kenaikan gaji ASN sesungguhnya akan memperkuat belanja pegawai dan berdampak langsung pada peningkatan pendapatan masyarakat rentan Covid-19 sebagaimana telah disebutkan.
Uraian singkat pada bagian akhir tulisan ini hanya ingin memancing diskursus publik yang lebih luas lagi untuk mendorong pemerintah agar boleh mengevaluasi kebijakan-kebijakannya selama ini. Jika memungkinkan, bolehlah mengubah sedikit arahnya. Mudah-mudahan***
*Penulis bekerja sebagai ASN, tinggal di Lembata