WALHI NTT: Pemerintah Gagal Memenuhi Hak Rakyat atas Air

Yuvensius Stefanus Nonga, S.H., M.H. (Deputi WALHI NTT)

KUPANG (Nusalontar.com) – Hasil penelitian World Research Institute (WRI) pada 2015 mengenai kondisi ketersediaan air bersih, menjelaskan bahwa ada proyeksi bahwa pada 2040, dunia sudah berada dalam situasi krisis. Kebutuhan air akan meningkat pesat per tahun karena adanya kebutuhan dari manusia, pertanian, dan industri.

WRI juga mengingatkan bahwa perubahan iklim akan membuat beberapa area kering, sedangkan area lainnya semakin basah. Akibatnya, ada ancaman kekeringan dan banjir, dimana kedua kondisi itu tidak menguntungkan siapapun. WRI memetakan negara-negara mana saja yang memiliki suplai air bersih cukup, sedang, hingga sangat kekurangan. Misalnya, negara-negara dengan suplai air bersih memadai adalah Kanada, Rusia, serta negara-negara Nordic seperti Finlandia dan Swedia. Sementara Indonesia, Filipina, Singapura, India, serta kawasan Timur Tengah akan berhadapan dengan krisis air bersih.

Bacaan Lainnya

WRI mengingatkan bahwa krisis air bersih meningkatkan potensi konflik. Pasalnya, air bersih adalah kebutuhan pokok bagi kehidupan makhluk hidup.
Permasalahan krisis air menjadi permasalahan global dialami sebagian besar negara-negara dunia. Di belahan bumi Asia menyikapi krisis air ini dengan membentuk satu forum khusus Asia International Water Week (AIWW), yang merupakan forum yang diselenggarakan secara rutin setiap tiga tahun sekali untuk melaporkan progres dan merumuskan kebijakan dalam memecahkan masalah air di Asia.

AIWW pertama dilaksanakan pada 2017 silam di Gyeongju, Korea Selatan. AIWW kedua kali ini dilaksanakan di Indonesia, dengan NTT sebagai tuan rumah, tepatnya di Labuan Bajo, berlangsung selama 3 hari pada 14-16 Maret 2022 dengan tema “Air yang Cukup dan Berkelanjutan untuk Semua”.
Potensi konflik yang diprediksi akan terjadi di masa depan, kini bahkan sedang terjadi di NTT. Privatisasi air, dan minimnya akses air bagi warga menjadi pemicu utama perebutan air. Hak dasar warga atas air kini lebih seksi dilihat sebagai obyek yang dibisniskan oleh swasta dan bahkan oleh pemerintah sendiri. Hak atas air bersih merupakan hak esensial warga yang seharusnya dijamin oleh Negara.

Kegagalan Pemerintah Membangun Akses Air Bersih

Gagalnya pemerintah membangun akses air bagi warga negaranya berbanding terbalik dengan pemenuhan kebutuhan air bagi pihak swasta. Masuknya investasi ke NTT juga menuntut pemerintah NTT untuk memenuhi hak swasta atas air. Hal demikian tidak dialami oleh masyarakat NTT pada umumnya. 22 Kabupaten/ Kota di NTT memiliki cerita masing-masing terkait dengan krisis air.

Permasalahan ketimpangan pemenuhan kebutuhan air warga lahir karena pemerintah gagal menciptakan satu sistem yang baik untuk menyalurkan air.
NTT selalu dinobatkan menjadi daerah yang kering dimana setiap tahun selalu dihantui gagal panen hingga gagal tanam akibat dari kerusakan kantong-kantong air. Cadangan air tanah (CAT) pun semakin berkurang dan air layak konsumsi masih menjadi problem mendasar.

Kondisi ini diperparah dengan meningkatnya pembangunan proyek-proyek skala besar seperti aktivitas pertambangan, pariwisata berbasis investor, mono kultur yang berdampak pada kerusakan hutan dan lingkungan hidup. Hasil riset Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2016 menyebutkan dari 22 kabupaten Kota di NTT, hanya Kota Kupang dan Kabupaten Malaka yang tidak mengalami kekeringan. Namun demikian Kota Kupang masih mengalami krisis akses terhadap air bersih.

Selain itu, Kabupaten Manggarai Barat yang merupakan tuan rumah dari pelaksanaan AIWW pun mengalami kesulitan atas akses air bersih. Pantauan WALHI NTT sebagian besar warga Manggarai Barat mengalami krisis akses terhadap air bersih. Di tahun 2020, Dusun Seraya, Kelurahan Labuan Bajo, sebanyak 70 keluarga mengalami krisis air bersih. Kondisi ini, kontras dengan masifnya pembangunan pariwisata super premium di Labuan Bajo.

Temuan WALHI NTT, bersamaan dengan krisis air tersebut, tidak dapat disangkal kerusakan ekosistem hutan sebagai fungsi penyangga ekosistem makin hari makin mengkhawatirkan. Pada 2019 yang lalu, kebakaran hutan di NTT mendapatkan predikat dengan tingkat titik api tertinggi di Indonesia yang pada tahun yang mencapai 14.352 titik api dengan luas yang terbakar 328.722 Ha.

Selain kerusakan lingkungan karena kebakaran hutan dan lahan (karhutla), juga terjadi dampak lingkungan dari aktivitas 9 perusahaan tambang yang arealnya terindikasi berada pada kawasan hutan konservasi, dengan luas sekitar 16.457,88 ha. Terdapat 77 perusahaan tambang yang arealnya terindikasi berada pada kawasan hutan lindung dengan luas sekitar 55.949,51 hektare. Ada juga alih fungsi kawasan hutan menjadi kawasan perkebunan monokultur tebu seperti di Sumba Timur.

Selain kerusakan ekosistem hutan, juga terjadi kerusakan daerah aliran sungai (DAS) terbesar di Timor Barat, DAS Benanain, yang juga sungai terpanjang di Timor Barat. Sebanyak 30 persen wilayahnya telah menjadi wilayah pertambangan dan terdapat 72 IUP yang mencakup wilayah Kabupaten Belu dan Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU).

Rata-rata pemerintah kabupaten di NTT masih melakukan pengelolaan sumber daya air dengan cara konvensional. Tidak ada perencanaan jangka panjang berkaitan dengan ketersedian air di masa yang akan datang. Sumber-sumber mata air tidak dilindungi dengan kebijakan daerah. Masih belum menyebarnya pandangan dan tidak adanya regulasi bahwa wilayah Bentang Alam Karst (BAK) adalah zona prioritas yang harus dilindungi karena merupakan tempat cadangan air tanah permanen.

Pemerintah malah masih mengizinkan usaha pertambangan di wilayah-wilayah yang merupakan kawasan karst. Contoh kasus di Kampung Lengko Lolok dan Luwuk di Desa Satar Punda, Kabupaten Manggarai Timur. Pembangunan di daerah yang memiliki potensi penyimpan air yang harusnya menjadi zona lindung tidak didukung dengan kebijakan yang melindungi.

Rekomendasi WALHI NTT

Atas dasar itu, WALHI NTT mengingatkan Pemerintah di NTT untuk:

Pertama, Pemerintah NTT mengoreksi dan menghentikan seluruh model-model pembangunan yang berdampak pada ketersediaan air, serta model-model pembangunan yang tidak memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan NTT.

Kedua, Pemerintah NTT mengoreksi seluruh kebijakan pengelolaan dan pemenuhan air bersih bagi warga NTT sesuai amanat konstitusi yang berorientasi pada kepentingan masyarakat.

Ketiga, Pemerintah di NTT membangun model pemulihan dan perlindungan lingkungan yang adil dan lestari.**

Laporan Yuvensius Stefanus Nonga, S.H., M.H. (Deputi WALHI NTT)

Pos terkait