ENDE, NUSALONTAR.com – “Ende dalam genggaman politisi yang tidak dewasa, mentalitas politik masih kerdil,” demikian diungkapkan oleh pengamat sosial politik, Antonius Tonggo, kepada NUSALONTAR.com, saat ditanya tentang masih lowongnya kursi wakil bupati (wabup) hingga saat ini.
Setelah Djafar Achmad Ende dilantik jadi bupati pasca meninggalnya bupati terpilih almarhum Marsel Petu, hingga kini posisi wakil bupati hanya menjadi perbincangan musiman di level media sosil. Sedangkan pada level yang sesungguhnya, yakni di tingkat partai politik, informasi yang diperoleh hanyalah sekedar isu “tarik ulur”.
Menurut Anton, hampir semua politisi di Ende maunya jadi wakil bupati. Tidak ada yang mau ikhlas dan rela melihat orang lain yang jadi wakil bupati. “Maunya saya semua,” tutur Anton.
Anton mengatakan bahwa apabila Ende diisi oleh para politisi negarawan atau bermental politisi tulen, tidak lama pasca kematian Marsel Petu, tentu sudah bisa ada wakil bupati pengganti. “Caranya adalah dengan bermental politisi dewasa. Kalau isinya cuma para pemburu jabatan, hal yang mudah jadi sulit. Hal yang seharusnya cuma kerja seminggu dibuat jadi 10 tahun. Kalau isinya cuma pemburu jabatan, Ende akan sangat sulit untuk maju,” tambah Anton.
Ketika ditanya tentang efektifitas roda pemerintahan tanpa adanya wakil bupati, dirinya mengungkapkan bahwa kinerja pemerintah daerah tentu saja tidak maksimal karena ketiadaan wakil bupati. “Ka’e Djafar terlalu solo, sendirian, sehingga saya melihat daya serap anggaran jadi terbengkalai, penataan pemerintahan desa pun lambat, penanganan Covid-19 amburadul sampai jadi zona bahaya saat ini, dll,” paparnya.
Selain itu, tambah Anton, tanpa wakil bupati kita juga kehilangan banyak kesempatan untuk kaderisasi. Jabatan wakil bupati berpotensi untuk menjadi calon bupati dan calon pemimpin di level yang lain. “Bila wakil bupati terisi selama ini, kelak masyarakat akan punya referensi calon bupati Ende akan datang, atau jabatan lainnya yang lebih strategis di tingkat provinsi maupun nasional. Kalau waktu dibuang sia – sia seperti ini, maka kaderisasi kita mandeg, stagnan,” jelas pendiri Pendidikan Daya-Cipta (PD-C) – Sebuah Model Otodidag di Yogyakarta ini.
Senada dengan Anton, Hery Epu, wartawan senior RRI Ende yang sering membuat liputan politik mengatakan bahwa Partai – Partai pengusung terkesan “setengah hati” dalam proses penentuan Ende 2 (waki bupati – red).
Hal itu, kata Hery, terlihat pada kenyataan belum adanya dua nama yang harusnya disodorkan ke DPRD untuk dipilih. “Mestinya, Partai pengsusung sudah duduk omong untuk menetukan siapa yang disepakat untuk diajukan ke DPRD sehingga secara lembaga segera menggelar rapat paripurna pemilihan wakil bupati,” tutup Hery.
PSI: Jangan Korbankan Masyarakat Hanya Untuk Kepentingan Politik
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Ketua DPD PSI Ende, Awaludin Sutoro. Menurut Awaludin, partai – partai pengusung seakan kehilangan kepedulian terhadap masyarakat yang mesti diurus. “Jika seluruh beban diserahkan ke Pak Djafar untuk mengurus kabupaten yang besar ini, tentu kewalahan-lah beliau. Di tengah situasi sulit seperti ini, Pak Djafar sebagai bupati tentu sangat membutuhkan wakil untuk mengurus aneka persoalan masyarakat. Jangan hanya karena kepentingan politik, kita korbankan masyarakat banyak. Bupati sudah kirim surat tiga kali, bahkan sudah adakan pertemuan dengan partai partai pengusung, maksudnya supaya Ende 2 ini segera diproses, tapi kita tidak tahu kenapa responnya lamban sekali,” beber Awal.
Saat ditanya soal sikap Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Awaludin menjelaskan bahwa PSI sebagai partai yang berada di luar partai – partai pengusung hanya bisa menanti. “Siapa nama – nama yang diusulkan oleh partai pengusung, akan PSI undang untuk wawancara untuk menakar kemampuan serta segala hal yang dibutuhkan untuk jadi wakil bupati Ende. Dari wawancara itulah, PSI akan menentukan sikap secara kepartaian,” pungkasnya.
(JR/Red)