Lewoleba, NUSALONTAR.com — DPRD Kabupaten Lembata menggelar rapat internal bersama pihak Sekretariat Dewan, Senin (15/2/2021).
Berdasarkan rekaman saat rapat yang dikirimkan ke redaksi NUSALONTAR.com, dalam rapat itu politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Gabriel Raring, mempertanyakan keputusan Bupati yang termaktub dalam Surat Edaran Bupati yang dikirim kepada semua kepala OPD. Salah satu isinya adalah memerintahkan agar tidak membayar Tunjangan Perumahan, Tunjangan Transportasi, serta Biaya Reses, khusus untuk semua anggota DPRD.
Keputusan ini berimbas pada Keputusan Badan Musyawarah (Banmus). Banmus telah menjadwalkan waktu Reses yang sedianya terjadi dari tanggal 15 – 20, tapi keputusan itu akhirnya batal dilaksanakan lantaran ada edaran dari Bupati.
Menurut Gabriel, keputusan itu tidak humanis, juga tidak populis karena mengangkangi hak-hak DPRD, juga mengebiri hak rakyat. Baginya, gaji dan tunjangan adalah hak anggota DPRD, dan kegiatan Reses adalah kegiatan wajib anggota DPRD bersama rakyat di daerah pemilihan masing-masing.
Terkait pembatalan agenda reses, Gabriel pun mempertanyakan kewibawaan keputusan Banmus soal agenda kerja DPRD yang dibuat bersama pihak eksekutif. Masih adakah wibawa dan harga diri pimpinan DPRD, khususnya ketua DPRD yang melegitimasi keputusan Banmus melalui surat keputusan ketua DPRD?
Bagi Gabriel, harga diri pimpinan dan lembaga DPRD sudah tidak ada lagi, karena seluruh anggota DPRD seakan tidak berdaya di hadapan Bupati. Ketika Reses tidak dapat dilaksanakan dengan alasan uang belum ada, secara kelembagaan DPRD hanya diam dan manut saja.
Gabriel juga menyayangkan keputusan Bupati melalui edaran kepada semua kepala OPD, termasuk Sekwan, untuk tidak dibayarnya tunjangan perumahan, tunjangan transportasi, dan biaya reses DPRD Lembata sejak bulan Januari 2021. Lucunya, kata Gabriel, keputusan Bupati ini dibuat dengan alasan Bupati merasa tersinggung dengan pemberitaan media terkait honor fantastis yang diterima Bupati, yakni senilai 408 juta perbulan untuk Tahun Anggaran 2021. Katanya Bupati malu karena media memberitakan hal itu sehingga publik akhirnya tahu.
Atas dasar itu, Gabriel mengajak seluruh anggota DPRD untuk menggunakan hak-hak yang melekat pada lembaga DPRD, yakni memanggil Bupati, mempertanyakan, dan meminta pertanggungjawaban terkait keputusannya itu. “Itu baru kita jago, itu baru wibawa dan marwah lembaga ini kita jaga,” ujar Gabriel.
Gabriel menegaskan bahwa seluruh kegiatan pemerintahan ada mekanismenya, semua ada aturannya, termasuk soal gaji dan tunjangan DPRD. “Kita harus bisa bedakan apa itu gaji, apa itu tunjangan dan apa itu honor. Khusus kita DPRD, yang kita terima cuma gaji dan tunjangan, dua komponen ini adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan karena didasarkan pada PP 18 tahun 2017. Sedangkan honor yang banyak-banyak itu hanya dimiliki oleh pihak eksekutif. Tentang honor, DPRD hanya melekat pada Pimpinan DPRD yakni honor Forkopinda kategori OB alias Orang Bulan,” urainya.
“Pimpinan, kenapa Hak kita tidak dibayar? Sedangkan semua kewajiban sudah kita jalankan. Apa masalahnya sehingga tunjangan DPRD tidak dibayar? LHP BPK selama ini tidak ada temuan, besaran tunjangan yang kita terima sama dg DPRD periode sebelumnya, dan besaran tunjangan tidak lebih besar dari tunjangan yang sama yang diterima DPRD propinsi, lantas masalahnya di mana? Ironis benar, keputusan bupati yang menyandera hak-hak kita, dengan tau dan mau menabrak aturan. Lalu kita diam saja kah? Atas dasar itu saya ajak kita semua, setelah rapat ini kita laporkan Bupati ke pihak penegak hukum. Berani tidak? Masa kita ber-25 kalah di hadapan seorang Bupati,” sergahnya.
Lebih jauh Gabriel juga menyoroti kinerja Satgas Penanganan Covid-19 yang menurut dia kerjanya tidak jelas tapi honornya jelas, bahkan yang tidak bekerja pun terima honor. Bahkan nilainya lebih besar dari mereka yang bekerja keras. “Dosa, kita, karena di puskesmas – puskesmas APD sangat terbatas bahkan tidak ada, tapi kita yang tidak melakukan apa – apa juga terima honor,” komentarnya.
Gabriel melanjutkan, lebih parah lagi dengan edaran terbaru Bupati Lembata soal penutupan semua pasar kecuali pasar TPI, yang dipandangnya sebagai keputusan yang diskriminatif dan tidak pro rakyat.
“Rakyat punya harapan ekonomi itu ada di pasar-pasar. Di pasar mereka bisa mengais seribu, dua ribu. Lalu kalau ditutup alasan Covid-19, lalu rakyat mau cari uang bagaimana lagi? Kenapa toko-toko tidak ditutup juga?,” tanya Gabriel.
Belum lagi, papar Gabriel, bencana kematian babi yang sudah mencapai 5000-an ekor babi. “Sampai sejauh ini belum ada sikap pemerintah untuk merespon hal ini secara bijak dan bertanggung jawab. Apakah babi masyarakat yg mati harus dibayar, atau pengadaan babi untuk dibagi – bagikan gratis ke masyarakat, semuanya belum jelas,” tuturnya.
Terkait erupsi gunung Ile Lewotolok, Gabriel mempertanyakan pemanfaatan uang bantuan pihak ketiga, “Menurut informasi, ada bantuan yang 1 M dari BNPB, 500 juta dari salah satu DPR RI, 100 juta dari bupati Sikka, belum lagi sumber bantuan yang lain. Pertanyaannya, bagaimana dengan pemanfaatan dana – dana bantuan itu. Bagaimana pertanggungjawabannya?”
Gabriel menyesalkan pengelolaan dana bantuan yang tidak transparan, padahal itu adalah bantuan kemanusiaan karena bencana.
Mengenai proyek – proyek bermasalah dan mangkrak, Gabriel meminta pimpinan DPRD yang tergabung dalam Forkopinda untuk meminta Kapolres, Ketua Kejaksaan, juga Pengadilan, kalau bisa ‘menjemput bola’ dalam memproses semua pihak yang berkontribusi terhadap proyek bermasalah dan mangkrak. “Itu baru Forkopinda. Lembaga DPRD tidak perlu bentuk Pansus kalau aparat penegak hukumnya pro aktif,” tandas Gabriel.
(JR)