Kupang, NUSALONTAR.com — Komunitas Sahabat Alam – WALHI NTT, menghelat diskusi virtual via Zoom Cloud Meeting dengan tema ‘Pembungkaman Suara Rakyat di Ruang Demokrasi’.
Diskusi yang terjadi pada pada Jumat, (19/02/2021) itu menghadirkan 6 orang narasumber, yakni, Yuvensius S. Nonga, SH.MH dari Divisi SDA WALHI, Ketua Bidang Kaderisasi GMNI Cabang Waingapu Ferdy Lukas, Formatur/ Ketua Umum HMI Cabang Kupang Ibnu Hj. M. Kahrudin Tokan, Ketua LMND Eksekutif Kota Kupang Umbu Tamu Praing, Ketua GMKI Cabang Kupang, Eduard Nautu, dan Presidium Gerakan Kemasyarakatan PMKRI Cabang Kupang Rino Sola. Diskusi Virtual ini berlangsung selama tiga jam, dipandu oleh Sekretaris Sahabat Alam NTT, Vivin da Silva.
Yuvensius S. Nonga dari WALHI NTT dalam penyampaian materinya mengatakan bahwa sistem penegakan hukum tidak terlepas dari tiga unsur penting sebagai subsistem, yaitu Budaya hukum, Struktur hukum yang terkait dengan aparat penegak hukumnya, dan Substansi hukum dalam hal ini perundang-undangan.
Menurut Yuven, meskipun Presiden mendorong revisi UU ITE seperti pernyataannya beberapa waktu terakhir ini, sebaik-baiknya substansi hukum maka tetap menjadi buruk jika dijalankan oleh struktur hukum yang buruk. Maka sebaiknya wacana itu terus dikawal supaya ada tindakan nyata yang menjadi pertimbangan serius bagi pemerintah supaya masyarakat lebih aktif memberikan kritik.
Di NTT sendiri, kata Yuven, masih terjadi pembungkaman kebebasan berpendapat dan berekspresi, yang ditunjukkan oleh riset WALHI NTT dalam Tuak Lontar tahun 2020 bahwa ada 18 orang masyarakat dan aktivis yang dikriminalisasi serta lobby-lobby investor untuk mendapatkan tanah masyarakat.
“Ini menjadi pertimbangan yang serius bagi pemerintah untuk lebih jeli melihat persoalan yang terjadi dan sebagai masyarakat, aktivis, maupun mahasiswa. Mari bersama melakukan pendidikan atau pemahaman publik untuk lebih waspada terhadap pembungkaman secara halus berupa pembodohan masyarakat di ruang publik,” ajak Yuven.
Selanjutnya dari GMNI Cabang Waingapu Jefri Lukas, menyampaikan bahwa hal menarik yang perlu didiskusikan adalah bagaimana NTT, khususnya Sumba, menjadi daerah dengan banyak bentuk pembungkaman publik. Hal ini disebabkan oleh Sumba dengan Sabana, pariwisata, dan kekayaan alam lainnya itu menjadi incaran banyak investor.
Dengan negosiasi yang dilakukan dengan masyarakat dalam bentuk lobi, ungkap Jefri, pemerintah kemudian mengizinkan aktivitas investor di daerah Sumba. Kehadiran investor ini merugikan masyarakat, dimana masyarakat mulai kehilangan ruang hidupnya, pantai yang diprivatisasi, maupun tanah suku masyarakat adat tempat dihelatnya ritual-ritual adat yang digusur.
Namun setelah masyarakat angkat bicara untuk menyampaikan pendapat, tambahnya, terkadang konflik ini hilang begitu saja. Bahkan ada aktivis yang dikriminalisasi dan dipenjarakan dengan pasal dalam UU ITE karena cuitan-cuitan protes di facebook.
“Sejauh ini kami dari GMNI Waingapu sudah melakukan berbagai advokasi, bersama masyarakat memperjuangkan hak masyarakat untuk mendapatkan kembali ruang hidupnya, salah satunya terkait privatisasi pantai yang beberapa waktu lalu pernah dibatalkan,” ungkap Jefri.
Narasumber berikutnya yang mewakili HMI Cabang Kupang, Ibnu Hj. M. Kahrudin Tokan, dalam materinya menyoroti wacana-wacana kontemporer yang belum diselesaikan di tengah situasi kebangsaan saat ini, yakni kasus HAM terkait pembatasan kebebasan berekspresi dan berpendapat seperti kasus Munir dan Marsinah.
Ibnu menghubungkan teori Lawrence M Friedmann dengan realitas keindonesiaan hari ini. Pertama, untuk penempatan struktur hukum dimana negara menghadirkan stigma yang membuat adanya kesenjangan berupa konflik horizontal maupun vertikal antar negara dengan masyarakat maupun stakeholder dengan masyarakat kalangan bawah. Contohnya yang terjadi pada kasus Besipae maupun ketidakjelasan status kewarganegaraan masyarakat pulau Kera.
Kedua, substansi hukum di mana segala hal secara legitimasi sudah diatur namun dalam praktek masih banyak pelanggaran yang dilakukan aparat penegak hukum dengan intimidasi dari korporasi maupun pemerintah. Sehingga kebebasan berpendapat dan kepetingan itu terus dibenturkan.
Ketiga, terkait kultur hukum di mana rendahnya pemahaman masyarakat terhadap hak menyampaikan pendapat di muka umum membuat aktivis Cipayung maupun aktivis kemanusiaan lainnya dalam mengadvokasi masalah harus sampai ke akar rumput demi membangun kesadaran kolektif untuk masyarakat maupun pemerintah dan penegak hukum.
“Kedok pembungkaman demokrasi hari ini sudah naik tingkatan levelnya, tidak lagi berupa intimidasi lewat medsos, telepon, psikis dan fisik tapi berbasis isu pandemi seperti swab untuk membungkam pergerakan kemanusiaan sehingga ini harus terus menjadi wacana yang dibangun oleh aktivis Cipayung maupun aktivis kemanusiaan lain untuk terus membuka pemahaman publik,” jelas Ibnu.
Narasumber dari LMND Eksekutif Kota Kupang, Umbu Tamu Praing, menyampaikan tanggapannya terkait demokrasi Indonesia yang semakin mengalami degradasi dari bentuk aslinya. Menurutnya, pembungkaman ruang demokrasi yang terjadi di Indonesia, merujuk dari indeks demokrasi, sangat menurun dari tahun ke tahun.
Demokrasi hari ini, kata Umbu, telah berubah bentuk menjadi liberal dengan corak kapitalistik, dimana partisipasi masyarakat hanya dilibatkan ketika pemilu.
“Yang menjadi persoalan adalah wujud nyata demokrasi makin dipersempit, masyarakat hanya dilibatkan dalam demokrasi politik dalam hal ini pemilu yang dihelat lima tahun sekali, sedangkan masyarakat tidak dilibatkan dalam demokrasi ekonomi,” tutur Umbu.
Bentuk demokrasi yang hari ini cacat itu, kata Umbu, diakibatkan oleh pembungkaman masyarakat. Masyarakat tidak dilibatkan partisipasi/ suaranya terkait penentuan arah kebijkan bangsa dalam berbagai bidang.
“Tidak ada lagi demokrasi yang mementingkan musyawarah untuk mufakat. Kepentingan bersama itu kemudian terpinggirkan karena kepentingan birokrat atau elite untuk mengakumulasi modalnya dalam sistem kapitalisme. Dengan begitu, harapannya kita tetap melestarikan nilai demokrasi yang sesungguhnya dengan membangun pemahaman di masyarakat melalui konsolidasi,” ajak Umbu.
Ketua GMKI Cabang Kupang, Eduard Nautu, juga menyampaikan beberapa poin. Pertama, menurutnya, demokrasi kita hari ini mengalami penurunan yang sangat signifikan. Maka harusnya kita membangun sebuah kesadaran bersama bahwa kebebasan berpendapat di muka umum itu dijamin oleh konstitusi.
Kedua, ada upaya dari negara untuk membangun suatu ketakutan massa dengan menciptakan UU ITE di masa kepemimpinan SBY sepuluh tahun setelah reformasi, yang seolah menunjukkan bahwa prinsip negara kuat adalah ketika kita tidak boleh memberi kritik pada negara.
Dari beberapa kasus yang terjadi, kata Eduard, seperti kasus Intan Jaya, penembakan terhadap anggota FPI, dan penahanan terhadap kawan-kawan aktivis, membuktikan bagiamana kemudian nyawa kita tidak ada harganya apabila aktivitas kita menganggu stabilitas umum dan keamanan negara. Negara bisa saja mengambil nyawa kita, dan publik juga digiring untuk membenarkan ini.
“Kita tidak boleh saling curiga, juga tidak boleh tenggelam dalam euforia tentang UU yang sementara digiring untuk masuk ke prolegnas untuk dibahas. Sebab percuma jika kritik masih terus berbenturan dengan buzzer dan UU ITE. Maka kesadaran publik perlu dibangun bahwa kita semua punya hak dan dijamin secara konstitusional untuk memberi kritik,” imbuh Eduard.
Narasumber terakhir, dari PMKRI Cab.Kupang, Rino Sola, menyampaikan bahwa demokrasi itu sendiri merupakan suatu pemerintahan yang memberikan penekanan kekuasaan di tangan rakyat, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Tetapi kenyataannya, kata Rino, hari ini kita melihat bahwa peran rakyat terhadap pemerintahan itu hanya sebatas saat pemilu atau Pilkada, atau hanya berkaitan dengan kegiatan-kegiatan politik saja. Kita juga tahu bersama, dalam pengesahan Omnibus Law pun masyarakat tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, dimana kritik kita tidak didengarkan.
Bahkan beberapa waktu lalu, tambah Rino, unjuk rasa atau aksi-aksi tandingan menjadi tren untuk menggiring isu. Ada UU yang mengatur kebebasan berpendapat kita, namun meski dijamin oleh konstitusi sebagai aktivis ataupun masyarakat pada umumnya, kita harus tetap jeli dalam menyampaikan kritik-kritik ataupun pendapat kita secara terbuka.
Kita dipaksa memperhatikan bahasa yang digunakan, jangan sampai menjurus pada body shaming, agar tidak terkesan menjadi hoax atau ujaran kebencian, namun harus lebih jeli mengkaji isu dan menghubungkannya dengan fakta lapangan.
“Menurut saya UU ITE sendiri tidak perlu dicabut, hanya perlu dirapihkan saja, atau direvisi pasal-pasal yang berpotensi melebar ke sisi kanan atau sisi kiri. Sebab negeri ini tidak kekurangan regulasi, hanya saja realisasinya yang masih jauh dari kata cukup. Jadi sebaiknya kita lebih fokus pada melihat kasusnya,” pungkas Rino.
Sesi diskusi yang dihadiri oleh 70-an partisipan dari berbagai kalangan dan berlangsung cukup alot itu kemudian ditutup dengan sebuah kesimpulan singkat dari Vivin da Silva sebagai moderator, bahwa Kebebasan berekspresi dan berpendapat sesungguhnya esensial bukan bagi demokrasi dan hukum saja, tetapi juga bagi manusia.
Bicara HAM, jelas Vivin, apalagi yang berhubungan dengan kebebasan berekspresi dan berpendapat, itu bukan karena seolah-olah kita punya konstitusi tapi karena itu adalah hal yang manusiawi. HAM telah ada jauh sebelum negara, maka konstitusi dan negara seharusnya hanya sebagai alat fasilitasi hak tersebut tanpa menguranginya sampai melampaui batas.
“Agar kebebasan berpendapat dan berekspresi tetap hidup dalam ruang demokrasi maka semua elemen negara harus berpartisipasi aktif apalagi organisasi dan lembaga pegiat isu kemanusiaan agar terus berkolaborasi dalam aksi dan ide untuk membangun pemahaman mendalam kepada publik,” tutup Vivin.
Penulis: Yulianto Nggali Mara
Editor: Joe Rhada