Perempuan Itu (For Elisa)

Gambar Ilustrasi
Spread the love

CerpenNusalontar.com

Namanya Elisa. Umur sekitar 22 tahunan. Pendek tapi semok. Keracak (tidak terlalu memperhatikan penampilan) tapi cerdas. Lembut tapi tangguh.

Bacaan Lainnya

Elisa punya pacar. Tampan dan atletis. Type pria yang konon bikin para gadis salah tingkah. Apa lagi jika ditunjang dengan perut kotak-kotak, habis sudah.

Tapi hubungan Elisa dan pacarnya tidak berjalan mulus, lantaran pacarnya lebih suka lelaki kemayu ketimbang perempuan ayu. Kurang menantang katanya, juga gak ada sensasinya. Edan.

Maka tinggallah perempuan semok dan cerdas itu sendirian menikmati hari-hari pedihnya dengan menatap lautan. Menikmati deburan ombang yang silih berganti pecah di bibir pantai.

Bagi Elisa, senja dan lautan adalah simbol kesetiaan juga gambaran sempurna mengenai keindahan. Cinta? Ah, itu hanya omong kosong. Kamuflase buat Elisa. Rupanya hati Elisa tidak hanya patah, tapi hancur berantakan. Luluh latak. Tidak heran jika dia antipati dengan kata cinta.

Di tempat Elisa menatap lautan itulah untuk pertama kalinya kami bertemu dan saling mencuri tatapan hingga berujung dengan saling menukar senyuman. Bahkan sebelum pulang entah senja keberapa kami juga saling bertukar nomor kontak.

***

Dermaga tua di pinggiran kota. Pukul 19.00 lebih sedikit saat motor tuaku tiba membawa kami berdua. Aku dan Elisa, gadis pemuja aroma pantai sekaligus penikmat senja.

Elisa mengenakan kaos putih berbunga merah pudar, kelihatan dari balik jaket merah marun yang dibiarkan tanpa dikancing rosluitingnya. Rambut ikalnya dibiarkan tergerai membalut lehernya yang seksi.

“Ade manis sekali malam ini” kataku menggodanya. “Ho’o e, baru pertama jalan su mulai dengan gombal memang”, katanya dengan logat Ende yang khas.

“Tidak le, ja’o (saya) omong apa adanya,” kataku meyakinkannya.

Kuajak Elisa duduk di tembok pembatas yang ada di pinggiran dermaga. Kami berdua duduk memandang langit sembari menikmati deburan ombak.

Saat kerlingan mataku singgah di separuh wajahnya, kulihat Elisa tengah khusuk memandangi langit, seakan sedang menghitung jumlah bintang. Kubiarkan dia menikmati keheningan hatinya diiringi harmoni semesta yang menghiasi imajinasinya. Entah apa yang Elisa pikirkan. Aku pun tak ingin bertanya.

Hampir seperempat jam kami larut dalam keheningan hingga sebuah pertanyaan membuyarkan lamunanku.

Kaka punya pacar tidak marah ka kaka ajak saya jalan-jalan begini?”

Pertanyaan khas perempuan seusianya ketika ada lelaki yang ajak jalan. Sebetulnya maksud pertanyaannya jelas, saya sudah ada pacar atau belum.

Maka kujawab Elisa dengan sedikit diplomatis, “Hanya jalan saja juga, lagian dari mana ade tau saya sudah ada pacar?”

Aih kaka ganteng begini masa tidak ada pacar, saya tidak percaya!” Elisa berusaha menemukan keyakinan tentang statusku, apakah masih jomblo atau sudah ada gandengan. Tapi kubiarkan dia menebak-nebak tanpa berusaha memberi jawaban lugas.

Hampir dua jam kami habiskan waktu di dermaga tua itu. Tak ada moment yang istimewa. Tapi kami banyak tertawa. Dalam keremangan cahaya lampu dermaga kulihat ada binar bahagia di mata indahnya. Ada beban yang mulai terlepas dari pundaknya. Lebih tepat lagi dari hatinya.

***

Kaka, kita pi Kezimara e?” Itu bunyi salah satu pesan yang ada di kotak masuk hp Nokia jadulku. Dari Ellisa.

Setelah menikmati debur ombak sembari menatap langit yang dihiasi kelap-kelip bintang di dermaga tua itu kami memang belum pernah saling menghubungi lagi. Aku sendiri sedang sibuk dengan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah tempatku mengajar sebagai guru honorer. Kupikir Elisa juga lagi sibuk dengan tugas akhirnya.

Lagipula pertemuan terakhir kami baru terjadi beberapa hari yang lalu.

Kubaca pesan itu sekali lagi untuk meyakinkan hatiku. Aku tak menyangka kali ini Elisa yang mengajakku jalan-jalan.

“Jangan-jangan anak ini mulai ada perasaan padaku,” aku membatin.

Kulirik jam tangan tiruan seharga 70 ribuan yang melingkari pergelangan tangan kiriku. Pukul 15.00 lebih sebelas menit.

“Memangnya ade tidak takut kaka punya pacar marah ka?” Kubalas sms-nya dengan nada menggoda.

“Oh, kalo begitu tidak usah saja e kaka?”

“Ehem, benaran tidak mau ko?” Kugoda dia lagi di sms.

“Takut le kaka”, dia membalas lagi.

“Aman sa ade, jam setengah enam kaka jemput e?”

***

Kezimara (huruf Z dalam aksen Ende, di lafalkan dengan menarik lidah agak ke belakang, jangan menekan lidah terlalu kuat ke atas, nanti malah lebih mirip pelafalan huruf S) adalah nama tempat di sebuah perbukitan. Posisinya berada di sebelah barat agak ke utara kota. Dari tempat itu kita bisa memanjakan mata dengan menatap kota Ende yang diapit oleh dua gunung (Meja dan Wongge), serta satu bukit (Kengo) dengan kerlap-kerlip lampu kotanya yang menawan.

Ende di malam hari bagai gadis sintal yang sedang duduk menanti kekasihnya dalam keremangan cahaya lampu taman. Eksotis dan menggoda namun tetap elegan.

Pukul 18.00 lebih tiga belas menit kami tiba di bukit Kezimara. Cuaca cerah. Ada beberapa pasangan muda-mudi, juga pasangan orang tua yang tengah ber-selfie ria sembari menikmati pemandangan kota. Beberapa kelompok remaja cekikik-cekakak saling menggoda satu dengan yang lain. Di sebuah pojokan, tepat di bawah pohon Kesi (Reo) pasangan yang berusia sekitar 45 tahunan sedang saling menatap sambil tersenyum penuh arti.

Aku dan Elisa berusaha mencari posisi yang agak jauh dari orang-orang. Elisa masih berdiri saat kuletakan pantat teposku di atas dedaunan yang kujadikan alas untuk duduk. Dia tampak gembira sekali.

Kupandangi dia dari belakang. Elisa seksi sekali sore ini. Kaos oblong lengan panjang berwarna biru membungkus ketat tubuhnya yang semok. Celana panjang leging membuatnya tampak santai dan seksi. Lekukan tubuh sintalnya tergambar sempurna. Di lehernya melingkar syal berwarna gelap.

“Anak ini apa adanya tapi sangat menarik,” aku membatin.

Kaka tempat ini indah sekali?” katanya riang sambil sekilas menoleh ke arahku sekilas.

“Saya sudah beberapa kali ke sini, namun tiap kali datang selalu saja terasa baru pertama kali datang,” katanya lagi.

“Datang dengan paitua (pacar) ko?” Kutanya dia dengan nada menggoda.

“Aihhh tidak kaka, dengan kawan-kawan le,” katanya dengan aksen Ende yang agak kental, berusaha meyakinkanku bahwa pacarnya (dulu) tidak pernah membawanya ke sini.

Kaka ju sering ke sini ka, dengan maitua pasti?” katanya lagi dengan aksen Ende yang kental.

“Jarang ade, saya tidak terlalu suka jalan-jalan na“, jawabku sambil menarik tangannya untuk duduk di sampingku.

Ketika Elisa hendak duduk, harum aroma rambutnya membuat hatiku berdebar tak karuan. Rambut Elisa wangi sekali.

Tiba-tiba kurasa aliran darahku mengalir lebih cepat dari biasanya. Helaan nafasku terasa mulai tidak beraturan. Apalagi wangi parfum yang bersenyawa dengan aroma tubuhnya benar-benar menggoda imajinasiku. Menggoda namun tidak menyengat. Seksi tapi tetap anggun.

Jantungku seakan berhenti berdetak saat Elisa menyandarkan kepalanya ke bahu kananku.

Kaka….” bisiknya lembut sembari menengadah menatap wajahku. Sangat dekat.

Ada gelora itu menghentak gairahku. Aku hampir kehilangan kendali atas hasrat yang mengguncang hati dan pikiranku. Hembusan nafas Elisa yang harum dan lembut terasa menjalar hingga ke seluruh tubuh bersama aliran darahku. Hampir saja kurengkuh tubuh Elisa ke dalam pelukanku andai saja akal sehatku benar-benar telah dikendalikan oleh hasrat.

Tidak.

Aku tidak ingin memanfaatkan kerapuhan Elisa untuk memuaskan gairah sesaat. Karena aku benar2 mulai menyukai gadis ini. Aku mulai menyukai banyak hal tentangnya. Aku suka rambutnya, caranya tertawa, binar bola matanya saat menatapku, aku suka caranya memperlakukanku. Ah, mungkinkah aku mulai jatuh cinta (lagi)?

Atas nama segala hal itu aku ingin memperlakukannya dengan istimewa. Aku ingin semuanya berproses secara alamiah dan penuh rasa hormat. Sepertinya Elisa telah berhasil merubah sudut pandangku. Aku sangat menyukainya sekaligus menaruh rasa hormat padanya. Termasuk pada kepolosannya.

Pukul 20.00 lebih lima belas menit saat kuajak Elisa pulang.

Dalam perjalanan kami lebih banyak diam. Kami bergumul dengan pikiran dan perasaan masing-masing. Tapi dalam diam rasa itu mulai menemukan jalannya sendiri. Dalam diam kami terhubung. Terhubung oleh rasa yang tumbuh dengan cara dan polanya sendiri.

***

“Saya tidak tahu, apakah harus membenci masa lalu atau mensyukurinya, tapi ada satu hal kutahu dengan pasti, aku bersyukur karena pernah bertemu denganmu”.

Itu kalimat yang dikirimkan Elisa melalui pesan pendeknya.

Ada riak bahagia yang bergemercik di samudera hati. Bergelombang mengayunkan jiwa. Menggiring harapan ke pesisir impian. Meski ada tanya mengintip di balik tirai keraguan, mungkinkah aku dan dirimu menjadi kita?

Sejak pesan pendek itu nampak di layar ponselku, hari-hari kami menjadi penuh warna. Rindu tiada henti menghantui rasa. Getaran aneh tak lelah menghuni sukma.

Waktu berlalu dan musim pun berganti. Kunikmati setiap peristiwa yang kami alami dengan segala pengalaman di dalamnya. Mencoba memberi makna pada tiap moment yang kami hadirkan bersama.

Ada simpul yang mulai terikat kuat, saat dua rasa melebur dalam satu asa. Simpul yang menyatukan seluruh pengalaman kami berdua, menyatu dalam impian dan harapan bersama. Kusebut simpul itu cinta. Yah aku mulai mencintainya. Mencintai seluruh pengalaman yang dia punya. Mencintai segala tentangnya.

Dan kini, jauh di relung hati yang paling dalam, serasa ada magnificat yang terdaras tanpa sadar. Lantunan pujian yang mengalir dengan segenap perasaan. Yah. Aku mensyukuri kehadirannya. Aku mensyukuri perjumpaan itu. Dan aku percaya itu adalah anugrah. Tepatnya anugrah terindah.

****

Jingga menghiasi senja berhiaskan gulungan awan di langit sebelah barat. Senja di pantai ini masih sama, namun terasa lebih indah. Karena aku menikmatinya bersama perempuan itu.

Namanya Elisa.

(JR)

 

 

Pos terkait