Warung Kopi – Nusalontar.com
Sebagai orang Sumba kadang banyak hal terlintas dalam pikiran ketika melihat satu atau lebih rombongan manusia mengarak seekor kebau jantan, katakanlah seharga 40 juta, menuju sebuah acara adat. Entah kematian, woleka, bangun atau peresmian rumah, dan perkawinan. Tentang perkawinan kita abaikan saja dulu karena ceritanya lain.
Satu ekor kerbau jantan diarak dengan iringan gong dan tari-tarian, bahkan sekarang dengan bunyi klakson motor yang memekakkan telinga-sebuah kegilaan model baru.
Biasanya yang berpikir untuk mendapatkan, umumnya berutang, hanya satu atau dua keluarga. Tentu ada juga yang berasal kandang sendiri tapi sangat sedikit. Kebanyakan orang mengambil dari kandang orang lain. Entah membeli dengan uang cash atau sekedar bayar ‘depe’ dulu atau bahkan benar-benar modal bibir.
Mereka yang ikut ramai-ramai mengarak dengan teriakan, gas motor, cabut parang dan ronggeng pada umumnya hanya penggembira yang tidak menyumbang satu sen pun. Yang ada hanya ikut senang-senang dan bangga apalagi sudah kena tap ‘aka’ atau ‘moke’.
Kalau satu ekor kerbau seharga 40 juta ditanggung seseorang atau dua orang, masing-masing 20 juta, dia harus menunggu berapa lama baru bisa bayar lunas.
Katakanlah gajinya 5 juta per bulan, kan tidak mungkin dia pakai semua uang itu. Okelah dia berani cicil 2,5 jt per bulan. Untuk hidup rumah tangga dia hanya pakai 2,5 juta dengan catatan ada hasil kebun dan ternak kecil-kecilan.
Ini berarti selama 8 bulan dia harus kencangkan ikat pinggang. Itu kalau pemiliknya mau dicicil. Kalau dia minta uang cash, biasanya ambil pinjaman bunga lipat. 20 juta bisa berubah jadi 50 juta bahkan 100 juta. Utang yang harus dibayar bisa berlangsung selama 3 tahun.
Ini juga mengandaikan selama 8 bulan tidak ada lagi pengeluaran ekstra, entah kematian atau membayar regis uang kuliah anak.
Situasi ini bagaikan menggali kubur untuk diri sendiri demi kebanggaan sesaat yang semu. Dan ini hanya bahasa lain dari kebodohan karena budaya.
Budaya memang tetap harus dihargai dan dilestarikan. Tapi yang mana dulu. Jaman dulu para leluhur kita punya kandang kerbau, kuda dan sapi. Kapan butuh mereka tinggal ambil dari kandang.
Sekarang, jangankan kandang kerbau, rumah sendiri saja tidak berbentuk. Tapi anehnya, begitu ada yang undang pesta, lupa semua kemiskinan di rumah. Yang ada di kepala: “saya turunan orang kaya”. Selesai pesta, begitu ada tagihan utang, berutang lagi ke orang lain atau larilah ke Bali jadi buruh kasar.
Untung sekarang ada covid-19. Banyak pesta ditiadakan. Lebih baik lagi kalau saat ini Pemerintah Daerah Sumba Barat Daya dan seluruh Sumba, ‘tendes’ lagi dengan Perda Pesta Adat, apa pun bentuknya, supaya mereka yang sok jago, sok kaya, bisa tahu diri sedikit.
Kalau tidak, anak-anak kecil yang lahir macam jamur di musim hujan akan semakin terabaikan, bukan saja masa depannya tapi hidupnya setiap hari. Anak istri kelaparan di rumah, bapaknya sibuk bajalan ke rumah orang. Giliran ditanya ada perlu apa, jawabnya “hanya jalan-jalan”. Tapi dalam hati berharap ada kopi dan makan siang di rumah orang.
Apalagi sekarang lagi ramai persiapan Pilkades. Ada yang bisa jadi tim sukses untuk banyak calon. Alasannya, biar makin mudah dapat makan siang dan makan malam. Anak 7 orang dan istri di rumah tidak tahu makan apa.
Inilah Sumba di jaman modern. Masih ada banyak kisah lainnya.
Salam Kemajuan-Kesejahteraan.
(P. Kimy Ndelo, CSsR)