NUSALONTAR.COM – Kupang – Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo berulang kali menyebut soal Restorative Justice atau Keadilan Restoratif dalam penyelesaian perkara oleh anggota Polri.
Perihal Restorative Justice ini, utamanya Sigit tekankan dalam upaya penanganan perkara UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Nomor 19 Tahun 2016.
Ia bahkan menerbitkan surat edaran pada 19 Februari 2021 yang salah satu isinya meminta penyidik memiliki prinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara.
Selain itu, Sigit secara khusus berpesan kepada Kabareskrim Komjen Agus Andrianto untuk benar-benar mengawal penegakan hukum yang berkeadilan. Sigit tidak ingin masyarakat terus-menerus merasa bahwa hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.
Ia menyatakan, Polri harus bisa menempatkan diri sebagai institusi yang memberikan rasa keadilan.
Sigit menegaskan soal pentingnya mengutamakan pendekatan Restorative Justice dalam penyelesaian perkara.
Berkaitan dengan hal tersebut, Dosen Sosiologi Fisip Universitas Nusa Cendana – Kupang, Lasarus Jehamat, menyampaikan bahwa Restorative Justice atau Keadilan Restoratif lebih efektif untuk menekan laju permasalahan.
Hal itu disampaikan oleh Lasarus Jehamat dalam rangka Evaluasi Kinerja Polri aspek Restorative Justice di NTT, Rabu (12/05/2021).
Jehamat menambahkan, berdasarkan riset, Restorative Justice sangat efektif dari segi biaya dan keterjangkauan dalam menyelesaikan persoalan.
”Misalkan di sebuah desa terpencil ada yang memosting sesuatu di media sosial. Postingan itu sangat menganggu keamanan kita semua. Kemudian orang itu dipanggil polisi dan dia harus datang, itu kan dari aspek biaya sangat repot”, jelas Jehamat.
Menurut Jehamat, dari aspek efektifitas orang lebih cepat sadar ketika bersama-sama bertemu di suatu ruang dengan anggota kepolisian.
“Korban maupun pelaku dimediasi untuk saling memahami. Itu tingkat kesadarannya jauh lebih baik, ketimbang mengikuti aturan yang formal. Mereka lebih bisa menerima, baik korban maupun pelaku, bicara dari hati ke hati dan berdamai,” sambung Jehamat.
Menurutnya, penerapan Restorative Justice dalam tugas kepolisian, tentu ada batasan juga. Artinya, ada kasus yang yang mengedepankan Restorative Justice, ada juga kasus yang tidak bisa diterapkan Restorative Justice. Terutama untuk kasus-kasus yang mesti memberikan efek jera kepada pelaku.
“Contonhya seperti kasus korupsi, menurut saya agak sulit, katakanlah bahwa pelaku membayar denda dan lain sebagainya, dan publik tahu dia membayar itu, itu bisa berdampak buruk di kemudian hari,” ungkapnya.
Lanjutnya, “Semua sangat tergantung konteks kasusnya. Untuk kasus-kasus yang berdampak buruk, luas, dan masif, itu memang berdampak buruk kalau menerapkan Restorative Justice.
Menurutnya, ada pandangan yang optimis bahwa adanya pendekatan Restorative Justice itu bisa meningkatkan kesadaran masyarakat untuk tidak melakukan tindakan kejahatan. Tapi dalam batasan tertentu “masyarakat perlu dikontrol”.
Lasarus pun mengapresiasi dan mendukung tindakan Polri dalam mengedepankan edukasi, mengedepankan sikap persuasif, kemudian mengupayakan langkah-langkah yang bersifat Restorative Justice.
“Sejauh ini, kesan pihak yang berkonflik, hampir semua di antara mereka menyebut model restoratif ini memberi beberapa dampak. Selain biaya rendah, pertemuan dari hati ke hati ternyata jauh lebih bisa diterima ketimbang penyelesaian melalui jalur hukum positif,” tandasnya.
Untuk diketahui, Polda NTT dan jajaran selama 100 hari pelaksanaan Program Prioritas Kapolri telah menagani 738 perkara dengan pendekatan Keadilan Restoratif atau Restorative Justice. (JR)