JAKARTA – Pihak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) akhirnya buka suara menanggapi komentar pedas yang dilontarkan beberapa anggota DPR RI pada saat Rapat Kerja dengan Kejaksaan Agung (Kejagung), Senin (17//02/022).
Kepala Kejati NTT, Dr. Yulianto, SH., MH., melalui Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati NTT, Abdul Hakim, kepada para wartawan, Selasa (18/01/2022) sore, mengungkapkan bahwa apa yang disoroti Komisi III DPR RI adalah bagian dari koreksi terhadap Kejati NTT. Namun ia enggan menanggapi sorotan anggota Komisi III itu karena menurutnya yang paling tahu kinerja Kejati NTT adalah masyarakat NTT itu sendiri.
“Saya pribadi, ya, yang tahun NTT itu siapa? Yang tahu kinerja Kejati NTT itu siapa? Pengusaha itu kah, Komisi III (DPR RI, red) kah, atau siapa di luar yang ngomong, atau masyarakat yang tahu? Yang tahu kinerja Kejati NTT itu masyarakat. Saya cuma ingin jawab itu. Silahkan saja mau omong apa, yang penting kita tunjukan dengan kinerja,” ucap Abdul Hakim saat ditanyai tanggapan Kejati NTT terhadap sorotan Komisi III DPR RI.
Ia menambahkan bahwa apa yang disoroti oleh anggota Komisi III DPR RI merupakan bagian dari koreksi terhadap Kejati NTT.
“Itu bagian dari koreksi juga terhadap kami, kalau ada koreksi ya kita perbaiki,” imbuhnya.
Ditanyai tentang proses hukum terhadap oknum Jaksa yang diduga memeras kontraktor, Abdul Hakim menjawab bahwa oknum Jaksa dimaksud telah dinonjobkan.
“Sudah ada gantinya kan berarti sudah non-job, dia. Yang non-jobkan dari pusat, bukan kita,” jelasnya.
Ia juga menjelaskan bahwa dalam berbagai kesempatan Kepala Kejati NTT selalu memberi pesan agar personilnya tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum.
“Beliau, (Kepala Kejati, red) selalu menekankan untuk tidak bermain proyek,” tandasnya.
Kontraktor Diperas Oknum Jaksa
Untuk diketahui, dalam Rapat Kerja antara Komisi III DPR RI terungkap bahwa ada seorang kontraktor bernama Hironimus Taolin (HT) yang diperas sebanyak dua puluh(20) kali oleh oknum Kepala Seksi Penyidikan (Kasidik) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Kundrat Mantolas, SH., MH (KM), dengan nilai Rp100 juta/satu kali setor (ika ditotalkan Rp2 Miliar).
Hal itu diungkapkan anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDIP, Artheria Dahlan, dalam Rapat Kerja Komisi III DPRI bersama Kejagung, Senin 17 Januari 2022, di Gedung Senayan Jakarta. Video hasil Raker yang diunggah itu kemudian viral di media sosial.
“Hironimus (Hironimus Taolin, red) di NTT, Dia ini diperas sama (oleh) Jaksa, yang namanya Kundrat Mantolas, Kasidik Kejati NTT. Dia selalu diancam untuk diberikan SP (Surat Panggilan). (Hironimus Taolin, red), sudah menyetor Rp100 Juta (sebanyak) 20 kali,” sebut Artheria Dahlan dalam video itu.
Oleh karena perilaku Jaksa Kundrat Mantolas itu, sambung Artheria, kontraktor Hironimus Taolin akhirnya menyerah dan melaporkan Jaksa Kundrat ke Satgas 53 Kejagung RI, yang selanjutnya terjadi peristiwa OTT (Operasi Tangkap Tangan) Jaksa Kundrat Mantolas di rumah Hironimus Taolin pada 22 Desember 2021 lalu.
“Apa yang terjadi sekarang pak, tiba tiba sekarang si Hironimus ini dipanggil sama Kejati-nya Pak, Lid (penyelidikan) sebentar langsung Dik (penyidikan) Pak. Saya minta yang gini-gini jangan terjadi lagi Pak. Orang jadi takut ngelapor, Pak!” tegasnya.
Senada, Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Demokrat, Beni Kabur Harman (BKH) juga menegaskan bahwa pelapor (Hieronimus Taolin) harus dilindungi. Menurutnya, kontraktor Hironimus Taolin dalam kasus OTT Jaksa Kundrat Mantolas adalah korban.
“Yang disebut saudara Arteria Dahlan tadi, Hironimus Taolin, adalah Korban,” ujarnya.
BKH mengaku bangga karena Jaksa Kundrat Mantolas yang mendatangi rumah Hironimus Taolin pada 22 Desember 2021 ditangkap langsung oleh Satgas 53 Kejagung. Namun kebanggaannya hilang setelah mengetahui Hironimus ditangkap oleh Kejati NTT.
“Kebanggaan saya kemudian perlahan-lahan hilang, apabila ada sesuatu dibalik ini. Apa sesuatunya ini? Setelah Jaksanya (KM) ditangkap oleh kejaksaan Agung, Saudara Hironimus tadi tidak ada angin, tidak ada hujan, dipanggil oleh Kejaksaan (Kejati NTT, red) dan ditetapkan sebagai tersangka. Kasusnya sudah disidik,” ungkapnya.
Menurut BKH, HT adalah kontraktor kecil, yang kasusnya terjadi pada tahun 2015 lalu (sudah 6 tahun berlalu), namun diungkit-ungkit lagi oleh Kejati NTT.
“Pak Jaksa Agung tahulah, di NTT ini dapat proyek ini, kalau nggak (tidak) dibeli anggarannya susah. Udah beli biayanya, ada juga biaya keamanan hukum di Kejaksaan, Kepolisian,” bebernya.
Lebih aneh lagi, sambung BKH, ada sejumlah oknum Jaksa ikut bermain proyek di NTT. Terkait persoalan tersebut, BKH mengaku sudah berkali kali mengangkat persoalan tersebut di sidang DPR RI, tetapi juga kurang berdampak pada menurunnya kasus-kasus korupsi di NTT.
BKH juga mengungkapkan bahwa dirinya sering mendengar banyak keluhan bahkan kritikan yang datang dari masyarakat NTT (termasuk terhadap dirinya, red) soal ketidakjelasan penyelesaian kasus-kasus korupsi di NTT.
“Nggak ada kemajuan apapun di NTT. Betul, tetapi mungkin juga Kajati-nya sudah sumpek juga, karena terlalu lama di sana. Sudah dua tahun lebih pak. Banyak juga kelompok yang datang sama saya, pak Beny kalau bisa Kajati-nya dipindahkan,” ungkapnya.
Selain itu, BKH juga menyoroti banyaknya Kajari di NTT yang bukannya menyelesaikan masalah, tetapi malah bikin masalah. Kejaksaan, kata BKH, adalah bagian dari problem penegakan hukum di NTT.
“Oleh sebab itu, pak Jaksa Agung, saya mohon supaya tertibkan Kajati NTT ini. Tolong, tadi korban itu, Hironimus Taolin itu dikawal, diamankan,” harapnya. (JR)