Gubernur NTT Minta Bupati dan Walikota Bekerja Secara Luar Biasa untuk Turunkan Stunting

Viktor Bungtilu Laiskodat

KUPANG (NusaLontar.com) – Presiden RI, Ir.  Joko Widodo telah menetapkan angka stunting pada tahun 2024, harus mencapai 14 persen. Dengan sisa waktu yang amat singkat, sekitar 2 tahun lebih upaya dan aksi nyata percepatan penurunan stunting terus digalakan. Upaya itu harus berawal dari pendataan.

“Konvergensi dan komitmen boleh tinggi tapi kalau data salah, aksi menjadi tidak tepat sasar serta hasilnya sama. Kami sudah mengembangkan aplikasi Elektronik Siap Nikah Siap Hamil (Elsimil). Tiga bulan sebelum nikah, pasangan yang akan menikah dicatat identitasnya, NIK, Umur dan dikakukan pemeriksaan anemia. Khusus calon pengantin wanita  diukur berat badannya berapa, tinggi berapa, lingkar lengan atas berapa serta indeks masa tubuhnya. Kami punya pasukan lapangan (pendamping keluarga,red) yang akan membantu pencatatan sekaligus memasukan data  dalam aplikasi Elsimil,” kata Kepala Badan  Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo dalam sambutannya pada kegiatan Sosialisasi Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Angka Stunting Indonesia (RAN PASTI) di Provinsi NTT yang berlangsung di Hotel Aston Kupang, Jumat (04/3/2022).

Bacaan Lainnya

Menurut mantan Bupati Kulon Progo Provinsi  Daerah Istimewa Yogyakarta tersebut, aplikasi Elsimil merupakan data pencatatan  dan pelaporan yang sifatnya by name by address. Dengan laporan yang diberikan secara terus-menerus oleh pendamping keluarga yang jumlah mencapai 4.200 lebih orang yang tersebar di semua desa/kelurahan di NTT, Gubernur dan para Bupati punya data di mana calon pengantin dan bayi yang lahir yang punya potensi stunting.

“Pada dasbor Pak Gubernur, setiap hari bisa terlihat dan terpantau bayi yang lahir hari ini yang panjangnya kurang dari 48 cm itu siapa dan dimana, alamatnya di mana. Saya titip di Kaper (Kepala Perwakilan BKKBN NTT,red) agar buat dasbor ini untuk pa Gub (Gubernur,red) supaya pa gub tahu yang nikah hari ini siapa, yang lingkar lengan kurang dari 23 cm siapa dan di kabupaten mana.  Kalau tidak dikerjakan dan ditreatmen, akan  ketahuan. Kuncinya di situ. Aplikasi ini  lebih efisien karena kita tidak  mungkin bisa terapi semua masyarakat. Kami juga sudah dapat dukungan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika  untuk dukungan server demi kelancaran aplikasi ini,” kata Hasto.

Lebih lanjut, Hasto menjelaskan dalam aplikasi tersebut juga akan  terekam data keluarga beresiko tinggi stunting. Hal tersebut  dilakukan dengan  memetakan keluarga yang kalau hamil dan melahirkan bisa stunting atau tidak.

“Ini bisa diketahui dengan memotret lingkungannya seperti tidak adanya air bersih atau jambang, rumah tidak layak huni. Atau pun karena terlalu dekat melahirkan, terlalu banyak anaknya, usia terlalu muda atau terlalu tua. Semuanya by name by adress. Semua data ada pada kami, bupati dan walikota  tak perlu cari lagi. Datanya riil dan sudah dicocokkan dengan aplikasi Elektronik pencatatan dan pelaporan gizi berbasis masyarakat (e-ppgbm). Data ini juga sesuai dengan (dapat dipakai untuk,red) data kemiskinan ekstrem. Selisihnya hanya nol koma sekian persen,” ungkap Hasto.

Untuk mendukung ini, BKKBN  mengalokasikan anggaran untuk pelaksanaan program BKKBN di  NTT termasuk untuk penanganan stunting  sebesar Rp114,26 miliar pada tahun 2021. Tahun 2022 meningkat menjadi Rp. 123 miliar.

“Kami telah mengalokasikan anggaran untuk penguatan kelembagaan seperti pembentukan satgas di luar TPPS (Tim Percepatan Penurunan Stunting) yang anggotanya bukan PNS dan  melibatkan tim pakar untuk lakukan audit stunting. Insentif uang pulsa untuk para pendamping Rp 100 ribu per bulan per orang dan berbagai kegiatan lainnya. Kami juga akan membantu memberikan pendampingan bagi para bupati/walikota dalam melakukan proyeksi penurunan angka stunting berdasarkan data yang ada,” pungkas Hasto.

Sementara itu Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat  dalam arahannya memberikan apresiasi kepada Kepala BKKBN karena kehadirannya telah memberikan energi baru Provinsi NTT. Rencana Aksi Penurunan Stunting dari BKKBN sudah sangat jelas disertai data yang sangat baik.

“Terima kasih Kepala BKKBN yang sudah  hadir dan memberi energi (baru) bagi kami. Apa yang disampaikan oleh Kepala BKKBN terkait rencana aksi sangat komprehensif dan jelas. Saya pastikan mulai hari ini, seluruh data kita berbasis pada data pada BKKBN. Dengan data, by name by adress kita bisa langsung  kerjakan dan  lakukan langkah-langkah aksi. Melalui perencanaan yang sudah sempurna seperti itu kita tinggal eksekusi. Kalau  tidak berhasil berarti tim yang bergerak di lapangan bermasalah. Perencaan yang baik dan tepat berarti  50  persen kegiatan kita telah berhasil,” jelas Gubernur VBL.

Lebih lanjut Gubernur meminta para Bupati/Walikota untuk bekerja ekstra ordinary atau secara luar biasa dan out of the box atau di luar  cara-cara yang umum. Terus menerus turun ke desa-desa dan  mempropagandakan cara penurunan stunting kepada masyarakat agar mereka punya pemahaman dan pengetahuan.

“Kalau kita bermimpi menciptakan generasi unggul NTT pada tahun 2045, maka bupati atau walikota  tidak boleh hanya berdiam diri di kantor. Harus turun ke desa-desa dan lapangan. Kita sudah berulang-ulang kali rapat tentang stunting. Saya harapkan kepada para bupati/walikota untuk bangun motivasi dan  keinginan yang kuat dalam lakukan perubahan yang besar dengan rencana yang sudah ada.  Saya yakin, kita semua tidak mau kalau pemerintah pusat terus  menempatkan  NTT sebagai provinsi dengan anak-anak stunting terbanyak di Indonesia. Karenanya,  rencana kerja  ini harus dilanjutkan sampai di tingkat desa. Sekembalinya dari sini, kita harus lakukan aksi nyata. Enam  bulan dari sekarang kita bisa lihat parameter mana yang tidak dapat dilakukan. Di kabupaten mana, kecamatan mana, dapat kita lihat,” jelas Gubernur.

Menurut Gubernur VBL, harus ada satu kesatuan gerak bersama sampai ke tingkat desa dalam dalam menurunkan angka stunting. Karena penanganan masalah stunting sebenarnya soal kepedulian dan komitmen yang kuat dari pemimpin.

“Saya harapkan ini jadi komitmen kita  bersama. Kalau kita sudah rapat begini hebat, harus ada aksi nyata berupa penurunan stunting.  Saya tegaskan ini harus jadi rapat terakhir. Kita harus malu. Saya lihat sudah mulai ada perubahan cara kerja para bupati. Kita harus meninggalkan cara kerja lama,” jelas Gubernur.

Gubernur VBL mengungkapkan,  semua telah disiapkan   mulai dari perencanaan, sumber daya, anggaran  serta regulasinya sudah jelas.

“Lalu kalau angka stunting masih tinggi berarti kita tidak punya kepedulian. Dan sesungguhnya kualitas kepemimpinan kita diukur di situ. Saya akan diskusikan dengan Presiden agar  bupati atau walikota yang tidak turun stuntingnya, DAU-nya harus dipotong. Saya harapkan kita jadi satu kesatuan tim kerja yang baik dan  dalam semangat kolaboratif yang utuh untuk berikan martabat bagi bangsa ini khususnya provinsi yang kita cintai dan kabupaten atau kota  yang kita pimpin,” pungkas Gubernur VBL.

Kegiatan Sosialisasi RAN PASTI ini dilakukan secara ofline  di 12 Provinsi yang punya angka Prevelensi Tinggi yaitu Provinsi NTT,NTB, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Selatan,  Kalimantan Barat, Aceh, Jawa Barat, Banten,Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Utara.

Prevalensi stunting  di NTT terus mengalami tren penurunan sejak tahun 2018 yakni sebesar 35,4 persen, 2019  menjadi 30 persen. Selanjutnya tahun 2020 menjadi  24,2 persen dan tahun 2021 menurun ke 20,9 persen.

Kegiatan yang dilakukan secara luring (luar jaringan) dan daring (dalam jaringan) tersebut dihadiri Gubernur NTT, pejabat tinggi madya  dari BKKBN, para Bupati dan Wakil Bupati se-NTT, Wakil Walikota Kupang, Wakil Ketua Tim Penggerak PKK NTT, Kepala Perwakilan BKKBN NTT, Ketua Tim Penggerak PKK Kabupaten/Kota se-NTT, Pimpinan Perangkat Daerah yang terlibat dalam penanganan stunting baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota se-NTT. Juga dihadiri secara daring oleh Deputi dari Sekretariat Wakil Presiden, Deputi III dari Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Dirjen Pembangunan Daerah (Bangda) Kemendagri, dan Dirjen Kesehatan Masyarakat (Kesmas) dari Kementerian Kesehatan. (*)

Pos terkait