Cinta Sang Puan, Dedikasi Santi Leda Gama untuk Generasi Muda dan Tenun Ikat NTT

Bedah buku Cinta Sang Puan

SENI BUDAYA – Menjadi Penulis adalah sebuah dedikasi untuk jejak-jejak keabadian. Dalam karya atau tulisan seseorang, terpatri sebuah sejarah, dalam masa atau waktu yang panjang.

Demikian diungkapkan oleh Santi Leda Gama, S.Psi, M.Pd, penulis buku ‘Cinta Sang Puan’ yang baru-baru ini diluncurkan di Lampung.

Bacaan Lainnya

Menurut Santi, pilihan menjadi penulis adalah sebuah pilihan yang berani, karena dari segi finansial, menjadi penulis tidak menjanjikan kesejahteraan secara ekonomis. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika masyarakat umumnya tidak tertarik menjadikan penulis.

Namun, hasrat Santi untuk merangkai kata, cintanya pada dunia tulis menulis, membuat Santi berjuang untuk menyisihkan waktu guna membaca dan juga menulis buku. Hasrat dan cinta itulah yang melahirkan buku Cinta Sang Puan.

Santi menuturkan, buku Cinta Sang Puan adalah sebuah perjalanan spiritualnya. Sebuah peralihan, dari rutinitas sebagai akademisi menjadi ibu rumah tangga dan pengusaha kecil.

“Sebelumnya, saya adalah seorang dosen, namun sejak menikah saya memutuskan untuk berhenti dari dunia kampus, dan membuka sebuah butik kecil-kecilan. Di butik itu saya menjual tenun ikat NTT. Saya mencintai fashion budaya dari bahan tenunan,” tutur Santi.

Santi merasa sangat bersyukur karena usahanya didukung penuh oleh suami tercinta. Pergumulannya dalam mengelola butik yang berisikan aneka tenunan NTT itulah yang mengantarnya pada pilihan judul buku yang ditulisnya, yakni: Cinta Sang Puan.

“Cinta Sang Puan adalah wujud dedikasi saya dalam mencintai pilihan saya terhadap Tenun Ikat NTT,” ungkapnya.

Santi menyebut, dalam buku Cinta Sang Puan, kurang lebih 75 persen ia mengulas tentang koleksi tenun ikat NTT yang ada di Butik AleSandra miliknya, sedangkan 25 persen berisi tentang ungkapan hatinya terhadap sang suami yang berada di balik kesuksesannya dalam merintis usaha butik.

“Saya merasa beruntung Tuhan berikan pendamping hidup yang juga mencintai budayanya. Boleh dibilang, buku ini adalah sebuah katalog bergaya narasi,” imbuh ibu dari 7 anak ini.

Santi mengungkapkan, melalui buku Cinta Sang Puan ia ingin memperkenalkan tenun ikat NTT secara lebih luas.

“Saya mendedikasikan buku ini untuk masa depan generasi muda NTT, sehingga mereka tidak kehilangan jejak karakter budayanya, dan tidak mudah terbawa arus budaya barat. Buku kecil ini bisa menjadi sejarah untuk anak dan cucu nantinya,” ucap Magister Pendidikan Sastra Indonesia dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta itu.

Selain itu, kata Santi, buku Cinta Sang Puan berisi ajakan bagi kaum perempuan NTT, juga masyarakat NTT pada umumnya, untuk melestarikan dan mengembangkan budaya tenun ikat.

“Buku ini adalah sebuah gambaran, bagaimana perjuangan tangan-tangan terampil untuk menghasilkan sebuah maha karya yang penuh dengan nilai budaya; bagaimana rasa cinta itu mengalir dan menghasilkan setiap helai kain tenun yang kita kenakan,” urainya.

Oleh karena itu, kata Santi, kita harus menghargai setiap karya yang ada, karena dibalik karya tenun itu, ada pengorbanan besar dari para ibu di desa-desa, yang mencukupi kebutuhan hidup dan biaya pendidikan anaknya dengan menenun.

Dibedah oleh Adinda Lebu Raya dan Fitri Daryanti

Santi pun membeberkan alasannya memilih Lusia Adinda Lembu Raya dan Fitri Daryanti sebagai narasumber bedah buku Cinta Sang Puan, dan Gusti Tetiro sebagai moderatornya.

“Ibu Lusia adalah pioner tenun ikat NTT semasa beliau menjadi ibu Gubernur NTT 2 Periode, dan 10 tahun menjadi Ketua Dekranasda NTT. Beliau bekerja dalam hening untuk mempromosikan Tenun Ikat NTT. Sedangkan Ibu Fitri Daryanti adalah Dosen Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas Lampung, tentu punya sudut pandang berbeda untuk membedah buku ini dari aspek seni dan gaya bahasa buku ini. Saya membutuhkan saran dan kritiknya untuk memperkaya buku ini,” kata Santi.

Santi menjelaskan, ia meminta Gusti Tetiro untuk menjadi moderator dalam bedah buku Cinta Sang Puan karena Gusti dianggap sangat paham dunia buku.

“Selain aktif menulis, Bro Gusti berpengalaman sebagai moderator acara bedah buku,” ungkap Santi.

Santi menyebut, Cinta Sang Puan adalah buku ke-5 yang ia luncurkan, namun buku pertama yang ditulisnya setelah ia menikah.

“Ada jarak atau jeda waktu yang cukup lama antara buku keempat sebelumnya, dan buku kelima ini. Karena kesibukan dan aktivitas saya yang cukup padat, sempat tertunda menulis buku ini. Saya bisa luangkan waktu menulis buku ini di malam hari ketika sunyi suami dan anak-anak sudah tertidur,” kisahnya.

Santi mengakui, tidak mudah menuangkan semua ide serta buah pikiran di atas kertas jika tidak mendapatkan waktu yang aktif di siang hari. Menurutnya, seorang penulis butuh mood yang baik untuk bisa menulis sebuah karya yang berkualitas.

Santi berharap, buku ini bisa diterima oleh masyarakat, dan bisa menjadi bacaan yang bermanfaat untuk siapa saja.

Biografi Penulis Buku ‘Cinta Sang Puan

Santi Leda Gama, S.Psi, M.Pd lahir di Kota Maumere pada 11 Juni 1982.

Santi menikah dengan Ir. Alexander Leda, ST, MT (Kepala BBWS Mesuji Sekampung) dan memiliki 7 orang anak (5 Putra, 2 Putri) yakni: Jeremy, Juan, Josraf, Jesica, Jeselin, Joshua dan Jonanthan.

Santi adalah Penulis aktif dan juga seorang Entrepreneur (Pemilik Butik AleSandra Tenun).

Selain suka membaca dan menulis, Santi juga suka menyanyi.

Setelah lulus S1 Psikologi Pendidikan Universitas Nusa Nipa Indonesia, Santi melanjutkan studi pada jenjang S2 Magister Pendidikan Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma – Yogyakarta.

Sebelum menulis buku Cinta Sang Puan, Santi pernah menulis buku-buku yang berkaitan dengan isu anak dan isu perempuan. Ia juga pernah menjadi Dosen FKIP Universitas Nusa Nipa Indonesia Tahun 2013 – 2018, lalu berhenti ketika sudah menikah. Sejak tahu 2020 Santi membuka Butik Tenun.

Selain itu, Santi pernah menjadi Ketua Dharma Wanita Paguyuban BWS Papua Barat Kementerian PUPR (Februari 2019- Agustus 2021), Ketua Dharma Wanita Paguyuban Mesuji Lampung (Mulai Agustus 2021 sampai Sekarang).

Santi Leda Gama juga pernah juga menjadi Anggota Asosiasi Peneliti Bahasa Lokal Nusantara (Pusat di Udayana, Denpasar) Tahun 2016 – 2018, Asosiasi Penulis Sastra Jogjakarta, dan Anggota Aktif WKRI NTT sejak 2018.

Santi Leda Gama memiliki motto: Menjadi Perempuan yang Berbudaya dan Berkarakter di Tengah Tantangan Zaman Modernisasi. (JR)

Pos terkait