OPINI – NUSALONTAR.COM
Oleh: Yuvensius Stefanus Nonga, SH., MH (Deputi WALHI NTT)
Berada pada Cincin Api Pasifik, Indonesia terus menghadapi resiko letusan gunung berapi, gempa bumi, banjir dan tsunami. Beberapa bencana yang terjadi di dua puluh tahun terakhir telah menempatkan Indonesia pada posisi tranding topik pemberitaan bencana yang memakan ratusan ribu jiwa.
Kondisi ini meninggalkan jejak traumatis yang dalam bagi masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat terdampak bencana. Ditambah lagi dengan fenomena El Nino dan La Nina yang ditandai dengan musim hujan dan kemarau ekstrim dapat menghancurkan panen bahan makanan, memicu terjadinya inflasi, dan menyebabkan tekanan finansial yang berat bagi masyarakat terdampak bencana.
Berkaca pada bencana awal 2021 yang lalu, Siklon Tropis Seroja yang dipantau mulai terbentuk di selatan Nusa Tenggara Timur, Indonesia, pada 3 April 2021. Siklon ini menyebabkan banjir di beberapa wilayah Nusa Tenggara Indonesia dan Timor Leste.
Sebagaimana peringatan dini BMKG, gelombang setinggi 4-6 meter yang berpeluang terjadi di perairan barat Lampung, Selat Sunda, bagian selatan Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Pulau Sawu, Kupang, dan Pulau Rote. Daerah pesisir Aceh, Mentawai, Bengkulu, Jawa Tengah, Pulau Sumba, Selat Bali, Selat Lombok, dan Selat Alas juga berpotensi mendapat gelombang setinggi 2,5 hingga 4 meter.
Peringatan dini ini tidak direspon baik oleh Pemerintah Daerah yang mana hampir di seluruh wilayah di NTT yang terkena bencana terdampak parah karena tidak didukung oleh upaya meminimalisir dampak bencana oleh pemerintah daerah pasca BMKG mengeluarkan peringatan dini.
Bencana ini mengakibatkan, masyarakat penyintas mengalami kesulitan dalam membenahi kehidupan yang diporakporandakan oleh bencana.
Dalam Catatan WALHI NTT, sesuai pantauan dan advokasi di Wilayah Nusa tenggara Timur, pada awal April 2021 menimbulkan korban jiwa serta membuat puluhan ribu masyarakat harus mengungsi. Total korban akibat bencana ini tercatat ada 182 orang meninggal dunia, warga hilang sebanyak 47 orang, luka-luka 225 orang.
Selain itu, monitoring yang dilakukan WALHI NTT terhadap kinerja Pemerintah NTT dalam penanganan bencana di NTT, terdapat beberapa refleksi penting untuk pemerintah NTT.
WALHI NTT menilai bahwa keseluruhan aspek tahapan penyelenggaraan bencana di NTT semuanya gagal. Mulai dari kesiapsiagaan bencana sampai pada masa rehabilitasi. Beberapa temuan WALHI NTT sebagai akan dipaparkan dalam tulisan ini sebagai bahan evaluasi dan refleksi bersama.
Pertama, Pemerintah daerah tidak menyiapkan sistem peringatan yang strategis dalam mengurangi dampak cuaca ekstrim.
Kedua, Pemetaan yang terpilah dan terintegrasi belum dilakukan, sehingga antisipasi terhadap resiko yang muncul tidak terprediksi.
Ketiga, Implementasi kebijakan masih sengkarut, reaktif, dan nuansa politiknya masih tidak berpihak pada masyarakat, termasuk koordinasi antar lembaga.
Keempat, Kebijakan dalam kebencanaan, khususnya dalam aspek mitigasi, masih bersifat taktis.
Kelima, Tidak ada pelibatan seluruh elemen dan menyampingkan pengetahuan tradisional masyarakat.
Pada tanggal 29 Oktober 2021 BMKG kembali mengeluarkan peringatan dini terkait beberapa wilayah yang diperkirakan akan mengalami cuaca ekstrim. (lihat: https://www.tribunnews.com/nasional/2021/10/29/bmkg-peringatan-dini-jumat-29-oktober-2021-waspada-30-wilayah-diperkirakan-alami-cuaca-ekstrem). Kondisi cuaca pada musimpenghujan saat ini tidak akan jauh berbeda dengan april awal tahun 2021 yang lalu, yang berujung pada bencana hidrologis di beberapa wilayah di NTT.
Peringatan ini tentunya menjadi rambu-rambu bagi setiap pemerintah daerah untuk meningkatkan kesiapsiagaannya dalam menghadapi cuaca ekstrim tersebut. Meningkatkan kesiapsiagaan dalam menghadapi cuaca ekstrim juga menjadi bagian dari pelaksanaan wewenang pemerintah daerah sebagai penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.
Sebagaima amanat pasal 5 UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Salah satu hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah adalah dengan menyiapkan sistem peringatan dini sesuai dengan Pasal 1 ayat (8) UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana: Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang.
Atas dasar itu, Pemerintah NTT mestinya sudah bisa lebih siap dalam menghadapi cuaca ekstrim yang bisa saja menghadirkan bencana seperti yang pernah terjadi.
Untuk mengantisipasi terjadi hal yang sama, WALHI NTT merekomendasikan beberapa hal yang bisa dilakukan oleh Pemprov NTT sebagai langkah pencegahan yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi bencana.
Pertama, Pemerintah Daerah harus mengaktifkan sistem peringatan dini terutama ke daerah-daerah yang sulit memperoleh informasi karena keterbatasan akses informasi.
Kedua, Pemerintah Daeran NTT membangun komunikasi baik kepada masyarakat maupun SKPD yang berwenang untuk mencegah perluasan dampak dari cuaca ekstrim tersebut.
Ketiga, Pemerintah Daerah NTT melakukan tekhnikalisasi terkait Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahapan prabencana sesuai dengan pasal 34, 35UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Keempat, Pemerintah Daerah NTT untuk lebih sigap lagi dalam menghadapi musim penghujan di tahun ini, terutama pada wilayah-wilayah yang sebelumnya terdampak paling parah akibat siklon seroja awal april yang lalu.
Sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk menjaga ssgenap warganya dari segala bentuk gangguan keamanan dan kenyamanan. Memang, kita tak bisa melawan kehendak alam, namun dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, kita bisa berusaha semaksimal mungkin untuk meminimalisir hal-hal buruk yang bisa saja terjadi pada masyarakat kita. **