Driyarkara Tidak Mengajarkan Kebohongan, tetapi Cinta Kasih!

Pastor Kopong Tuan, MSF

PERSPEKTIF – Kebenaran pada akhirnya menemukan jalannya sendiri. Kebenaran pada akhirnya juga mempermalukan diri kita sendiri ketika kebohongan dan kebencian terus diwartakan dan dipamerkan. Kebenaran pada akhirnya menyatakan diri dengan cara dan jalannya sendiri, yaitu melalui orang yang memang baik dan benar untuk membongkar kebohongan dan kebencian yang disebarkan.

Dan kebenaran itu pulalah yang kemudian mempermalukan dan membongkar kebohongan dan kebencian yang dilakukan oleh seorang dokter yang bernama dr. Tifa. Dia begitu percaya diri mewartakan kepada publik bahwa ijazah dari Universitas Gajah Mada (UGM) yang dimiliki oleh pak Jokowi, Presiden Republik Indonesia adalah palsu. Dia bahkan tak segan-segan memposting perbandingan foto Pak Jokowi waktu wisuda sarjana di UGM dengan foto pak Jokowi saat ini menjadi Presiden. Dia merasa seperti di atas angin, publik pasti percaya.

Bacaan Lainnya

Belum lagi dia merasa semakin percaya diri dengan memproklamirkan gelar doktornya didapatkan dari sebuah Perguruan Tinggi Swasta: Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (STF Driyarkara) Jakarta yang kredibel dan disiplin yang telah menghasilkan sekian banyak imam, pejabat baik legislatif maupun eksekutif, pengamat politik handal dan pengusaha serta lainnya. Namun semua rasa percaya diri itu pada akhirnya ditaklukan oleh suara kebenaran dari seorang staf ahli Menteri Keuangan RI; Pak Yustinus Prastowo selaku Ketua Ikatan Alumni STF Driyarkara (IKAD) yang menyatakan dengan tegas bahwa dr. Tifa bukan lulusan Program Doktoral STF Driyarkaya. Bahwa dr. Tifa memang pernah mengikuti Program Martikulasi itu benar namun tidak selesai.

Dari warta kebenaran yang membungkam kebohongan dan kebencian dr. Tifa terhadap pak Jokowi, saya kemudian ingat akan sosok seorang imam Jesuit, Filsuf yang karya-karyanya menjadi bahan diskursus filsafat yang pernah juga saya pelajari ketika masih belajar sebagai seorang calon imam MSF di Fakultas Teologi Kepausan Weda Bhakti-Universitas Sanata Dahrma (USD) Jogjakarta yaitu: Prof. Dr. Driyarkara yang kemudian namanya diabadikan sebagai naman STF Driyarkara Jakarta.

Saya berharap semoga ibu dr. Tifa tahu walau tidak banyak tentang Driyarkara walau dr. Tifa sendiri tidak menyelesaikan kuliahnya di STF Driyarkara. Kata tidak menyelesaikan kuliah adalah sebuah ungkapan sopan untuk mengganti kata gagal ya bu dr. Tifa. Dibalik harapan itu, saya juga ada keraguan tentang pengetahuan dr. Tifa atas nama Driyarkara itu sendiri. Apakah dr. Tifa tahu bahwa Driyarkara adalah seorang imam Jesuit dan Filsuf yang telah merefleksikan Pancasila dengan begitu mendalam dan memberikan pencerahan bagi banyak orang atau jangan-jangan dr. Tifa mengira Driyarkara itu semacam gelar atau yang lainnya sehingga dengan sadar menggunakan nama institusi itu untuk menyebarkan kebohongan dan kebencian? Hanya dr. Tifa yang tahu.

Saya hanya ingin memberi pesan kepada dr. Tifa demikian:

Pertama; Sebagai sebuah lembaga pendidikan Katolik yang kredible dan yang menjunjung tinggi nilai kedisplinan, keadilan dan kebenaran melalui kekritisan dan kecerdasan berpikir; STF Driyarkara tidak pernah mengajarkan para mahasiswa dan mahasiswinya untuk menyebarkan kebohongan dan kebencian. Apalagi kebanyakan yang menjadi mahasiswanya adalah calon tokoh agama Katolik yang wajib mengedepankan kebenaran dan kebaikan dalam seluruh karya pelayanan mereka. Sebagai sebuah lembaga pendidikan Katolik, maka seperti di fakultas Filsafat dan Teologi lainnya, STF Driyarkara selalu menitikberatkan soal pendewasan pribadi, nilai-nilai moral dan etika bagi para terdidiknya ketika sudah berkarya dan berada di tengah-tengah masyarakat (bdk. Pernyataan Tentang Pendidikan Kristen-Gravissimum Educationis no. 1, 2, 7 & 8).

Kedua; Nama Driyarkara tidak sekedar “tempelan”. Nama yang diberikan untuk lembaga pendidikan tersebut dengan harapan agar seluruh komponen di dalam institusi pendidikan tersebut (Dosen, Mahasiswa, Staff) mendalami, menghayati dan menghidupi semangat dari nama tersebut dalam seluruh kehidupan dan karyanya. Menggunakan nama Driyarkara bukan semata karena Driyarkara adalah seorang filsuf kawakan, tetapi lebih dari itu karena Beliau menjadi inspirasi dari kebenaran yang terus dicari dan diperjuangkan untuk kebaikan bersama. Nama itu menjadi spirit dan melekat dalam diri siapapun yang sedang maupun sudah menyelesaikan studinya di lembaga tersebut untuk mewartakan dan memperjuangkan kebenaran.

Ketiga; Driyarkara dan Pancasila. Sebagai seorang Indonesia sejati; Driyarkara telah memberikan sebuah pemahaman baru terhadap bangsa Indonesia untuk semakin mencintai Pancasila. Ketika merefleksikan Pancasila sebagai dalil filsafat dalam konteks kehidupan manusia sehari-hari maka Pancasila itu ditemukan dalam kehidupan manusia yang ada dan bersama dengan yang lain. Artinya kebersamaan itu ada karena manusia ada bersama cinta kasih yang merupakan wujud dari perikemanusiaan. Driyarkara mengungkapkan bahwa isi Pancasila adalah humanisme yang sosialistis (bdk. Fr. Yudho, SJ-Driyarkar dan Pancasila, kolsani.or.id, 8 Januari 2013).

Dari sini menjadi jelas untuk dr. Tifa bahwa kebenaran tidak bisa dikalahkan. Karena dasar dari kebenaran adalah cinta kasih. Satu kebenaran mampu membongkar dua kebohongan dr. Tifa sekaligus yaitu kebohongan yang mengatakan bahwa ijasah pak Jokowi palsu dan kebohongan yang mengatakan bahwa gelar doktor anda adalah dari STF Driyarkara. Menggunakan nama “Driyarkara” untuk menyebarkan kebohongan, namun Driyarkara pulalah yang membongkar kebohongan dan kebencianmu.

Ingat bu dr. Tifa: Driyarkara tidak mengajarkan kebohongan tapi mengajarkan kebenaran dan cinta kasih, sebagaimana juga ajaran Yesus dan Gereja Katolik!

Manila; 13-Oktober 2022
Tuan Kopong MSF

Pos terkait