Gadis Kota Reinha
Jika engkau jatuh cinta pada seseorang, katakanlah!
Menyembunyikan rasa hanya akan menghadirkan penyesalan. (JR)
* * *
Senja hampir menghilang. Mentari memerah di langit sebelah barat. Ombak pecah berirama, kejar mengejar, seperti artis India di film yang sering saya lihat. Di ujung dermaga Very, Siska berdiri memandang lautan. Tatapannya jauh, seakan menembus samudera.
Saya berdiri diam di sampingnya. Membiarkan Siska mengembara dengan pikirannya. Mungkin dia mencoba mengurai kepingan-kepingan kenangan yang menghantarnya pada kepedihan. Gadis ini benar-benar terluka.
Siska baru saja putus dari pacarnya. Kisah cinta yang terjalin selama tiga bulanan kandas tanpa alasan. Meninggalkan luka menganga pada sepotong hati rapuh gadis belia itu. Siska masih terlalu muda untuk memahami kenyataan. Dia hanyalah gadis SMA yang baru saja beranjak dewasa. Hatinya masih belum tertempa kerasnya kehidupan. Cinta yang selama ini diagungkan berubah menjadi senjata pemusnah. Hatinya hancur, luluh lantak.
“Tata, saya ingin mati saja,” lirih mulutnya berucap, sembari kepalanya lunglai bersandar di dada tipis saya. Kubiarkan dadaku jadi sandaran tanpa berkata apa-apa, sembari berharap semoga dada tipis tanpa bulu ini bisa jadi labuhan yang nyaman, meski hanya untuk sementara.
Saya mengenal siska sudah cukup lama. Sejak dia masih duduk di kelas dua Sekolah Menengah pertama. Siska anak tetangga kakak saya. Kakak saya adalah pegawai pemerintah. Sepuluh tahun lalu dipindah tugaskan ke kota Renha ini dan secara kebetulan mendapat tempat tinggal dekat orang tuanya Siska. Sejak kakak saya pindah, saya sering datang, terutama saat liburan.
Saya sendiri sebenarnya tinggal di kota yang berbeda. Delapan jam perjalanan dengan angkutan umum untuk menempuh perjalanan dari kota tempat saya tinggal dengan rumah kakak saya.
Usia saya dan siska bisa dibilang sebaya. Saya cuma lebih tua setahun dari Siska. Kini Siska kelas dua SMA dan saya kelas tiga. Tapi kerasnya kehidupan membuat saya jauh lebih dewasa dari usia sebenarnya. Mungkin karena itu Siska merasa nyaman menceritakan persoalan yang di alaminya pada saya.
“Saya mencintainya Tata”, katanya pelan sembari menarik kepalanya dari bahu saya. Dia menarik nafas dalam-dalam, menghimpun kekuatan untuk bisa melawan perih yang dirasakan. Kubiarkan dia melanjutkan cerita tanpa menyela.
Hening. Terpaan gelombang di bibir pantai terasa melemah. Matahari sudah tenggelam. Gelap perlahan menyelimuti semesta. Lampu-lampu pijar mulai menyala menerangi sekeliling dermaga. Beberapa pria paruh baya sedang memancing di pinggir dermaga. Seolah tidak peduli dengan kami berdua. Di ujung dermaga lainnya ada beberapa pasang anak muda asik bercengkrama. Juga seakan tak peduli dengan kami berdua yang lagi gundah.
“Saya tidak mengerti apa salah saya Tata”, Siska melanjutkan kisahnya. Padahal malam minggu kemarin kami masih jalan. Tiba-tiba saja hari rabu kemarin dia sms bilang hubungan kami tidak bisa diteruskan. “Dia ingin fokus dengan pelajaran katanya. Jika memang begitu kenapa selama dia beri saya harapan Tata,…kenapa….???” Tangis Siska pecah lagi.
Tiba-tiba tangannya merengkuh pinggng saya. Dia memeluk saya sangat erat sembari menangis sesenggukan. Perlahan tangan saya mendekapnya. Mencoba memberi Siska rasa aman. Saya belai rambutnya pelan, lembut, penuh perasaan. Membiarkan air matanya tumpah di dada saya.
Semuanya terjadi begitu saja. Sangat alamiah. Mungkin perasaan ingin melindungi sebagai pria-lah yang membuat saya bersikap demikian. Namun satu hal yang tak sanggup saya sembunyikan adalah debaran yang saya rasakan. Hati saya hangat dan wajah saya memerah. Syukurlah suasana yang temaram bisa menyembunyikan apa yang terjadi pada saya.
Seminggu setelah peristiwa di dermaga, saya pulang ke kota asal saya. Bahkan tanpa memberi tahu Siska. Sejak peristiwa di dermaga itu saya bergulat dengan berbagai perasaan yang entah datangnya dari mana. Rindu dan berbagai perasaan lainnya bergejolak membuat batin benar-benar tersiksa. Sejujurnya, saya jatuh cinta. Jatuh cinta pada Siska, si gadis rapuh yang baru saja putus cinta. Gadis yang pernah memelukku erat di ujung dermaga, saat perih mendera hatinya.
Ingin rasanya dia selalu berada dalam dekapan, biar kulindungi hatinya dari orang-orang yang ingin membuatnya terluka. Tapi pada saat yang sama saya juga kuatir, jangan-jangan sayalah yang kemudian akan menggores luka lama di hatinya yang pernah lara.
Gejolak itu akhirnya kubawa serta saat aku pulang ke kota asal. Siska tak pernah tahu apa yang saya rasakan. Hati ini terlalu pengecut untuk mengambil keputusan. Bahkan mengungkapkan perasaanpun saya tak bisa.
***
Kutulis kisah ini saat malam memagut senja. Ketika rona merah di ufuk barat menggugah sukma. Ternyata rindu itu bersembunyi di kedalaman jiwa. Cinta ini mungkin tak berujung bahagia, tapi rindu yang ditumbuhkan rasa, takkan pernah lekang terhapus masa. Semoga mimpi menyampaikan rinduku pada gadis kota Reinha.
Larantuka, Awal 2018