Klerus dan Para Uskup Katolik adalah Pelayan Bonum Commune

Oleh: Tuan Kopong, MSF *)

OASE – Hari ini umat Katolik Indonesia dihebohkan dengan postingan di youtube dari Official News Update yang berjudul; “30 Menit Yang Lalu…!! Uskup Katolik Se Jabodetabek Deklarasi Dukung Anies Presiden.” Judul tersebut kemudian diganti demikian; ““30 Menit Yang Lalu…!! Uskup Katolik Beri Pujian Dan Dukungan Untuk Anies Baswedan?”

Bacaan Lainnya

Postingan yang menghebohkan namun juga memprihatinkan itu langsung ditanggapi oleh pihak Keuskupan Agung Jakarta, karena dalam postingan itu nampak foto Kardinal Ignatius Suharyo yang adalah Uskup Agung Jakarta dan Ketua Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) serta foto seorang imam.

Langkah cepat Keuskupan Agung Jakarta memberikan klarifikasi atas postingan hoax tersebut patut kita apresiasi sebagai langkah kenabian yang bukan sekedar untuk membela para Bapak Uskup kita dalam hal ini Bapak Kardinal tetapi lebih dari itu adalah suara kenabian yang mempertegas posisi para Klerus dan Bapak Uskup sebagai pelayan dan pengabdi Bonum Commune dan bukan politik identitas.

Cara-cara kotor dengan menjadikan agama sebagai gaung politik identitas dan tokoh agama sebagai tameng mengkampanyekan figur tertentu yang menguntungkan kelompoknya dengan menjadikan dalil-dalil suci agama sebagai bahasa orasi bukan dan tidak akan pernah menjadi cara politik Gereja Katolik termasuk para Klerus dan Uskup Katolik. Tidak bisa dipungkiri bahwa bisa jadi ada oknum umat Katolik yang menjadikan nama Katolik untuk mengkampanyekan figur tertentu namun tidak bisa diartikan sebagai mewakili Gereja Katolik.

Dalam hal politik praktis entah itu mengkampanyekan figur tertentu maupun terlibat langsung dalam panggung politik sebagai legislatif maupun eksekutif, sudah jelas pedoman dan aturan bagi para Klerus dan Uskup Katolik yang tidak bisa dilanggar. Jika memang ingin terlibat dalam politik praktis maka harus meminta ijin terlebih dahulu kepada Uskup dan Paus namun tidak serta merta ijin itu akan diberikan baik oleh Paus maupun Uskup setempat jika tidak memiliki alasan yang kuat yaitu untuk memajukan kesejahteraan umum.

Dalam kenyataan, hampir semua ijin tidak diberikan dan jika terus memaksa maka baik oknum imam maupun uskup harus meninggalkan kehidupannya sebagai imam dan uskup namun juga tidak menjadikan Gereja Katolik sebagai kekuatan politik dalam berkampanye.

Dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK), Kan. 287 § 1-2 sudah sangat jelas dan tegas dikatakan bahwa para Klerus: Imam dan Uskup bahwa secara etika dan moral memiliki tugas untuk memupuk perdamaian dan kerukunan untuk memajukan kesejahteraan umum atau kebaikan bersama (Bonum Commune). Sebagai warga negara yang baik, tugas Imam dan Uskup adalah menjadi pelayan Bonum Commune melalui pelayanan-pelayanan yang mempersatukan dan bukannya mencerai beraikan.

Dalam hal ini para Imam dan Uskup hanya menjalankan misi atau politik kemanusiaan dengan menyuarakan perdamaian dan kerukunan demi terwujudnya Kebaikan Bersama. Meskipun sebagai tokoh agama Katolik, tugas para Imam dan Uskup disamping menjadi pengajar dan pendamping bagi umat Katolik terutama kaum awam Katolik yang terlibat dalam gerakan politik praktis (politik kekuasaan) namun juga menjadi sahabat bagi semua yang berkehendak baik apapun agamanya demi terwujudnya Kebaikan Bersama dan bukannya kebaikan kelompok dan golongan tertentu.

Menjadi sangat aneh dan lucu ketika ucapan terimakasih dari Bapak Kardinal ataupun Pastor Paroki Katedral Jakarta kepada Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta sebelum selesai masa jabatannya dilihat sebagai bentuk dukungan kepada Anies untuk maju sebagai Capres 2024. Terlepas dari kekurangan Anies yang juga menuai kritik dari beberapa politikus Katolik dan mungkin juga dari tokoh agama Katolik atas nama pribadi, sebagai warga negara yang baik, yang menjunjung tinggi perdamaian dan kerukunan Gereja Katolik tetap menunjukan itikad baik untuk mengucapkan terimakasih kepada pemimpinnya.

Gereja Katolik mau menunjukan bahwa ketika seorang pemimpin telah dipilih dan dilantik terlepas dari apakah hasil pemilihan itu merupakan buah dari politik identitas, dan meskipun pemimpin itu tidak dipilih oleh sebagian oknum umat Katolik, dia tetap menjadi pemimpin bagi semua walau dalam perjalanan kepemimpinannya hanya menguntungkan kelompok atau golongan tertentu.

Ucapan terimakasih bukan sekedar penghargaan melainkan ungkapan kesopanan Gereja Katolik dalam hal ini Imam dan Uskup atas kinerja pemerintah tanpa pernah melihat apakah kinerjanya menguntungkan Gereja Katolik atau tidak. Maka di sinilah poin yang mau diajarkan oleh Gereja Katolik, dalam hal ini Imam dan Uskup, kepada seluruh rakyat Indonesia terutama kepada tokoh agama yang lain bahwa:

“Ungkapan terimakasih bukan hanya kepada yang memberikan keuntungan, perhatian, dan kenyamanan bagi kelompok atau golongan kita saja dan meninggalkannya ketika tidak menjadikan golongan maupun kelompok kita sebagai anak emasnya. Ucapan terimakasih diberikan karena martabatnya sebagai seorang manusia.”

Manila: 21-Oktober 2022
*) Tuan Kopong adalah seorang Rohaniwan Katolik, saat ini bertugas di Filipina.

Pos terkait