Belu, NusaLontar.com – Komunitas Lorosae kembali menyapa melalui webinar dalam seri Diskusi Kamisan. Diskusi dengan tema “Menakar Propoganda Media Mainstream di Tengah Pandemi” ini digelar pada Kamis (28/01/2021).
Hadir sebagai narasumber, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) NTT, Fredrikus Royanto Bau, SE, akademisi Maria V.D.P Swan, S.Sos. M.Med.Kom – Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Nusa Cendana, dan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Kupang, Marthen Bana, S.Pd, M.IK.
Diskusi yang berlangsung selama kurang lebih dua jam ini (pukul 18.00 – 20.00 WITA), dipandu oleh Mario Ambasan, salah seorang pegiat komunitas Lorosae sebagai moderator.
Ketika membuka webinar, Mario mengungkapkan bahwa webinar yang dihelat ini berangkat dari keresahan masyarakat, khususnya Komunitas Lorosae sendiri, akibat kasus Covid-19 yang meningkat dikabupaten Belu. Peningkatan kasus Covid ini tidak diimbangi oleh pemberitaan yang memadai dan bisa dipercaya. Masyarakat disuguhkan dengan pemberitaan yang simpang siur, terutama di media sosial. Berseliwerannya informasi – informasi yang kurang jelas di media sosial menimbulkan keresahan, kepanikan, juga pro – kontra di antaraasyarakat.
Diskusi virtual ini dihadiri oleh kurang lebih 90 partisipan, dari berbagai elemen masyarakat. Baik dari organisasi serta komunitas-komunitas kreatif di kabupaten Belu dan sekitarnya seperti Komunitas Terang Lakaan, Pensil, KOMPAS Belu, Chilfund FTBM, Sahabat Kreatif Biinmaffo, Stand Up Comedy Indo Belu, Sahabat Alam NTT, KLIKK, Front Muda Revolusioner, RMI, Ormawa Kampus, Cipayung, IMO NTT, serta belasan media online yang diundang secara formal, dan beberapa Pimred media lokal di NTT yang sempat hadir.
Ketua KPID NTT, Fredrikus Royanto Bau sebagai pembicara pertama dalam materinya menegaskan bahwa berdasarkan UU no 32 tahun 2002, KPID sebagai lembaga negara semi pemerintahan lebih berfokus pada media elektronik atau media mainstream dalam hal ini TV dan Radio yang biasa, disebut Lembaga Penyiaran (LP).
Dalam pandangannya, hingga saat ini ada keresahan akan masifnya produksi berita hoax oleh berbagai media termasuk media mainstream, sekaligus adanya optimisme bahwa media mainstream menjadi harapan terakhir bagi masyarakat untuk mendapatkan berita yang sehat dan benar.
Edy juga menjelaskan karakteristik era post truth yang mengakibatkan propaganda dalam berita hoax menjadi massif, dimana kebenaran fakta dan bukti tidak terlalu penting lagi selama narasi berita diterima berdasarkan kesamaan pandangan atau pemikiran, orang hanya akan percaya apa yang ingin dipercayainya. Dengan begitu maka tumbuh subur cara-cara manipulatif dalam membuat orang percaya yang membuat masyarakat akhirnya menjadi konsumen, produsen sekaligus distributor informasi melalui maraknya media sosial.
“Untuk media mainstream di NTT, dalam hal ini TV dan radio, ada 63 LP TV dan 57 Radio yang aktif memberikan siaran dan punya legalitas. Perlu diterapkan pemberitaan berimbang untuk media, dengan begitu media mainstream harus lebih peka dan berperan di era post truth ini apalagi saat pandemi dimana pemberitaan Covid-19 menjadi sangat sensitif. Terlepas dari itu, jurnalis perlu menjunjung tinggi kode etik jurnalistik dalam profesinya”, ungkap mantan jurnalis Pos Kupang yang akrab disapa Edy Bau itu.
Selanjutnya narasumber kedua, Maria V.D.P.Swan, S.Sos,M.Med.Kom sebagai dosen jurusan ilmu komunikasi FISIP Undana Kupang dalam materinya memaparkan bahwa di Indonesia sendiri kicauan twitter yang berkaitan dengan infodemik tertinggi yang dihasilkan sekitar 1.014 tweet setiap hari yakni pada 15 Maret 2020. Dari situ hanya 618 tweet yang terkonfirmasi sebagai berita yang layak dipercaya.
Pada Februari 2020, menurut data yang dipaparkan Maria, terdapat 1.339 media online telah memberitakan isu virus Corona dan jumlahnya mencapai 53.000 berita. Sejak presiden Jokowi mengumumkan Corona sebagai pandemi di awal Maret tahun lalu, begitu banyak yang menimbun masker, hand sanitizer dll karena kapanikan karena virus ini.
“Hal tersebut juga diakibatkan oleh fenomena Clickbyte, di mana media menempatkan kalimat –kalimat yang memancing rasa penasaran meski beritanya tidak sesuai dengan substansi pemberitaan. Bahkan media online cenderung menjual embel-embel gelar dan instansi pasien yang terkonfirmasi positif Covid-19 dalam judulnya, bahkan pandemi kerap dihubungkan dengan isu politik termasuk isu SARA yang hangat di Indonesia. Dampak yang paling besar terkait dengan infodemi adalah kepanikan, ketakutan, sampai salah mengambil keputusan akibat pemberitaan yang ada,” ungkap Maria.
Masifnya propaganda dalam bentuk hoax yang beredar melalui media sosial, kata Maria, seharusnya menyadarkan pengelola media mainstream untuk bekerja lebih profesional dengan standar jurnalistik yang tinggi, serta mengkonfirmasi fakta yang belum maksimal.
“Dalam pemberitaan Covid-19 di Indonesia media menggunakan 2 bingkai dominan, yaitu frame kesehatan publik untuk menunjukkan aspek korban, resiko dan ancaman Covid-19 dan frame kebijakan untuk membingkai strategi pemerintah dalam penanganan Covid. Untuk tone berita, dua media yang diteliti menyukai narasi ketakutan dan kekhawatiran merupakan tone dominan sedangkan tone anjuran dan instruksi serta tone harapan dan solusi tidak terlalu banyak di tampilkan. Itu datanya saya ambil dari Jurnal Studi Komunikasi dan Media (Media dan Pandemi: Frame tentang pandemic covid 19 dalam media online di Indonesia. Ini merupakan hasil studi pada portal berita kompas.com dan detik.com”, tambah dosen yang akrab disapa Rossy itu.
Terakhir, narasumber dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Kupang, Marthen Bana, S.Pd., M.Ikom, memaparkan bahwa media massa termasuk jurnalis harus memberi pemberitaan sesuai dengan kode etik jurnalistik. Media mainstream harus menjadi cleaning house untuk membersihkan berita-berita bohong yang beredar di sosial media (sosmed).
Yang perlu dilakukan oleh media mainstream, menurut Marthen, adalah terus berpegang pada prinsip equilibrium sehingga terus menyajikan berita-berita berimbang sebagai rujukan. Patokan untuk media adalah UU Pers dan kode etik jurnalistik sehingga informasi yang diberikan tidak diragukan oleh publik. Tidak semua media online yang beredar yang terverifikasi secara faktual dan administratif di dewan pers. Sehingga tidak semua berita dari media online di sosmed yang bisa dipercaya.
Kalau orang bicara tentang social distancing, tambah Marthen, maka kita juga perlu melakukan sosmed distancing dalam artian menjaga jarak dari berita di sosmed yang tidak membawa kebenaran hakiki bagi kita. Terkait hal ini, Marten menambahkan bahwa realitas hari ini tidak hanya menghadapkan kita pada new media tapi juga kekerasan terhadap jurnalis.
“Kita di NTT untuk tahun 2020 berdasarkan pengamatan saya, indeks kemerdekaan pers turun akan dibuktikan dengan survei pada Desember 2021 nanti karena produk jurnalistik yang mengakibatkan adanya pengancaman sampai tindakan represif. Sehingga saya menghimbau agar sebagai jurnalis kita perlu menjaga profesi ini dengan tetap patuh ada UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik” ungkap mantan jurnalis Timex itu.
(Vivin/JR)