Oleh: Santi L.M.F. Seran*) dan mahasiswa KKN Desa Oelpuah Utara
OPINI – Pada Juli-Agustus 2022 lalu, Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang, mengirimkan 767 mahasiswa untuk melaksanakan program kuliah kerja nyata tematik (KKNT) di 10 Kabupaten di Nusa Tenggara Timur, termasuk Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU). Desa Oepuah Utara, Kecamatan Biboki Moenelu, TTU, adalah salah satu lokasi KKN yang menarik untuk disimak lebih lanjut.
Desa ini terletak di pesisir pantai yang indah. Keindahan pantai yang eksotik dapat dikembangkan menjadi sumber pariwisata yang berbasis komunitas lokal, yang tidak ekstraktif sebagaimana pernah terjadi di tempat-tempat lain di NTT saat ini. Potensi laut pun kaya akan ikan-ikan. Masyarakat lokal dapat menjadi nelayan yang mengelola ikan tambak, dan serentak menjadi nelayan tangkap di lautan lepas.
Yang menarik adalah letaknya yang sangat strategis. Ia berbatasan dengan Timor Leste, sebuah ceruk pasar yang menarik untuk mengembangkan produk-produk lokal. Infrastruktur jalan dan pasar yang dibangun oleh pemerintah pusat pada era kepemimpinan Presiden Joko Widodo semestinya membawa perubahan pembangunan lokal, termasuk pengembangan pariwisata, perikanan dan kelautan.
Idealnya, selain dikelola berbasis komunitas, potensi lokal ini dapat juga dikembangkan oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), yang kemudian digunakan untuk kepentingan bersama seluruh masyarakat desa. Tapi dalam praksisnya, pantai yang eksotik dan laut yang kaya belum sepenuhnya dikelola secara memuaskan. Pertanyaan, mengapa demikian?
Struktural-Historis dan Kultural
Potret kecil di Oepuah Utara merupakan representasi dari fenomena besar yang sedang terjadi pada pelosok-pelosok di NTT, bahkan Indonesia sebagai nation-state. Sebagai provinsi yang luas laut lebih besar dari daratan, aktivitas masyarakat lebih banyak dihabiskan pada daratan. Tanah lebih menarik daripada lautan. Mengolah tanah lebih dominan daripada mengolah lautan dalam pengertian luas.
Laut berkaitan dengan pantai yang indah dan eksotik. Pantai menghadirkan pariwisata yang mengagumkan. Orang akan berdatangan untuk menikmati keindahan pantai. Tentu, yang tidak diinginkan adalah apa yang Zoomers (2010) sebut sebagai foreignisation of space. Di NTT, praktik seperti ini telah berlangsung secara kasat mata dan masif. Di Rote misalnya, pariwisata telah membidani lahirnya perkampungan asing di pinggir-pinggir pantai dan residensi yang menguntungkan elit ekonomi politik dan asing (Ciptosari, Prabawa, dan Bele, 2019 dan 2020). Di Labuan Bajo, Flores, peminggiran terhadap warga lokal di pulau Komodo dan penghancuran ekosistem laut dan komodo dilakukan secara terstruktur oleh kekuatan negara dan korporasi atas nama investasi. Hal-hal semacam inilah yang tidak diimpikan, dan karena itu, mesti ditolak.
Laut juga berpautan dengan ikan-ikan, produk-produk perikanan segar yang dengan mudah menghadirkan kapital bagi masyarakat lokal. Laki-laki dan perempuan, orang muda dan orang tua, sama-sama memasuki rantai nilai (value chain) ekonomi dan sosial dari usaha pengembangan produk perikanan dan kelautan.
Secara kultural, laut adalah ibu. Ibu yang melahirkan kehidupan bagi anak-anak. Ibu yang memberikan susu untuk menguatkan tubuh anak-anaknya. Ia adalah ibu yang melindungi di kala paceklik. Tapi, problemnya adalah potensi laut yang kaya akan sumber daya ikan, belum sepenuhnya dikelola secara baik oleh pemerintah dan masyarakat lokal. Tentu saja, hal ini bukanlah masalah baru. Ia, sebaliknya, adalah problem klasik. Paling tidak, terdapat dua akar utama yakni warisan struktural – historis, dan aspek kultural.
Pertama, yang terjadi di Desa Oepuah Utara, juga di tempat-tempat lain di Indonesia, sebuah bentuk pengabaian atas laut merupakan produk struktural-historis kebijakan negara. Historisitas Indonesia sudah sejak lama didesain, diorganisasikan dan dibentuk untuk memunggungi laut. Titik kulminasi dari gerakan masif ini terjadi pada era kekuasaan Soeharto yang memperkenalkan revolusi hijau (green revolution) pada tanah. Laut diabaikan dan dijadikan ‘frontier’, sementara itu pada saat bersamaan negara mengubah kawasan hutan dan tanah-tanah ulayat warga untuk kepentingan swasembada pangan dalam perspektif pasar neoliberal.
Kedua, paradigma kultural merupakan salah satu aspek yang berperan penting dalam menjauhkan masyarakat lokal dari akses terhadap laut. Atoin Meto dalam tradisinya cenderung tinggal di wilayah pegunungan, jauh dari aktivitas di laut. Mereka lebih banyak mengolah tanah-tanah pertanian yang kering dan menanam pepohonan di areal pegunungan daripada mengelola sumber daya laut yang sangat menjanjikan (bdk. Ataupah, 2020). Demikianlah dua aspek utama, struktural-historis dan kultural sebagai faktor pemicu yang membuat daratan, tanah, dan hutan lebih superior diperhatikan, sembari meminggirkan laut dan segala-sesuatu yang berkaitan dengannya.
Rekayasa Sosial-Budaya
Kalau perspektif kultural Atoin Meto menyebabkan laut seakan-akan dibiarkan, tentu hal ini tidak berarti bahwa budaya melaut tidak akan bisa dimiliki oleh Atoin Meto khususnya dan NTT umumnya. Bahkan, hal ini tidak mengindikasikan bahwa laut bersifat asing untuk warga lokal Atoin Meto. Tentu, tidak demikian adanya.
Kebudayaan pada prinsipnya tidak pernah bersifat statis. Ia, sebaliknya, selalu bersifat dinamis. Sesuatu yang selalu mengalami perubahan, entah perubahan dalam pengertian kemunduran maupun kemajuan. Ia selalu mengalami metamorfosa dan transformasi progresif. Karena itu, rekayasa sosial-budaya yang berpautan langsung dengan laut menjadi suatu conditio sine qua non.
Rekayasa sosial mesti mengarahkan warga untuk kembali ke laut yang telah bertahun-tahun dianak-tirikan. Laut tidak boleh lagi dipunggungi. Laut harus didekap, sebagaimana ia adalah ibu yang mendekap anak-anaknya.
Kebijakan pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota diharapkan untuk memfasilitasi akses warga lokal terhadap sumber daya laut. Kebijakan dimaksud berorientasi pada rekaya sosial-budaya yang mencintai tanah – daratan, dan laut.
Selain itu, warga lokal pun diharapkan untuk kembali ke laut. Mereka menggunakan semua potensi laut dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya. Semua ini dilakukan, pertama-tama untuk menjaga eksistensi warga lokal di hadapan alam, dan keseimbangan ekologi laut. Tidak ada lagi laut dan eksplorasi yang tertunda.**
*) Dosen Prodi Teknik Sipil – Universitas Katolik Widya Mandira