Mempertimbangkan “Pire” Saat PPKM di Ende

Oston Gadi Kapo (kanan) dan Gusti Adi Tetiro (kiri)

OPININUSALONTAR.COM

Oleh: Oston Gadi Kapo & Gusti Adi Tetiro (Keduanya adalah aktivis budaya Ende-Lio)

Bacaan Lainnya

Kebijaksaan lokal (local genius) bisa menjadi salah satu alternatif solusi bagi pengambil kebijakan di daerah. Di Ende, misalnya, konsep pire bisa diadopsi, diadaptasi dan dimodifikasi untuk mendukung kebijakan PPKM.

Pire adalah tradisi turun-temurun masyarakat adat Ende dan Lio yang berkaitan dengan larangan melakukan/mengerjakan sesuatu dalam durasi waktu tertentu yang bersifat temporer, dengan tujuan untuk kebaikan bersama (bonum commune). Keputusan tentang tempat dan waktu (locus et tempus) pire diambil oleh beberapa kepala suku (mosalaki) setempat atas kesepakatan bersama dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi khusus tertentu. Keputusan itu biasanya bersifat kolegial dalam kepemimpinan bersama para mosalaki di suatu kampung.

Rasanya, kebijaksanaan lokal pire ini relevan saat Ende masuk dalam PPK Level 4. Keresahan publik terhadap kian marak dan nyatanya virus corona dalam kehidupan bermasyarakat harusnya telah ‘memaksa’ pemerintah dalam mengambil keputusan demi kebaikan bersama. Jujur harus diakui juga bahwa masyarakat kita, mungkin karena keramahan dan karakter sosiabilitasnya yang tinggi, kerap merasa tersiksa kalau hanya di rumah saja dan, sungguh, merasa tidak terbiasa dengan hal atau kebiasaan baru itu (new normal).

Dengan pola pendekatan dan kemampuan sosialisasi pemerintah yang, harus diakui, terbatas untuk menyentuh hingga ke masyarakat di pelosok-pelosok dalam kaitan dengan proses PPKM Level 4 (lockdown), maka perlu ada solusi atau alternatif lain sebagai cara untuk membantu memberi pengertian dan edukasi kepada masyarakat.

Kami sebagai aktivis pemula budaya Ende-Lio melihat ada satu modal kultural yang bisa dioptimalkan. Secara kultural dan dalam tradisi setempat, kami pikir pola lockdown/#dirumahsaja bukan merupakan hal yang terlalu asing bagi masyarakat adat di wilayah ini.Kearifan budaya lokal yang disebut dan dimaksud adalah: pire.

Kami menawarkan pemerintah agar lebih kreatif dalam mengambil dan menerapkan keputusan yang berkaitan dengan pencegahan virus corona ini. Kami menawarkan suatu pola kerja sama yang baik dan produktif antara pemerintah dan masyarakat adat untuk mensukseskan kebijakan PPKM Level 4 yang baru saja diterapkan. Pemerintah bisa mendukung para mosalaki dalam setiap masyarakat adat untuk membuat kebijakan bersama pire wa’u sa’o (larangan keluar rumah) atau pire wa’u nua (larangan keluar kampung).

Tentu saja perlu catatan tambahan: konsep rumah (sa’o) dan kampung (nua) perlu dipahami sebagai suatu konsep yang dinamis. Misalnya, orang tidak perlu dilarang berkebun, tetapi memastikan kalau berkebun hanya melibatkan keluarga inti tanpa perlu mengundang orang lain yang bisa menyebabkan pertemuan/kerumunan dengan orang di luar anggota rumah. Begitu juga konsep kampung tidak membelenggu orang untuk tidak ke pasar, tetapi memastikan sosialisasi protokol kesehatan 5M dipatuhi.

Dukungan pemerintah daerah (Pemda) di tengah pandemi seperti ini tentu saja bukan dalam arti kehadiran fisik mengunjungi dan membuat kerumunan di kampung-kampung, tetapi memastikan komunikasi dengan mosalaki melalui perangkat desa. Kami senang bahwa bupati telah membatalkan ritual Taga Kamba.

Dukungan lain yang sama pentingnya adalah memastikan bantuan logistik berupa bahan pokok tepat sasaran sampai kepada masyarakat yang benar-benar membutuhkan. Maka, realisasi penggunaan dana Covid-19 harus juga melibatkan masyarakat adat yang sekaligus merupakan warga yang paling membutuhkan.

Beberapa waktu lalu, kami melihat polemik cukup tajam soal realisasi dana bantuan Covid-19 ini di kabupaten Ende. Kiranya pemerintahan, dalam hal ini bupati dan anggota-anggota DPRD, perlu menggunakan manajamen yang professional dalam penggunaan dana tersebut. Transparan dan akuntable! Sambil memastikan: uang mengalir kepada yang benar-benar membutuhkan (money goes to the poor).

Ini tentu saja hanyalah salah satu solusi yang bisa kami tawarkan. Ada banyak solusi yang bisa ditawarkan juga. Pikiran kami sangat sederhana: kebijakan pemerintah di kabupaten Ende telah dengan kreatif didukung oleh kaum agamawan (gereja dan masjid), tetapi masih ada satu modal sosial yang perlu dilibatkan, yaitu masyarakat adat.

Tentu, kerja sama pemerintah dengan masyarakat adat bisa saja mirip dengan kerja sama pemerintah dan kaum ulama, namun ada perbedaan yang tidak bisa ditutup mata juga yakni soal ranah kekuasaan masing-masing yang harus dihormati. Maka, kami menilai, jika sebuah kebijakan bisa melibatkan makin
banyak pihak atau pengambil kebijakan terkait akan mendukung efisiensi dan efektivitas yang menjadi harapan kita bersama.

Semoga kontribusi pemikiran kami bisa diindahkan dan diimplementasikan secara kreatif dan efektif! Salam Ende hebat!

Pos terkait