MENGALAMI CINTA DI PANTAI ORO

Sunset di Oro beach
Suatu Senja di Oro Beach. Foto: Rubo Allwyn

Bacaan Lainnya

Siang itu Ubas mengajak saya untuk mengunjungi temannya. “Dia pemilik penginapan di pinggir pantai. Tempatnya eksotis, pemiliknya juga manis, meski sudah mama – mama; nanti kau bisa lihat sendiri,” bujuk Ubas dengan nada berseloroh untuk meyakinkan saya.

Ubas adalah adik kelas saya waktu masih sama – sama di biara. Setelah “kabur” dari “penjara suci” (istilah yang sangat populer di kalangan seminaris), dia menyelesaikan studi masternya di Jakarta. Sekarang Ubas sedang menyelesaikan sebuah proyek penulisan buku di Waitabula – Sumba Barat Daya.

Pantai Oro berada kurang lebih lima kilometer dari arah Waitabula. Menggunakan motor kami berlima, saya, Ubas, dan tiga teman yang lain, menuju pantai, yang oleh Ubas dibilang eksotis dan punya pemilik yang manis. Jarak Pantai Oro dari Waitabula memang tidak terlalu jauh. Dari Bandara Tambolaka lebih dekat lagi. Namun kami harus melintasi jalan yang belum beraspal sekitar empat atau lima kilometer. Tidak menjadi masalah karena jalannya rata dan sudah pengerasan.

Tiba di Oro kami langsung disambut dengan “teriakan histeris” pemilik penginapan, “Woi Ubas, kenapa engko baru muncul sekarang, kalian ni tidak sayang saya lagi e”. “Begitu sudah mama tua punya gaya,” bisik Ubas pada saya. “Manis juga e,” kata saya kepada Ubas, sambil tertawa. Tentu saja bisik – bisik kami tidak didesain supaya tidak terdengar oleh Mama Noni, nama pemilik penginapan Pantai Oro, yang saya ketahui kemudian.

Ternyata Mama Noni (Putri Sulungnya bernama Noni), sangat ramah, dan sangat mudah akrab. Dari Ubas juga saya tahu bahwa Mama Noni itu orang Riung (Ngada), sedangkan suaminya bernama Lucas, orang Jerman. Lucas sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Meninggalkan Mama Noni dan tiga putrinya, Noni, Elsa dan Zora. Noni sekarang sedang studi di Jerman, sedangkan dua adiknya sekolah di Waitabula.

Sembari menyuguhkan rum yang dicampur coca-cola, Mama Noni menuturkan kisahnya. Kisah yang mungkin sudah didengarkan oleh Ubas dan kawan – kawannya, tapi untuk pertama kalinya saya dengar.

“Tahun 2020 ini, genap 10 tahun Oro berdiri. Tempat (penginapan) ini didirikan oleh Lucas, suami saya. Waktu itu dia datang untuk pro air, bukan untuk bangun hotel. Karena mencintai Sumba dan suka dengan tempat ini, Bapa Noni (Lucas) membeli tanah ini dan membangun penginapan di tempat ini,” tutur Mama Noni dengan mata berkaca-kaca. Mungkin kenangan tentang suaminya membangkitkan rindu.

Setelah hening sejenak, Mama Noni melanjutkan, “Nama tempat ini adalah Oro Muttu, yang artinya bekas terbakar. Itu makna harafiahnya. Tapi kemudian kami beri makna lebih mendalam, terbakar tidak dalam arti menghanguskan, tetapi dalam arti bercahaya, memberi semangat, membakar spirit terlebih untuk mencintai semesta.”

Lalu Mama Noni melanjutkan lagi, “Kosa kata bekas, tidak lagi dalam pengertian tidak terpakai, atau pernah terpakai, tetapi dalam pengertian setiap kali siapapun yang pernah datang ke tempat ini, dia pulang dengan semangat yang berapi-api, semangat baru untuk sesuatu hal baik yg bermanfaat bagi alam dan banyak orang.”

Penjelasan tentang Oro, seakan terlupa saat obrolan kami diselingi dengan candaan dan “saling buly”.
“Di Oro, ada penginapan ramah lingkungan, adaptatif dengan keadaan geografis. Artinya, segala hal yg dikembangkan di tempat ini tetap mengikuti seni alamiah yg telah dirancang oleh sang Pencipta.”

Setelah berhenti sejenak untuk mengamati respon kami Mama Noni kemudian melanjutkan, “Ada ada 5 rumah atau hunian terdiri dari: Noni house, Elsa House, zora villa, Tesa Villa, Ello Villa, Mario Villa, Nanna Villa, Alma Villa. Ada satu studio house (Nanna dan Alma)”

 

Oro Houses
Oro Houses (Bungalow)
Oro Beach Bar

ORO BEACH BAR

“Di sini kami mengutamakan keramahan kaka, ramah antara manusia dandan ramah pada alam,” kata Mama Noni. Dirinya melanjutkan, “Kami tidak bangun pagar pembatas; kami berusaha untuk terbuka pada semua. Kami percaya, selama kita berbuat baik, kita tdk pernah ingin dicelakakan. Kami keliling dunia dan mengalami banyak tempat konflik, dan kami baik2 saja. Artinya, selama ada kebaikan di sini, dia harus terbuka untuk dialami,” papar Mama Noni.

Lebih lanjut Mama Noni menjelaskan bahwa tiap tahun mereka menanam kesambi, kelor, dan beringin. Hal itu dilakukan sebagai tanda cinta mereka kepada alam, juga sebagai perwujudan semangat ekologis mereka.

Mama Noni kemudian mengeluhkan soal masih buruknya infrastruktur jalan dan ketiadaan listrik. “Di sini kami harus menggunakan genset karena belum ada intervensi lanjutan dari pemerintah untuk menarik kabel untuk penerangan ke Oro. Begitu juga jalan menuju Oro. Kaka mereka tadi pasti penuh dengan debu saat datang ke sini,” katanya sembari tertawa.

Mama Noni benar. Meskipun tidak terlalu jauh dari jalan beraspal, namun jalan yang berdebu cukup menyiksa. Namun suasana di Oro beach menghapus segalanya. Suasana yang menyenangkan, tempat yang sunyi dan teduh membawa kedamaian di sanubari.

Pantai Oro adalah pilihan tepat jika kita ingin menenangkan diri, menghindari hiruk pikuk dan bisingnya kota. Pantainya yang bersih dari sampah, keindahan sunset di senja hari, juga nyamannya tempat untuk berbaring menghabiskan malam membuat jiwa tenang dan wajah berseri.

Kata Ubas, tempat ini adalah pilihan paling tepat untuk privat holiday bersama keluarga dan teman-teman.

Senja itu adalah salah satu senja terbaik waktu saya di Sumba. Sumba selalu pandai menghadirkan kenangan. Pantas saja Ubas betah di sana. (Joe Rhada)

IMG-20201122-WA0041
_MG_4580e
IMGL6585
IMG_20201122_133925
20200614_173408
20200628_174044
ubas
_MG_4789e
_MG_7096

Previous
Next

WATCH MORE !

https://www.youtube.com/watch?v=-XvqEqiRV2s

Pos terkait