Oleh : Andre Koreh*)
OPINI | Pemerintah melalui berbagai regulasi baik UU, maupun PP memberi ruang kepada Pemerintah Daerah untuk melakukan pinjaman daerah dalam menyediakan berbagai kebutuhan pembangunan daerah termasuk menyediakan infrastruktur, manakala PAD (Pendapatan Asli Daeah) dan pendapatan transfer (Dana Bagi Hasil) tidak dapat memenuhi peningkatan kebutuhan dana (fiscal needs) untuk melayani masyarakat.Atas dasar inilah Pemda NTT dan beberapa Pemerintah Kabupaten di NTT dalam 3-4 tahun terakhir mengajukan pinjaman jangka panjang melalui PT SMI (PT Sarana Multi Infrastruktur/BUMN di bawah Kementrian Keuangan RI untuk membiayai infrastruktur daerah melalui pinjaman daerah) dalam bentuk dana PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) sebesar kurang lebih Rp1 Triliun dan melalui PT Bank NTT sebesar Rp150 M, untuk membangun jalan, embung, irigasi, air minum dan lain-lain.
Tentunya untuk mendapatkan pinjaman, Pemda NTT telah memenuhi prinsip- prinsip dasar pemberian Pinjaman Daerah antara lain: Pinjaman Daerah harus dari inisiatif Pemda dalam rangka melaksanakan kewenangannya, Pinjaman Daerah merupakan alternatif sumber pendanaan APBD yang, digunakan untuk menutup defisit APBD, pengeluaran pembiayaan, dan/atau kekurangan kas, Pemda dilarang melakukan pinjaman langsung kepada pihak luar negeri, Pinjaman Daerah dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama antara pemberi pinjaman dan Pemda sebagai penerima pinjaman yang dituangkan dalam perjanjian pinjaman, pendapatan daerah dan barang milik daerah tidak boleh dijadikan jaminan Pinjaman daerah, Proyek yang dibiayai dari Obligasi Daerah beserta barang milik daerah yang melekat dalam proyek tersebut dapat dijadikan jaminan Obligasi Daerah dan seluruh penerimaan dan pengeluaran dalam rangka Pinjaman Daerah dicantumkan dalam APBD.
Namun ada pula Prinsip Umum yang tidak kalah pentingnya dalam mengelola Pinjaman Daerah yaitu: Taat pada peraturan perundang-undangan, Transparan , Akuntabel , Efisien, Efektif dan Hati-hati yang diamanatkan oleh regulasi mengenai pinjaman daerah.
Untuk mendapatkan pinjaman daerah terdapat 4 syarat teknis yang wajib dipenuhi:
Pertrama: Jumlah sisa pinjaman daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak melebihi 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya. Penerimaan umum APBD tahun sebelumnya adalah seluruh penerimaan APBD tidak termasuk Dana Alokasi Khusus, Dana Darurat, dana pinjaman lama, dan penerimaan lain yang kegunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran tertentu.
Kedua: Memenuhi ketentuan rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman DCSR ( Debt Service Coverage Ratio/DSCR) paling sedikit 2,5 (dua koma lima) dimana DSCR = (PAD + (DBH – DBHDR) + DAU) – BW ) dibagi : Angsuran Pokok Pinjaman + Bunga + Biaya Lain.
Ketiga: Dalam hal Pinjaman Daerah diajukan kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah harus tidak mempunyai tunggakan atas pengembalian pinjaman yang bersumber dari Pemerintah.
Keempat : Khusus untuk Pinjaman Jangka Menengah dan Jangka Panjang wajib mendapatkan persetujuan dari DPRD.
Berdasarkan syarat pinjaman diatas patut dicermati prinsip umum pengelolaan pinjaman daerah yaitu transparan, akuntabel, efisien, efektif, dan hati-hati. Syarat ini hendaknya dimaknai lebih dari sekedar prasyarat untuk mendapatkan pinjaman semata tapi justru sebagai kompas penunjuk arah kemana pinjaman ini digunakan.
Pertanyaannya, apakah pinjaman itu telah dikelola secara transparan dan akuntabel? Dan apakah pemanfaatan anggaran pinjaman ini telah dibelanjakan secara efektif dan efisien serta hati hati sebagaimana disyaratkan?
Melihat prasyarat tentang rasio kemampuan pengembalian pinjaman DCSR (Debt Service Coverage Ratio DCSR) minimal sama atau lebih besar dari 2,5. Maka dengan sederhana dapat diartikan bahwa setiap Rp1, (satu rupiah) hutang yang berupa angsuran pokok bunga dan biaya lainnya dilunasi dengan pendapatan daerah Rp2,5 (dua setengah rupiah) dimana DCSR adalah nilai ambang batas Pemda melakukan pinjaman.
Tentunya Pemda NTT pun sudah memenuhi syarat minimum ini, setidaknya terbukti dana Pinjaman Daerah sudah di setujui pemerintah pusat, namun pertanyaannya apakah asumsi penerimaan PAD sebagai faktor dominan dalam perhitungan kemampuan pembayaran pinjaman sesuai rumus DCSR dalam tahun berjalan, terealisasi sesuai rencana? Sayangnya data realisasi PAD NTT sejak 2020- 2023 selalu tidak mencapai target, rata rata capaian +/- 80% pertahunnya. Penyebabnya bisa saja target PAD sengaja diasumsikan tinggi, agar ratio DCSR mencapai 2,5 sehingga layak mendapatkan pinjaman dengan nilai Rp1 T , atau kurangnya intensifikasi dan ekstensifikasi pendapatan daerah dan berbagai faktor lainnya.
Beberapa waktu lalu media memberitakan menurunnya kondisi jalan mantap di Provinsi NTT dari 85,22 % (pada tahun 2022), turun drastis menjadi 72,23% % ( pada tahun 2023 ) dari total panjang jalan Provinsi: 2680 km. Artinya terjadi penurunan daya layan jalan sebesar 12,99% (348,14 km) hanya dalam waktu 1 tahun, justru disaat biaya untuk membangun jalan provinsi melalui pinjaman daerah naik sangat signifikan. Ini anomali yang mengindikasikan adanya kebijakan pembelanjaan yang tidak tepat dalam memanfaatkan pinjaman daerah.
Tentunya jawaban pasti mengenai hal ini perlu kajian dan penelitian yang komprehenship bahkan audit menyeluruh terhadap fenomena ini. Namun secara normatif, fenomena kerusakan dini pada pembangunan jalan provinsi yang menyedot fiskal daerah terbesar untuk kewajiban membayar pinjaman, di mana jalan yang sudah terbangun mengalami kerusakan dini sepanjang 348,14 Km atau menurun drastis sebesar 12,99% dalam waktu hanya 1 tahun memberi dampak serius. Antara lain terganggunya distribusi barang dan jasa dari dan ke pusat produksi, sehingga memberi efek domino pada menurunnya PAD, mengganggu fiskal daerah yang pada gilirannya berakibat menurunnya kemampuan Pemda NTT membayar kewajiban cicilan dan pokok pinjaman daerah atau bahkan bisa berakibat terjadinya tunggakan.
Dan jika terjadi tunggakan maka berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 121/PMK.07/2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Tunggakan Pinjaman Pemerintah Daerah akan dilakukan Pemotongan DAU dan/atau DBH secara langsung oleh Pemeritntah Pusat. Hal ini tentunya sangat mengganggu cashflow Pemda dalam membiayai aktifitas pelayanan publik lainnya.
Kondisi kerusakan dini jalan Provinsi seperti diatas dapat terjadi dalam 3 tahapan pembangunan, yakni Tahap Perencanaan, Tahap Pelaksanaan dan Tahap Pemeliharaan.
Pada tahapan perencanaan; pendekatan perencaaan yang digunakan adalah untuk pencapaian target janji politik kepala daerah yakni kondisi jalan provinsi harus dalam kondisi mantap 100 % dalam 3 tahun. Dan karena anggaran terbatas, pilihan konstruksi yang diambil adalah Grading Operatian/GO (perbaiki lapis permukaan jalan dengan hamparan pasir dan batu/sirtu ) agar mencapai target panjang, asal dapat dilalui kendaraan dengan kecepatan rendah sampai sedang. Pilihan konstruksi jenis ini boleh saja dilakukan dengan catatan pada tahun anggaran berikutnya harus segera diikuti dengan penutupan lapis permukaan (overlay) dengan lapis permukaan beraspal yang permanent. Jika tidak dilakukan, hampir pasti umur rencana tidak tercapai dan jalan dengan konstruski GO akan mudah rusak dimana kondisinya kembali seperti belum pernah ditangani alias kondisinya kembali nol persen. Inilah dugaan sebagai faktor utama yang mengakibatkan 348,14 km kondisi jalan cepat berubah menjadi rusak walau baru satu tahun dikerjakan.
Biasanya segmen GO ini tidak terlalu panjang agar tahun berikutnya segera dioverlay. Namun jika kebijakannya untuk kejar target panjang maka, membiarkan jalan dengan konstruksi GO dalam waktu panjang sangat berisiko menjadi rusak total.
Jika data diatas benar dan valid, mengacu pada kondisi jalan provinsi mantap eksisting pada thn 2019 yaitu 65%. Maka selama 4-5 thn hanya terjadi kenaikan kondisi mantap 8% saja. Artinya tidak ada kenaikan kondisi jalan mantap yang signifikan selama lima tahun. Karena tanpa pinjaman pun, capaian 8-10 % untuk lima tahun bisa dicapai. Hitungan sederhananya, jika tiap tahun dibangun rata-rata 3 Km/tahun untuk tiap kabupaten/kota (kebijakan saat penulis menjadi Kadis PUPR 2009-2019), maka di 22 kabupaten/kota akan ada 3 Km / kab = 66 km / tahun menggunakan dana DAU dan DAK saja(tanpa pinjaman), akan ada jalan mantap baru sebanyak 366 Km selama 5 tahun. Angka ini berarti ada kenaikan 13.4 %. Sehingga akan ada jalan provinsi mantap pada 2024 adalah 78.4 %.
Bandingkan dengan laporan Dinas PUPR pada 2024, jalan provinsi mantap justru hanya 72,23 %. Padahal ada dana pinjaman yang membebani Pemda NTT sampai 2028 dengan beban cicilan 6,5 %/thn = Rp200 M/ thn. Artinya, kebijakan pinjaman daerah dengan hasil “hanya“ 8 % jalan mantap tentu lebih buruk dibanding tanpa pinjaman namun jalan mantap bisa naik 13.4 %.
Hal lain dalam tahap perencanaan, pemilihan ruas jalan prioritas pun tidak mempertimbangkan asas manfaat secara cermat, di mana ruas jalan yang dibangun tidak memberi kontribusi peningkatan PAD secara signifikan karena tidak dibangun jalan yang menghubungkan kantong-kantong produksi dengan pusat pemasaran. Yang terjadi justru penentuan ruas jalan prioritas berorientasi pada lokasi keberadaan AMP (Asphalt Mixing Plant) milik penyedia jasa (kontraktor) . Di mana lokasi AMP berada, ruas jalan di sekitar itulah yang dikerjakan, sehingga dengan mudah ditebak siapa yang akan mengerjakan proyek tersebut walau proses pelelangan belum dilaksanakan.
Pada tahap pelaksanaan; potensi kerusakan terjadi secara siginifikan, dimana para penyedia jasa cenderung mengejar profit maksimal, apalagi hanya dengan mengerjakan GO, karena lebih banyak menggunakan bahan lokal atau bahan setempat (sirtu), lemah dalam pengawasan, monitoring dan evaluasi (monev) yang kurang karena terbatasnya biaya monev. Apalagi jika penyedia jasa (kontraktor) sudah dibebani kewajiban “non formal” di awal, sebagai konsesi dari kondisi “sudah tahu“ akan mengerjakan proyek tertentu atau minimal “sudah tahu” akan menang lelang pada saat proses pelelangan.
Pada tahap pemeliharaan; tahapan ini juga berkontribusi terjadinya kerusakan dini pada hampir semua ruas jalan provinsi, dimana alokasi dana pemeliharaan jalan, baik pemeliharaan rutin maupun berkala sangat sedikit atau bahkan kadang tidak teralokasi sama sekali.
Untuk memperbaiki agar kondisi jalan kembali mantap 83 %, apalagi untuk mencapai kondisi mantap 100%, biayanya tidak sedikit. Baik untuk membangun baru ataupun untuk memelihara yang sudah terbangun. Jika kebijakan penggunaan anggaran pinjaman masih seperti diatas, ibarat berjalan diatas treadmil karena bergerak lelah tapi tak pernah sampai tujuan.
Dari uraian diatas, pinjaman daerah yang diharapkan menjadi solusi atas berbagai keterbatasan anggaran pembangunan di NTT, jika kebijakan penggunaan anggaran yang dipilih lebih pada pendekatan pencapaian target politik semata, dan berorientasi “tahu sama tahu”, tanpa mempertimbangkan aspek kemanfaatan dan hanya untuk memenuhi keinginan dan bukan karena kebutuhan wilayah, maka pinjaman daerah berubah secara pelan dan pasti dari seolah akan menjadi solusi tapi sebenarnya menjadi masalah. Dengan kata lain pinjaman daerah adalah hutang konsumtif karena belanjanya tidak produktif .
Ditambah pilihan teknis pembangunan jalan Provinsi yang kurang cermat dan hati- hati, dengan orientasi asal ada proyek, belanjanya tidak efektif dan sama sekali tidak efisien dengan akuntabilitas rendah, justru menambah beban persoalan anggaran di Pemda NTT dan dapat dinilai telah mengabaikan prinsip umum dan mendasar dalam mengelola pinjaman daerah sebagaimana yang diamanatkan regulasi.
Dampak ikutannya adalah fiskal daerah pasti terganggu, belanja publik lainnya tidak maksimal, dan jika terjadi tunggakan pembayaran cicilan, maka DAU dan DBH dipotong secara langsung pada tahun anggaran berikutnya. Hal ini menambah turbulensi dalam politik anggaran di Pemda NTT ke depan.
Solusi dari hal ini sebenarnya klasik dan sederhana, yakni, bagaimana menaikkan PAD secara signifikan, kurangi belanja konsumtif, ekstensifikasi dan intensifikasi penerimaan daerah, tekan peluang dan potensi kebocoran penerimaaan, ciptakan iklim investasi yang kondusif, persaingan usaha yang sehat dan transparan, tingkatkan sektor produksi dan penghematan di semua lini tanpa mengurangi kesejahteraan dan hak- hak ASN, namun tempatkan ASN sesuai kompentensi dan profesionalisme mereka dengan pendekatan “the right man on the right place“ karena mereka sebagai agen pembangunan dan agen perubahan, hindari pendekatan jabatan “like and dislike“.
Dibutuhkan komitmen pemimpin yang kuat dengan “semangat memberi dan bukan mengambil“ namun fokus pada solusi yang tepat untuk mengatasi ini, tidak sekedar jargon semata.
Pinjaman Daerah itu baik dan solutif jika digunakan secara baik dan benar. Sebaliknya pinjaman ini akan menjadi masalah jika kurang hati hati, ceroboh dan tanpa perhitungan yang matang serta kurang cermat dalam pembelanjaannya.
*) -Ketua Persatuan Insinyur Indonesia Wilayah NTT
– Dekan FT UCB Kupang
– Ketua Pusat Study Jasa Konstruksi UCB.