NUSALONTAR.com – NTT – Yayasan Arnoldus Wea Dhegha Nua berinisiatif menyelenggarakan diskusi virtual terkait Siklon Tropis Seroja (Badai Seroja) dan banjir bandang yang baru saja melanda wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kejadian alam yang telah menimbulkan banyak korban jiwa dan kerugian material.
Diskusi ini dilaksanakan pada Sabtu (17/04/2021) Pukul 19.00 Wita hingga Pukul 21.30 Wita, dan berlangsung melalui aplikasi Zoom, dengan tema “Mitigasi Siklon: Belajar Dari NTT”.
Diskusi ini dimaksudkan untuk merefleksikan peristiwa tersebut sekaligus mengevaluasi proses penanganannya, kira-kira apa yang bisa dipelajari, sehingga menjadi bekal pengetahuan dan keterampilan mitigasi bencana yang bisa saja terjadi lagi pada masa mendatang.
Diskusi dipandu oleh Reinard L. Meo, salah satu pemuda Flores-NTT yang ikut berkarya di Yayasan Arnoldus Wea Dhegha Nua. Penyelenggara kegiatan menghadirkan Jonatan A Lassa, Ph.D sebagai narasumber utama.
Jonatan Lassa merupakan salah satu putra NTT yang dikenal sebagai pakar manajemen bencana, dan saat ini menjadi Senior lecturer in Humanitarian Emergency and Disaster Management Charles Darwin University.
Arnoldus Wea selaku Co-Founder Yayasan Arnoldus Wea Dhegha Nua, dalam sambutan pembukanya menyampaikan apresiasi dan rasa terima kasih kepada semua tim penggagas kegiatan, khususnya untuk Jonatan A. Lassa, Ph.D yang bersedia meluangkan waktu untuk berbagi ilmu dan pengalaman terkait manajemen bencana.
Menurut Arnoldus Wea, pemilihan tema diskusi sudah sangat sesuai dengan kondisi yang terjadi di NTT saat ini. Berdasarkan laporan Pemprov NTT yang dirilis pada Rabu (14/04/2021) lalu, bencana alam tersebut telah mengakibatkan 181 jiwa meninggal dunia dan 47 orang dinyatakan masih hilang. Belum lagi banyak harta benda yang ikut hancur.
Peristiwa ini sebenarnya sudah terdeteksi sejak awal, ada rilis informasi dari BMKG yang disampaikan ke media massa, tapi sayangnya, upaya mitigasi yang dilakukan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) terkesan lamban. Akibatnya, dampak bencana terasa sangat besar.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Apa yang bisa dilakukan untuk mengurangi dampak bencana pada masa mendatang? Dan masih banyak pertanyaan lain yang membuat Yayasan Arnoldus Wea Dhegha Nua tergerak mengundang pakar manajemen bencana seperti Jonatan Lassa, sehingga bisa membahasnya secara komprehensif.
Arnoldus Wea berharap, diskusi ini bisa menjadi pemantik bagi banyak orang untuk mempelajari manajemen atau mitigasi bencana, sekaligus menghasilkan rekomendasi bagi pemerintah atau pembuat kebijakan.
Arnoldus Wea juga mengaku bangga dengan antusiasme peserta diskusi yang didominasi anak-anak muda.
“Partisipasi aktif anak muda ini sejalan dengan visi utama Yayasan Arnoldus Wea Dhega Nua, yakni ikut membangun SDM muda Nusa Tenggara Timur. Masa depan NTT dan bangsa ini pada umumnya berada pada generasi muda saat ini,” kata Arnoldus Wea yang akrab disapa AW ini.
Jonatan A. Lassa, Ph.D memulai pembahasannya dengan menjawab pertanyaan pembuka dari moderator, Reinard L. Meo, tentang lembaga yang paling bertanggung jawab dalam upaya mitigasi bencana.
“Kita punya lembaga BNPB yang selama 12 tahun terakhir telah berhasil membentuk BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) di seluruh wilayah Indonesia. Sayangnya, keberadaan lembaga ini cenderung merespon pada kegiatan pasca-bencana. Sedangkan upaya mitigasi pra-bencana seperti memastikan kualitas bangunan yang tahan berbagai ancaman bencana atau pembuatan cyclon shelter (tempat berlindung bagi warga selama badai siklon terjadi), belum banyak dilakukan. Masalah ini disebabkan oleh berbagai hal, salah satunya bisa terjadi akibat penempatan SDM yang kurang sesuai kompetensi,” jelas Lassa.
Berbicara mengenai Siklon Tropis Seroja, Jonatan Lassa menyampaikan, badai tersebut sebenarnya sering terjadi di wilayah NTT, hanya selama ini mungkin pusatnya jauh dari daratan atau pemukiman warga, serta level kekuatan atau kecepatan angin yang masih bisa ditoleransi, sehingga dampaknya tidak terlalu dirasakan.
Sebagai gambaran, di Australia yang tidak jauh dari NTT, berdasarkan hasil rekaman atau catatan kejadian badai siklon antara tahun 1970-2017, maka ditemukan angka rata-rata kejadian siklon sekitar 11-12 kali per tahun.
Berdasarkan rekaman data BMKG antara tahun 1984-2012, jumlah kejadian siklon tropis di wilayah perairan sebelah selatan Indonesia (NTT termasuk di dalamnya), paling banyak terjadi (di atas 30 kali hingga 58 kali kejadian) antara bulan Desember hingga April.
Menurut keterangan Jonatan Lassa, NTT akan selalu menjadi area yang sering dilewati badai siklon tropis. Hal ini terjadi karena badai ini biasanya terbentuk di atas lautan tropis yang hangat seperti Laut Arafuru dan Laut Banda.
“Suhu lautan yang hangat menjadi semacam “bahan bakar” bagi siklon tropis tersebut untuk bergerak dengan cepat. Biasanya gerakan itu akan berakhir atau mereda di lautan dengan suhu dingin seperti kondisi bagian barat Australia,” ungkapnya.
Selain supaya mudah mengenal seperti apa badai siklon tropis, Jonatan Lassa membuat perbandingan dengan puting beliung yang lumayan dikenal masyarakat luas.
“Model siklon tropis kurang lebih seperti itu, hanya diameter matanya (pusat lingkaran angin) bisa mencapai 40 km. Pada puting beliung hanya sekitar 1 km saja. Kekuatan atau kecepatan angin pada siklon tropis juga jauh lebih besar, dan terbagi menjadi 5 kategori,” tandas Jonatan Lassa.
Jonatan Lassa memaparkan, kategori 1, kecapatan angin di mata siklonnya bisa melebihi 125 km/jam; kategori 2 antara 125-164 km/jam; kategori 3 antara 165-224 km/jam; kategori 4 antara 225-279 km/jam; dan kategori 5 di atas 280 km/jam.
Siklon Tropis Seroja yang terjadi di sebagian wilayah NTT baru-baru ini masih pada level 1 dan 2. Kalau sampai level 4 atau 5, ungkap Jonatan Lassa, sebagian besar bangunan akan hancur. Apalagi rata-rata desain rumah masyarakt NTT hanya mampu menahan beban angin antara 40-50 km/jam saja. Selain angin yang kencang, siklon tropis juga datang bersamaan curah hujan ekstrem, sehingga bisa menyebabkan dampak penyerta seperti banjir bandang dan longsor.
Ketika sesi diskusi dimulai, peserta yang datang dari berbagai komunitas atau individu yang tertarik dengan isu manajemen bencana, langsung antusias bertanya sekaligus berkisah tentang pengalaman yang dialami di tempat masing-masing. Sebut saja beberapa di antaranya ada Mikael Jefrison dari komunitas Shoes for Flores (SFF), Antonia Tukan dari Simpa Sio Institute, Eka Nggalu dari KAHE Maumere, Ruben Merkannlehi dari Alor, Saut Sagala dari Bandung, dan masih banyak lainnya.
Ada beberapa catatan penting hasil diskusi tersebut yang, dijadikan rekomendasi bagi pemerintah sebagai pembuat kebijakan, atau menjadi pelajaran bersama.
Pertama, perlu adanya standarisasi kekuatan bangunan rumah yang bisa tahan terhadap berbagai ancaman bencana. Sebaiknya biaya IMB tidak dibebankan kepada warga. Sebagai penggantinya, warga harus mematuhi standar kualitas bangunan dengan melakukan konsultasi dengan tenaga profesional di bidang konstruksi.
Kedua, pemerintah perlu membuat prosedur atau panduan menghadapi badai siklon tropis. Pemerintah juga perlu membangun cyclon shelter (tempat berlindung dari siklon tropis), sehingga ketika ada peringatan dini adanya bencana serupa, maka warga yang tinggal di tempat yang kualitas bangunanannya rendah, bisa segera mengungsi ke sana.
Ketiga, pemerintah perlu membuat dokumentasi yang baik dari kejadi bencana Siklon Tropis Seroja ini, sehingga bisa menjadi pelajaran atau bahan untuk meningkatkan literasi kebencanaan bagi generasi yang akan datang.
Keempat, masyarakat juga perlu meningkatkan kesadaran untuk belajar mitigasi bencana, baik itu melalui lembaga khusus atau secara mandiri. Antar masyarakat juga perlu saling mengedukasi, sehingga pemahaman tentang penanganan bencana ini bisa sama. Pemahaman yang baik tentang risiko bencana akan memudahkan pelaksanaan kegiatan mitigasi.
Kelima, masyarakat juga perlu menggali kearifan lokal di masing-masing daerah, barangkali ada metode yang lebih efektif dan efisien dalam pencegahan maupun penanganan bencana. Misalnya, ada kontruksi bangunan tradisional yang tahan terhadap angin kencang. Jika ada, barangkali konsepnya bisa ditiru atau dimodifikasi untuk mendesain bangunan yang lebih kuat.
Pada sesi penutup, Rusni Tage yang mewakili Arnoldus Wea juga mengingatkan berbagai dampak lain yang biasa terjadi pasca-bencana. Seperti pengalamannya sebagai relawan perawat di Alor, di lokasi bencana banyak menyisakan masalah seperti genangan air dan berdebu.
“Lingkungan seperti itu akan memicu beban baru berupa munculnya berbagai penyakit menular. Karena itu, setiap orang harus selalu waspada, baik sebelum-selama-setelah bencana,” tutup Rusni Tage. (AWTim/JR)