KUPANG (NusaLontar.com) – Kerentanan kelompok perempuan dalam menghadapi bencana di NTT pasca badai siklon tropis (Badai Seroja) sejauh ini masih belum menjadi perhatian serius di kalangan pengambil kebijakan.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan bahwa kelompok perempuan memiliki resiko 14 kali risiko lebih tinggi dari pria dewasa. Hal ini disebabkan naluri perempuan yang ingin melindungi keluarga dan anak-anaknya, sehingga seringkali mereka mengabaikan keselamatan dirinya sendiri.
Perangkat Regulasi
Dalam peraturan BNPB Nomor: 13 Tahun 2014 tentang Pengarusutamaan Gender di Bidang penanggulangan Bencana. menjadi perangkat penting mengintegrasikan pendekatan gender di bidang PB. Di sini sebagai strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi terpadu dari perencanaan, dan program pembangunan nasional. Seperti, di bidang kesehatan, pendidikan dan pembangunan ekonomi.
Selain itu, PERDA provinsi NTT Nomor: 16 Tahun 2008 tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana di NTT, PERDA kota Kupang No : 2 Tahun 2015 tentang Pengarusutamaan Gender, peraturan Wali Kota Kupang No: 6 Tahun 2016 tentang pelaksanaan PERDA No: 2 Tahun 2015 dan Peraturan Wali Kota Kupang No: 46 Tahun 2019 Rencana Kontijensi Bencana Banjir, Longsor, Gempa Bumi, dan Tsunami, Angin Puting Beliung-Angin Kencang di Kota Kupang menunjukkan bahwa perempuan adalah kelompok yang rentan terhadap bencana alam.
Sosiolog Elaine Enarson menyatakan dalam tulisannya bahwa korban terbanyak dalam bencana adalah perempuan. Kerentanan perempuan dalam bencana juga terjadi pada skala global. Perempuan pun menjadi korban terbanyak dalam bencana gelombang panas di Prancis pada 2003, yaitu 70% dari 15.000 korban meninggal. Korban badai Katrina di Amerika Serikat adalah mayoritas perempuan miskin Amerika keturunan Afrika. Di NTT pun terjadi demikian kelompok perempuan mendapat dampak paling besar.
Mengapa perempuan lebih rentan?
Tingginya jumlah perempuan yang menjadi korban bencana alam disebabkan beberapa hal.
Pertama, adanya konstruksi nilai dalam masyarakat yang mengharapkan perempuan untuk lebih dahulu menyelamatkan anggota keluarganya.
Kedua, perempuan sering tidak dapat hadir dalam latihan penyelamatan diri dari kondisi bencana alam. Hal itu terjadi karena konstruksi nilai budaya di mana perempuan fokus pada urusan domestik sehingga jarang bisa keluar rumah untuk mengikuti pelatihan.
Ketiga, ketidakhadiran perempuan dalam pendidikan bencana membuat pengetahuan mereka terkait pencegahan dan penanggulangan bencana menjadi minim. Pengetahuan yang terbatas soal teknik penyelamatan diri membawa konsekuensi perempuan lebih rentan menjadi korban bencana alam.
Keempat, ada faktor memudarnya pengetahuan lokal dalam masyarakat tentang pengenalan gejala awal bencana alam. Dan perempuan sebagai kelompok dengan akses yang minim terhadap penyebaran pengetahuan menjadi rentan. Pengetahuan lokal yang dimaksud adalah pengetahuan dari leluhur untuk melihat perubahan alam yang bisa menandakan terjadinya bencana alam. Misalnya di Papua Nugini, masyarakat belajar ‘membaca’ awan. Apabila awan itu mengalami perubahan tekstur, warna, arah, kecepatan berpindah, maka hal tersebut dapat dibaca sebagai potensi badai.
Pengetahuan tentang menjaga alam dan membaca gejala alam inilah yang sudah semakin tidak dipahami lagi oleh sebagian besar masyarakat kita terutama yang tinggal di perkotaan.
Perempuan dan Bencana di NTT
Dalam perspektif kebencanaan, perempuan dipandang dalam dua aspek, yaitu perempuan sebagai kelompok rentan dan perempuan sebagai kelompok potensial. Sebagai kelompok rentan perempuan dipandang sebagai korban bencana. Sebagai korban bencana, perempuan adalah kelompok yang dianggap memiliki risiko tinggi terkena dampak dari suatu kejadian bencana, seperti mengalami cidera, sakit atau bahkan mengalami kematian. Secara fisik perempuan acapkali dipandang lebih lemah.
Perempuan juga dipandang tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk menyiapkan dirinya dalam menghadapi bencana yang mungkin terjadi. Perempuan dianggap lemah, pasif, dan pihak penerima program. Pandangan ini menempatkan perempuan sebagai objek proses penanggulangan bencana.
Di sisi lain, perempuan dipandang sebagai kelompok potensial yang dapat berperan aktif dalam pengurangan risiko bencana, baik untuk dirinya, keluarga dan masyarakat pada umumnya.
Memandang perempuan sebagai kelompok potensial dalam pengurangan risiko bencana akan menempatkan mereka sebagai subjek pelaku aktif dalam pengurangan risiko bencana. Perempuan dipandang memiliki kekuatan (pengetahuan, keterampilan dan sikap) yang tersimpan dan dapat dikembangkan untuk terlibat nyata memainkan peran-peran penting dalam pengurangan risiko bencana.
Memandang perempuan dalam konteks yang lebih luas akan memberi ruang mereka pada ranah strategis dalam proses penanggulangan bencana. Peran-peran publik perempuan diaktualisasikan selaras dengan peran-peran domestiknya. Perempuan tidak lagi dipandang menjadi sekedar ibu rumah tangga, tetapi berganti peran menjadi relawan, aktivis dan penggerak masyarakat dalam penanggulangan bencana.
Dalam situasi ini, perempuan memainkan posisi kunci sebagai agen perubahan yang menentukan arah dan kebijakan berkaitan dengan mitigasi bencana yaitu upaya mengurangi risiko yang muncul dari suatu kejadian bencana.
Bencana alam siklon tropis Seroja yang melanda NTT pada April 2021 mengakibatkan berbagai dampak khususnya di kelompok rentan yang berada di wilayah bencana, seperti di sempadan sungai dan area pesisir, serta wilayah lembah. Secara topografi NTT cukup berpotensi menghadapi berbagai ancaman bencana alam.
Berdasarkan data posko informasi WALHI NTT bahwa terdapat setidaknya 181 jiwa meninggal dunia, 47 jiwa dinyatakan hilang, dan 470.754 jiwa di 20 kabupaten/kota mengungsi. Namun penanganan dampak bencana alam siklon tropis seroja yang telah memasuki tahun kedua masih menyisakan pekerjaan rumah yang perlu diatasi secara serius.
Kota Kupang, merupakan lokasi dampak dengan tingkat keparahan yang tinggi terdapat dua titik, yakni di kelurahan Tuak Daun Merah V (TDM) dan kampung Amanuban, kecamatan Oebobo. WALHI NTT mencatat minimnya fasilitas penunjang pasca bencana membuat masyarakat termasuk perempuan dan anak-anak sangat rentan mengalami dampak lanjutan yang lebih berat.
Masyarakat kehilangan rasa aman di wilayahnya karena takut mengalami longsor susulan apabila terjadi hujan dengan intensitas yang ringan hingga sedang. Selain itu, masyarakat juga kehilangan sumber ekonomi keluarga karena bencana yang terjadi telah hancur akibat longsor.
Dalam situasi tersebut, perempuan menjadi kelompok rentan yang mengalami dampak lanjutan yang lebih berat dari entitas masyarakat terdampak bencana lainnya. Perempuan mengalami penurunan kualitas hidup yang drastis, rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan rentan terhadap penyakit reproduksi karena minimnya sumber daya air sebagai unsur penting dalam kehidupan.
Berdasarkan persoalan di atas, WALHI NTT melakukan respon bencana dan kajian terhadap situasi masyarakat pasca bencana, terutama perempuan serta kebijakan-kebijakan yang dimiliki pemerintah Kota Kupang. Kajian ini diharapkan dapat melahirkan rekomendasi yang tepat bagi pemerintah untuk menyiapkan kebijakan dan langkah-langkah penanganan yang sistematis dan sinergis.
Dengan demikian WALHI NTT melaksanakan Dialog Publik yang diharapkan dapat memberikan masukan situasi yang ditemukan di lapangan pasca bencana dengan tujuan memberi ruang bagi masyarakat penyintas bencana, terutama menyampaikan secara langsung situasi yang dihadapi pasca bencana, mendengarkan langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah untuk menangani berbagai persoalan di lapangan dan memperoleh masukan publik dan organisasi masyarakat sipil terkait kebijakan dan langkah penanggulangan bencana yang memperhatikan kebutuhan kelompok rentan, termasuk kelompok perempuan.
Kegiatan Dialog Publik WALHI NTT yang dilaksanakan secara daring pada 07 Maret 2022 melibatkan Pemerintah Daerah, SKPD terkait, Organisasi Masyarakat Sipil, komunitas dan media.
Dalam kegiatan ini WALHI NTT yang diwakili oleh Yuvensius Stefanus Nonga, S.H., M.H., sebagai Kepala Divisi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kampanye, mempresentasikan temuan-temuan WALHI NTT terkait kebijakan penanggulangan bencana oleh Pemerintah Kota Kupang dan ketimpangan penanganan di lokasi bencana.
Selain itu, Dalam dialog publik ini, juga menghadirkan perwakilan perempuan penyintas di dua lokasi di Kota Kupang, Kelurahan Oebufu yakni di TDM V dan Kampung Amanuban. Testimoni perempuan penyintas ini menyampaikan beberapa dampak yang dialami oleh penyintas termasuk perempuan sebagai salah satu kelompok rentan serta model penanganan bencana oleh pemerintah Kota Kupang.
Selanjutnya ada beberapa Penanggap dari elemen Pemerintah Kota Kupang seperti Ibu Nuri dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Ketua Komisi IV DPRD Kota Kupang Theodora Ewalda Taek, S.Pd, Ibu Elsje W.A. Sjioen, S.Sos., M.Si sebagai Kepala Bidang Penanggulangan Bencana Daerah Kota Kupang.
Dialog tersebut melibatkan salah satu komunitas dari luar NTT yakni Celebes Bergerak yang diwakili oleh Wahyu P.Putra, juga dari Solidaritas Perempuan yang langsung disampaikan oleh Pimpinan Solidaritas Perempuan yakni Ibu Dinda Nuur Anisa Yura.
Rekomendasi WALHI NTT
Dengan temuan ini, WALHI NTT merekomendasikan:
Pertama, membuat aturan pelaksana penyelenggaraan bencana yang responsif gender dengan memaksimalkan peran seluruh SKPD termasuk DP3A untuk mengoptimalkan upaya-upaya pengarusutamaan gender dalam sektor penanggulangan bencana.
Kedua, melibatkan perempuan dalam proses perencanaan, implementasi dan evaluasi penyelenggaraan penanggulangan bencana.
Ketiga, membuka akses pelatihan penaggulangan bencana kepada kelompok perempuan dalam menghadapi bencana dan pasca bencana.
Keempat, penuhi seluruh hak-hak penyintas secara layak, transparan, dan akuntabel.**